Social Icons

Minggu, 16 Mei 2010

Penjara


Sungguh, sama sekali sebelumnya aku tidak pernah membayangkan akan menghirup udara kehidupan di balik terali besi yang disebut penjara. Apalagi, istilah penjara yang kukenal selama ini memberikan konotasi kejahatan, kekasaran, kegetiran, kemalangan, serta masa penantian pembebasan dari kungkungan rentang jarak dan waktu. Menjadi bagian dari rangkaian cerita-cerita yang lekat dengan masalah penegakan hukum dan perlindungan atau pengembangan kekuasaan.
Sampai hari ketiga aku berada di dalam penjara semua berjalan biasa-biasa saja. Sehingga pada saat tengah malam, ketika semua sudah terlelap dalam tidur, aku terbangun dari tidurku yang nyenyak. Kebelet pipis. Aku bangkit berjalan menuju WC, yang memang ada di dalam sekat kamar dengan penghalang dinding, di dalam ruangan yang sama. Kulihat di sudut sana sudah ada seseorang berdiri membelakangiku. Rupanya juga sedang buang air kecil. Pandanganku menyapu keremangan malam. Setelah dekat, dari sosok tubuhnya, aku baru mengetahui kalau orang tersebut adalah Kurnia. Aku berdehem, dengan maksud memberitahukan kehadiranku padanya. Tapi ia seolah tidak mendengar. Tidak peduli sama sekali terhadap kehadiranku. Sekadar menoleh kearahkupun tidak. Masih saja tetap dalam posisi semula. Berdiri membelakangiku.

Aku berjalan menghampiri dan berdiri tepat disampingnya. Aku melirik kearahnya.
"Elueuh.. eleuh.. kunaon eta, euy..", pekikku dalam hati.
Ternyata, Kurnia sedang ngloco/onani/merancap/masturbasi. Jantungku berdegup dan darahku terasa mendesir menyaksikan sebongkah batang kemaluan menegang dengan besarnya. Menyeruak dari genggaman jemari tangan yang bergerak maju mundur. Kepala penisnya memantulkan kilau merah keunguan dengan titik-titik precum menyembul dari ureter. Suara gemerisik gesekan tangan dengan batang penis itu serta helaan nafas yang memburu melengkapi suasana sensasional malam itu.

"Eh.., lu, Kur..?", tenggorokanku terasa tercekat ketika kuberanikan diri membuka percakapan, menyapanya.
Sementara, Kurnia, hanya sekilas menoleh dan tersenyum kecil sambil tetap membiarkan batang kemaluannya berselancar dengan riangnya di dalam gengaman jemarinya.
"Sayang, atuh, dibuang-buang gitu..", aku memberanikan diri mengomentari tindakannya itu.
"Lu mau?!?", sekonyong-konyong, dengan gaya acuh, Kurnia berbalik arah memberi isyarat padaku untuk menghisap kemaluannya yang saat itu seperti sedang meronta-ronta ingin lepas dari genggamannya.
"Yes, this what I mean!", seruku dalam hati.
Aku tersenyum menatapnya. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera merunduk jongkok. Mengambil alih batang kemaluan dari genggaman tangannya. Hilang sudah keinginanku semula untuk kencing.

Cuping lubang hidungku mengembang ketika mengendus semerbak aroma kelakian yang menggairahkan menyebar dari arah selangkangan Kurnia. Terlihat semakin jelas bongkahan penis yang mendongak dengan perkasa, menyeruak dari kerimbunan pubicnya yang ikal kelam dan lebat. Sambil menghirup dan menikmati aroma khas itu, bibir dan lidahku segera menyeruput dan menggumuli batang kemaluan yang menegang dengan tekstur guratan otot-otot disekelilingya.
"Nyummy.. nyumy.. nyummy", Aku mengelamoti glans seolah menikmati es lollypop yang lezat.
Kepalaku bergerak maju mundur menimbultengelamkan kepala penis Kurnia ke dalam kehangatan dan kegairahan birahi melalui kuluman mulutku. Bunyi berdecak dan kecipak bibir dan lidahku bersahutan dengan suara desah dan lenguhan kenikmatan Kurnia. Sesekali Aku membuang pandang ke atas. Menyaksikan ekspresi wajah kenikmatan Kurnia. Kedua belah tangan Kurnia bergerak-gerak meremas rambut di kepalanya sambil mulutnya mengerang dan mendesah.
Matanya terpejam dan ujung lidahnya menjulur-julur keluar dari mulutnya yang setengah membuka mengeluarkan desah suara, "Aach.. shhzz. ooch.. ahchh..".
Badannya menggelinjang limbung ke kiri dan kanan mengimbangi cumbuanku yang semakin menggila.

Pada saat yang sama, jemariku meluncur menyusuri batang penisnya. Menekan dengan lembut kulit kelaminnya. Bermula dari glans menuju ke arah bawah. Selanjutnya bersemayam di pangkal batangnya yang tegang itu. Dengan cara penekanan seperti itu, gurat-gurat otot di sepanjang batang penis menjadi lebih jelas terlihat. Kemudian dengan sedikit jilatan kasar lidahku menyapu dan mengelitik otot-otot itu. Maju mudur dari bawah ke atas dan sebaliknya.
Kurnia makin meracau, terbukti dari ucapan-ucapannya yang menjadi tidak jelas terdengar selain hanya deretan kata-kata, "Oouwh.. ochh.. enghzz.. fhs.. sshzz.. enyaak.. ouch.. terruuss.. oowug.. acchs.." yang meluncur deras dari bibirnya.

Aku terkejut ketika secara tiba-tiba, tangan Kurnia merenggut dan menekan kepalaku kearah selangkangannya. Tubuhnya terguncang dengan dengus nafas memburunya yang tersengal-sengal seraya memuntahkan cairan hangat gurih dimulutku. Aku hampir tersedak oleh semburan deras lahar birahinya dan sempat kesulitan bernafas karena hidungku tersumbat oleh kelebatan pubic Kurnia yang menutupi dan menggelitik lubang hidungku. Paduan sensasi rasa yang luar biasa kurasa. Aku terduduk lunglai di lantai. Kelelahan. Kedua bilah bibirku terasa tebal, dan jontor. Lidahku terasa kelu dan pegal. Butir-butir keringat mengalir membasahi tubuhku. Betul-betul olah syahwat yang melelahkan.

Belum selesai aku melakukan cooling down, mendadak Kurnia membungkuk ke arahku. Aku tidak menyangka jika kemudian ia meraih dan memelukku. Melumat bibirku. Lidahnya dengan liar menggapai-gapai langit-langit mulutku, seolah hendak menguras sisa spermanya yang masih melekat di mulutku. Hisapan mulutnya pada bibir dan lidahku melemaskan kembali organku yang semula terasa kelu dan kebal. Jemarinya gesit menjelajah lekuk tubuhku, menurunkan celana boxer yang kupakai serta menyingkirkan celana dalamku. Aku menggelinjang dan tubuhku terasa gerah terbakar cumbuan Kurnia yang menggelora.

Aku kagum juga pada Kurnia. Meski sudah ejakulasi, ternyata batang kemaluannya masih tetap ereksi. Aku melihat penisnya masih terayun-ayun tegak menantang dengan seksinya. Sambil memagut bibirku kurasakan jemari Kurnia merayap menggelitik lubang pelepasanku. Kemudian ia menyuruhku berdiri dan meletakkan satu kakiku bertumpu pada dinding bak mandi. Dalam posisi itu, celah diantara kedua bongkah pantatku membuka. Rectumku terasa mengembang lebar. Aku merasakan dinginnya malam menerpa dan menyelusup celah itu.

Aku kaget ketika kurasakan ujung lidah Kurnia yang basah dengan binalnya menggelitik tepi rectum, sementara jemarinya tanpa keraguan mengusap-usap batang kemaluan dan pubicku. Ditimpali pula dengan gesekan kumis dan sedotan bibirnya pada permukaan rectumku. Sekujur tubuhku bergetar menahan sensasi kenikmatan yang ditimbulkan. Masih di ruangan kamar mandi, kami beringsut pindah ke tempat yang tidak basah. Kurnia segera merebahkan diri. Batang penisnya tegang mengarah ke atas. Sambil melumuri penisnya dengan air liur ia memintaku jongkok di atas selangkangannya. Kurasakan jemarinya yang basah dengan saliva mulai melumuri dan merangsang rectumku.
Ujung jarinya terasa mencoba menguak lubang analku. Bergerak-gerak membuat arah lingkaran dan menggelitik dinding collon. Aku melemaskan rectum dan collon sehingga jemari Kurnia leluasa menjelajahi lekuk-lekuk di dalamnya. Kemudian kurasakan kedua jari Kurnia sudah mulai dapat menyusuri rongga kenikmatanku. Aku mendesah dan melenguh merasakan kenikmatan yang sangat. Aku berusaha merilekskan tubuh dan mengarahkan lubang duburku arah penis Kurnia. Perlahan namun pasti, aku mulai bergerak ke bawah menggapai glans penis itu serta mencoba menenggelamkannya ke dalam lubang Kenikmatan Gairah Birahi.

Kurasakan kenyerian yang sangat. Perutku terasa melilit karena mendapat tekanan batang kemaluan Kurnia. Rectumku terasa pedih, panas dan perih. Walau aku sudah mencoba bersikap serileks mungkin, namun collonku masih kesulitan melumat seluruh penis Kurnia. Keringat tubuhku mulai menitik. Aku mengumpulkan air liur dan meludahkannya ke telapak tanganku. Kutambahkan salivaku ke batang penis Kurnia dan permukaan rectum. Kemudian dengan semangat perjuangan, secara mendadak aku menghentak sekuat tenaga, sehingga keseluruhan batang kemaluan Kurnia akhirnya melesak masuk ke dalam cengkeraman lubang kenikmatanku.
Keringat membanjiri tubuhku menahan kenyerian, karena penis Kurnia yang terlalu besar diameternya. Selanjutnya dengan sedikit mencondongkan tubuh ke depan dengan bertumpu pada kedua belah kakiku yang terlipat, aku bergerak memajumundurkan tubuhku di atas selangkangan Kurnia. Rectumku kudenyut-denyutkan agar dapat memberikan efek remas dan pijatan ala mak erot, atau semacam empot-empotan pada batang kemaluan Kurnia.

Gerakan dan gesekan-gesekan yang kami lakukan memberikan efek sensasional yang luar biasa. Lenguhan dan desahan suara penuh nikmat mengiringi perjalanan mengayuh birahi mengantar kami menuju titik perhentian.
"Ooohh.. aah.. sshzz.. ngh.. fhs.. aach.. ennghss..".
Kata-kata tak bermakna namun mendebarkan hati siapapun pendengarnya itu menghiasi setiap gerakan dan goyangan persetubuhan yang kami lakukan. Jemari Kurnia mengelus-elus punggungku yang basah oleh keringat. Sesekali jemarinya disodorkan kemulutku dan segera kuhisap-hisap dan kugelitik ujung jarinya dengan lidahku. Sekelebat ingatan tayangan tivi goyang Inul Daratista membuatku terpacu meniru melakukan goyang ngebornya. (Namun, sejujurnya, goyangan ngebor ala "Inul" itu tidak dapat sepenuhnya diterapkan. Pasalnya, kemaluan Kurnia akan terlepas dari cengkeraman rectumku apabila aku bergoyang seheboh Inul. Akhirnya aku hanya bergoyang ala mengulek sambel di cobek. Dengan cara itu, penis Kurnia tetap dapat bersemayam ditempatnya, menikmati buaian empot-empot kontraksi otot collon dan rectumku). Kurnia mengimbanginya dengan memutar-mutar dan mendorong-dorong pinggulnya ke atas. Menjadikan senggama sejenis ini seolah bagai tarian erotik di pentas cinta, ditingkah pacuan dengus nafas dan detak jantung yang kian memburu.

Menciptakan variasi gaya bercinta, perlahan kami bergerak hati-hati mengubah posisi senggama. Menjaga agar penis Kurnia tidak terlepas dari cengekeraman rectumku. Aku menjatuhkan badan ke tubuh Kurnia. Meluruskan kaki yang tadi terlipat. Selanjutnya sambil tetap berdekapan kami memutar tubuh ke samping dan kemudian berbalik. Sekarang aku terbaring terlentang dan Kurnia bertumpu dengan kedua belah tangannya berada di antara ke dua belah pahaku yang mengangkang. Kurnia mengaitkan kedua kakiku ke pundaknya. Pinggangku menjadi agak tertarik ke atas. Penis Kurnia masih bersemayam dalam collonku. Kini ia mulai bergerak memompa diriku. Kenyerian yang muncul pada awal penetrasi tadi kurasa telah sirna berganti dengan kenikmatan yang sangat.

Sambil terus memompa Kurnia mencumbui diriku. Mulutnya bergantian menghisap-hisap puting susuku, menelusuri leher dan melumat bibirku. Jemari tangannya bergerilya menyusuri lekuk tubuh dan sesekali meremas-remas dadaku. Kurnia menciptakan irama senggama yang nikmat, tiga empat kali cabut benam dengan sekali gesek dan tekan goyang yang dalam. Perhitungan Kurnia sangat tepat sehingga penisnya tidak terlepas dari remasan rectumku. Pubicnya yang lebat dan kasar memberikan tambahan sensasi gelitik di bongkah pantatku. Tidak terhitung lagi berapa kali helaan nafas dan desah, lenguh yang lepas dari mulut kami bagai lantunan lagu acapella.

Seolah terbang ke langit tinggi dan berjalan tanpa menjejakkan kaki ke bumi. Melayang. Aku limbung. Demikian pula dengan Kurnia. Sampai akhirnya, Kurnia memuntahkan seluruh hasrat birahinya di dalam relung tubuhku. Aku dapat merasakan puncak gelora ketika batang kemaluannya terguncang-guncang, menggelepar dan menyentak memancarkan cairan kenikmatan persenggamaan. Diiringi lenguhan suara yang panjang, tubuh Kurnia mengejang dan tangannya mencengkeram erat pundakku. Kupeluk tubuh Kurnia yang rebah di atas tubuhku. Kudengar dengus nafasnya masih tersengal-sengal. Keringat membanjir membasahi lantai kamar mandi.

Aku mencegah Kurnia mencabut penisnya dari tubuhku, Biarlah ia bersemayan sejenak sementara dengan jurus empot-empotan collon dan rectumku aku mencoba memberikan pengakhiran yang nyaman untuk Kurnia.
"Terima kasih, Nug", Kurnia berbisik di telingaku.
"Lu belum keluar kan?", sambung Kurnia.
Aku cuma tersenyum. Dan Kurnia tidak melanjutkan pembicaran selain tetap memeluk dan menindih tubuhku. Namun tidak beberapa lama kemudian kurasakan ia bergerak-gerak kembali seperti hendak mencabut penisnya. Aku membiarkannya. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Kuakui sejak tadi aku memang belum ejakulasi.
"Sini, gantian gue sepongin punya lu?", kata Kurnia tiba-tiba.
Ucapan Kurnia sungguh mengejutkan diriku. Aku tidak mengira ia akan mau berbuat hal yang sama dengan yang kulakukan padanya.
"Kenapa lu, heran? Lu pan udah mau ngebantuin gue, masak sih, gue, tega kagak mau ngegituin lu?", lanjut Kurnia kemudian dengan acuhnya.
"Pertama liat lu datang, sebenarnya gue udah naksir lu. Tapi gak lucu juga dong, kalo baru ketemu langsung gue ajak lu maen. Iya kalo lu mau. Kalo kagak? Nah, gue yang tengsin, man!", Kurnia menepuk-nepuk bahuku.
"Tapi radar di hati gue tetap bilang kalo lu tuh, bisa buat di ajak main beginian, dan gue kagak salah nebak kan?", sambung Kurnia kemudian.
"Ok deh, Kurnia, gimanan kalo giliran gue besok malam aja ya. Lu tadi denger kan, di luar udah kedengeran bel bunyi empat kali. Bentar lagi anak-anak pada bangun. Dari pada ntar kitanya tengsin", sahutku.

Kurnia mengecup bibirku dan kemudian berdiri mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali, Sementara aku tetap di kamar mandi membersihkan sperma Kurnia yang masih tertinggal di dalam collonku. Aku jongkok mengejan dan kuarasakan cairan hangat sperma mengalir keluar. Terus kulakukan sampai aku yakin semua keluar. Sambil mandi pagi aku membersihkan collon dan rectumku. Kembali terasa pedih, namun kenyerian itu terkubur oleh rasa kenikmatan persenggamaan sejenis yang kami lakukan tadi (Tapi sungguh mati, aku tidak tahu kalau tanpa sepengetahuanku, ternyata ada beberapa pasang mata lain yang menelanjangi semua adegan yang kulakukan tadi. Aku baru tahu ketika siang hari, pada saat makan, Dhana, salah seorang diantaranya menghampiriku dan membisikan keinginannya main denganku. Buatku pucuk di cinta ulam tiba. Pasalnya, aku juga sudah menaruh hati pada beberapa orang tersebut. Dari sepuluh penghuni kamar itu empat orang diantaranya pernah bermain-main denganku. Angka ratio prevalensi yang cukup signifikan).

Di tempat penampungan sementara itu aku hanya berada satu bulan setengah lamanya. Sempat juga aku merayakan ulang tahun di dalam sel. Sahabatku dari luar membawakanku kue tart. Itu adalah kejadian ulang tahun yang memberikan kesan tersendiri bagiku. Berulang tahun di dalam penjara. Ketika itu aku bahkan difoto dengan memakai baju tahanan warna biru sambil memegang kue tart ulang tahun.

*****

Seminggu setelah ulang tahunku aku dipindah ke lembaga pemasyarakatan kelas 1. Di tempat yang baru ini aku beruntung tidak di tempatkan di blok. Namun di sebuah kamar dengan hanya enam orang penghuni yang semuanya asik gaul menurutku. Aku juga heran, ternyata kehidupan penjara tidak seseram yang kubayangkan sebelumnya. Singkat kata, irama kehidupan yang kujalani tidak berubah, hanya tempat aku hidup saja yang berubah.

Salah seorang sahabatku, Wisnu, sempat iri ketika aku menceritakan pengalamanku ini saat ia datang membesukku.
Bahkan, karena antusiasnya ia sempat meninju lenganku seraya berkata, "Sialan, lu, giliran bercinta gak ajak-ajak gue deh..". Ketika aku menceritakan adegan-adegan di dalam penjara.
"Auch..". Aku terpekik.
Rupanya pekikan suaraku sempat membuat pengunjung lainnya berpaling ke arahku. Aku jadi tersipu malu, dan Wisnu tertawa menyaksikan ulahku. Wisnu sempat juga kukenalkan dengan beberapa orang yang pernah "main" denganku.

Apabila di tempat penampungan sementara aku hanya dapat bercinta pada malam hari maka di lapas ini kebebasan lebih banyak kumiliki. Aku dapat memadu cinta pada siang hari. Memanfaatkan waktu jam besuk. Misalnya saja, ketika penghuni kamar lainnya sedang keluar menerima kunjungan atau berolah raga, aku tetap di diam di kamar berasik masyuk dengan Aka.

Aka adalah sosok muda usia yang menarik perhatianku. Bentuk tubuh proposional. Potongan rambut crew cut dengan jambul model film Tin-Tin. Kulit coklat bersih. Tutur bahasa yang santun, Semua itu tidak dapat menyembuyikan latar belakang sosial dan edukasinya. Ia memang berasal dari kalangan berada dan terpelajar. Karena di sini aku tidak bicara soal pelanggaran pasal-pasal KUHP dan sejenisnya, maka aku tidak merasa perlu menceritakan alasan Aka masuk ke dalam sel. Awal mula hubungan ketika aku mendapatkan Aka sedang meringkuk di divan dengan tubuhnya yang demam. Sepertinya ia sedang masuk angin. Aku menawarkan diri untuk mengerik dan memijat badannya. Ia tidak keberatan. Saat kusentuh keningnya memang terasa agak hangat.
"Tuh.., kamu pasti masuk angin, Ka. Mau aku kerik badanmu?", kataku menawarkan diri.

Aka tidak menyahut selain mengangguk seraya melepaskan t-shirt yang dikenakannya. Kemudian ia berbaring tengkurap. Dengan uang logam limaratusan rupiah dan balsam balpirik kayu putih aku mulai mengerik punggung Aka. Tidak memerlukan waktu lama semua punggung Aka sudah bagaikan kulit kuda zebra. Hanya ini bukan hitam putih, namun coklat dan merah kehitaman. Selesai mengerik punggungnya aku memintanya agar membalikan badan untuk mengerik bagian depannya. Ketika sudah membalikkan badan itu aku dapat menyaksikan dari dekat secara keseluruhan tubuh Aka yang mempesona. Tidak kurus dan juga tidak gemuk. Perutnya tidak berlemak dan dadanya bidang kenyal.

Aka berbaring telentang dengan menyilangkan kedua tangan di bawah kepalanya. Bulu ketiaknya yang lebat, lurus dan legam tumbuh berserak disekitar pangkal lengannya. Menebarkan aroma maskulin. Dengan posisi seperti itu keseksi-an tubuh Aka jelas tergambar. Apalagi ketika aku melirik ke arah bawah, terlihat siluet bongkah batang kemaluannya yang menggelembung di balik celana hawai-nya. Kentara ia sedang tidak memakai celana dalam (di penjara hampir jadi hal yang biasa melihat aneka kontur penis membayang dibalik celana. Sebab selalu saja ada yang tidak memakai celana dalam).

Aka tersenyum sayu menatapku saat kami tak sengaja beradu pandang. Aku tersipu (saat itu aku sungguh merasa salah tingkah). Namun segera kutepis angan nakalku itu. Aku kembali mengerik tubuh depan Aka hingga tuntas. Sikap Aka yang pasrah dan kooperatif membuatku cepat menyelesaikan tugas mengerik badannya. Wow, betul-betul warna merah hitam yang merata di sekujur tubuhnya.

Setelah itu aku meminta Aka tengkurap kembali. Kini aku mulai memijatnya. Dari pundak, punggung, mengarah ke pinggang. Kemudian berputar-putar disekitar bongkah pantatnya yang kenyal dan padat. Aku meremas-remas bongkah pantat itu. Menekan titik-titik rangsangnya. Aku tahu kalau Aka mulai menginginkan lebih saat terlihat ia mulai meregangkan kedua belah kakinya. Berlainan dengan posisi awal pemijatan yang merapatkan kedua belah kakinya.

Tanganku bergerak ke arah bawah bongkah pantatnya. Jemariku mencoba menguak celah diantara ke dua bongkah itu sambil tetap meremas, menekan dan memijat.
Efeknya mulai terasa ketika dari bibir Aka aku mendengar desahan suara, "Ach.. och.. sshhzzs.. aachh.. nghss.. ouch.." seraya tubuhnya bergerak mengelinjang ke kiri dan ke kanan.
Perlahan tapi pasti aku mulai menaikan pipa celana hawainya ke atas untuk mencapai paha bagian dalamnya. Semakin lama semakin terangkat ke atas sehingga jemariku dapat dengan mudah meraba paha bagian dalam dan menyentuh buah zakarnya yang terlihat menyembul dan terhimpit tubuhnya.
"Dibuka aja kolornya ya biar lebih gampang?", kataku dengan suara setengah tersekat kepada Aka.
"Terserah.. ach.. och.. sshhzz. emmhs.. aacchh..", sahut Aka dengan suara bergetar sambil mendesah-desah menikmati remasan jemariku di bongkah pantatnya.

Ketika kupelorotkan celana hawainya itu, aku hampir berhenti bernafas melihat pemandangan indah yang terpampang dihadapanku. Deretan pubic ikal menyeruak dari belahan bongkah pantatnya itu. Bagai deretan tanaman pinus di bukit manoreh. Sambil terus memijat dan meremas aku mencoba menguak belahan itu. Mataku dengan nanar mencari-cari letak duburnya yang tersembunyi oleh kelebatan pubicnya. Begitu terlihat, tanpa permisi lagi, kepalaku langsung merunduk. Mendekatkan kedua cuping hidungku seraya menghirup aroma semerbak yang terpancar dari zona sensitive itu.
"Hem.. sshz.. oocchh.." tubuhku terasa terbakar.
Aku tidak dapat mengendalikan diri lagi. Tanpa kusadari lidahku sudah menjulur menjilat-jilat (rimming) lubang anal Aka. Aku tidak peduli lagi dengan konvensi dan sejenisnya. Aku merasa sudah mendapat lampu hijau dari desahan-desahan suara Aka sebelumnya.

Memang, pada mulanya Aka sempat terlonjak. Tampak terkejut. Berbalik badan menatap tajam ke arahku, penuh keheranan. Ketika mendadak merasakan basah ujung lidahku menjelajahi analnya. Pada saat itu, sebenarnya, aku juga kaget. Aku takut kalau Aka tidak terima dengan perbuatanku dan lantas memancing keributan. Namun, untungnya, tidak terjadi hal seperti yang kutakutkan.
Kebekuan hanya berlangsung sebentar. Karena sesaat kemudian Aka segera kembali pada posisi semula. Bahkan, kini ia mulai mengangkat pinggangnya dan meyorongkan pantatnya ke arahku. Aku makin leluasa menjilatinya. Decak dan kecipak suara bibir dan lidahku bersahutan dengan suara rintihan kenikmatan Aka.
"Ach.. ouch.. shshsszz.. nghhgs.."
Sambil terus mengelamoti pantatnya, jemariku mencoba merayap ke penisnya. Ternyata batang kemaluannya sudah tegak membatu. Wah, lumayan juga ukurannya. Dapat kurasakan dari jemariku yang kewalahan menggenggamnya.

Langsung aku menggapai tubuhnya agar berbalik arah. Kini Aka sudah terlentang ke arahku dengan penisnya yang ereksi sempurna tersembul dari kerimbunan pubic yang ikal dan lebat. Seksi sekali. Mendadak Aka merenggut tubuhku ke arahnya. Ia segera memeluk tubuhku dan memagut bibirku. Aku merasakan bibirku digigit dan dihisap-hisap. Kemudian ujung lidahnya menerabas masuk menggelitik rongga mulutku. Makin memberikan sensasi rangsang yang menggairahkan. Kami berguling-gulingan. Saling menekan dan memeluk. Tapi aku masih tetap berpakaian. Semacam body contac namun tidak ada penetrasi. Istilahnya sih, petting.

Aku menyelusupkan kepala ke balik lengannya. Menjilat dan menghirup aroma kemaskulinan yang mengairahkan. Aka menggelinjang dan melenguh. Setelah itu aku beringsut ke bagian bawah. Menyergap bongkah penisnya yang sudah mengacung sejak tadi. Menjamahnya dengan pagutan gairah penuh dahaga. Aka terengah-engah mendesah dan melenguh. Jemarinya mengelus dan menjambak-jambak rambutku.
"Aaghh.. oogh.. shhzz.. eengh.. ffsshh.."
Tapi kami masih sadar bahwa hubungan sejenis ini tidak boleh diketahui oleh orang lain atau bahkan sipir. Karena itu, apabila semula dalam posisi berbaring, kini Aka berdiri, sambil membuang padangan ke arah pintu keluar. Sehingga aku pun mengikuti arah gerak tubuhnya. Kini aku berdiri dengan bertumpu pada kedua lututku yang tertekuk. Kepalaku tetap beregerak majumundur meluluhlantakkan hasrat birahi Aka yang sedang terbakar gairah.

Kuluman, pagutan, sepongan yang kulakukan dipadu dengan goyangan pinggul Aka makin membuat suasana bertambah panas. Sontak tubuh Aka mendadak kejang dengan kedua tangannya menekan kuat kepalaku ke arah selangkangan. Terasa penisnya memancarkan cairan kejantanan yang tumpah ruah di dalam mulutku.
"Sshhzz.. hahh.. ssfh.. aaghh.. aaghh.. uufh..", desah suara Aka bergetar saat menyemprotkan spermanya.
Mulutku dengan rakus menghisap, melumat dan mengenyot glans Aka agar menghadirkan sensasi empot-empotan yang sempurna. Seiring dengan tandasnya sperma Aka di mulutku, batang penisnya terasa mulai menyusut dan kembali ke ukuran semula. Aku membiarkan Aka menariknya dari kulumanku.

Dengan punggung tanganku aku menyeka bibirku yang terkena ceceran cairan kejantanan Aka.
"Thanks, Nug. Ntar malam lagi ya?".
Aku tidak menyahut kecuali mengedipkan sebelah mata seraya melemparkan celana hawai ke arahnya. Setelah itu aku bergegas keluar kamar bergabung dengan penghuni lain yang sedang berada di luar menerima kunjungan. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Aku yakin pula bahwa setelah ejakulasi tadi Aka sudah tidak masuk angin lagi.

Sabtu, 01 Mei 2010

Bapak Kost


Sore itu cuaca begitu buruk, langit tampak gelap dengan gerimis yang mulai turun. Aku sendiri bete banget di kost-kost-an, sepi. Pak Arman bapak kostku masih di kantor, ibu kost ngurusin bisnisnya di luar kota dan kedua anak ibu kost kuliah di Jakarta, itu pula yang mungkin menjadi alasan mereka mau 'menampung' aku, 'dari pada sepi'. Yang kost di rumah ini memang hanya aku sendiri, jadi sudah seperti keluarga. Aku sendiri masih duduk di bangku SMA kelas 2. Tapi karena kebetulan jarak sekolahku lumayan jauh, aku disuruh kost. Pak Arman sendiri adalah kenalan Bapakku.
"Bi, masak apa hari ini..?" dari pada menganggur, kuhampiri Bi Onah di dapur.
"Eh, Den Anto, biasa Den.. gulai kambing kesukaannya Tuan Arman."
"Wiih asiik Anto juga suka! Apalagi kalo Bibi yang masak, hmm.. enggak ada duanya Bi!" Si Bibi hanya tersenyum.
"Anto bantuin ya?" "Aduh enggak usah, Den! Inikan kerjaannya cewek.."
"Kata siapa, Bi. Sekarang mah udah berubah, enggak ada lagi perbedaan kayak gitu. Buktinya direstoran-restoran terkenal kebanyakan tukang masaknya cowok!" "Tapi, Den.." "Udah, enggak apa-apa Bi, dari pada bengong. Sekarang mana yang bisa Anto bantu?" Akhirnya si Bibi nyerah juga. Aku bantuin apa saja sebisaku, motong-motong daging, menggoreng bumbu, wah ternyata asyik juga. "Ada koki baru, nih?" tiba-tiba terdengar suara berat di belakangku, aku menengok, ternyata Pak Arman. "Eh, Bapak..!" aku jadi malu sendiri, "Dari pada bengong nih Pak, apalagi tadi bete banget!" Pak Arman hanya tersenyum. "Pakaian Bapak kok basah semua?" "Tadi mobilnya mogok di tengah jalan, ya udah mau enggak mau kudu hujan-hujanan.." Aku terus menatap tubuh Pak Arman. Dalam pakaian basah seperti itu jelas sekali terlihat bentuk tubuhnya. Di usia kepala empat, Pak Arman memang masih kelihatan gagah dan kekar. Aku sedikit berdesir melihat tonjolan besar di balik celananya. "Mandi dulu Tuan, nanti masuk angin.." si Bibi tiba-tiba menyela dari belakang. "Iya Pak, lagian Ibu lagi enggak ada, entar siapa yang ngerokin!" "Kan ada kamu!" Pak Arman tertawa mendengar gurauanku, tetapi kemudian ia segera berlalu ke kamar mandi. Tak lama terdengar suara guyuran air. Tiba-tiba aku membayangkan bagaimana keadaan Pak Arman waktu bugil, memikirkan itu kemaluanku langsung mengeras. Malam itu sama sekali aku tidak dapat tidur. Entah kenapa tubuh Pak Arman yang basah terus terbayang di mataku. Busyet! Kenapa jadi begini? Untung acara TV malam itu lumayan bagus, jadi aku dapat sedikit mengesampingkannya. "Belum ngantuk, To?" Aduh, suara itu lagi. "Eh, belum Pak..!" Aku sedikit gerogi ketika Pak Arman duduk di pinggirku, padahal dulu-dulu tidak seperti ini. "Acaranya bagus?" Pak Arman menatapku, oh Tuhan matanya begitu teduh. "Lumayan Pak, buat nyepetin mata yang enggak bisa di ajak kompromi.." Sesaat suasana hening. "Bapak juga kok enggak tidur..?" kucoba memecahkan suasana, "Kangen Ibu, ya?" Pak Arman tersenyum. "Saya sudah biasa di tinggal istri, To.." "Sorry, Pak.." Aku jadi merasa tidak enak sendiri. Malam semakin larut dan udara makin terasa dingin, dan kami masih asyik nonton TV, walaupun pikiran saya tidak tertuju kesana. "To, Kepala saya agak pusing.., mau enggak kamu pijitin kepala saya..?" Aduh saya benar-benar tidak tahu harus berbuat seperti apa. Pak Arman terus menatapku. "I.., iya Pak..!" ujarku sedikit gugup. Aku kemudian berdiri. "Mau kemana?" "Mijitin kepala Bapak.." "Udah kamu duduk disitu aja.." Tanganku ditariknya kembali ke kursi panjang. Sungguh aku tak mengerti. Aku kemudian duduk kembali dan tiba-tiba Pak Arman merebahkan kepalanya di pangkuanku. Sungguh saat itu aku tidak dapat mengendalikan lagi denyut jantungku. "Di sini, To.." Pak Arman memegang tanganku dan kemudian diletakkan di keningnya. Untuk sesaat aku terpaku dan kemudian dengan sedikit gemetar memijat keningnya. Kulihat Pak Arman memejamkan matanya. Dengan takut dan ragu-ragu kuperhatikan wajahnya. Sungguh sangat sempurna. Alis yang rimbun, hidung yang bangir, kumis tebal dan kaku, dagu yang terbelah.., oh Tuhan aku nyaris tak dapat mengendalikan diri. "Oh, Nikmat sekali, To.." Pak Arman mendesaah perlahan. "Aku jadi ngantuk, boleh tidur disini dulu enggak? Entar kalau acaranya selesai, bangunkan ya!" "Ya, Pak.." Entah mimpi apa aku semalam bisa berduaan seperti ini dengan Pak Arman. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Tetapi kulihat Pak Arman tidak juga memejamkan matanya. "Kenapa, Pak? Katanya mau tidur?" Pak Arman terus menatapku, aku jadi salah tingkah. "Aku teringat, Diko. Sudah 5 bulan aku tidak ketemu dengannya." "Dia kan sedang kuliah, Pak.." "Waktu kecil dia selalu kupangku seperti ini sambil kubelai rambutnya. Tak terasa anak-anak begitu cepat besar." Kulihat mata Pak Arman menerawang. "Waktu mereka masih ada, aku tak begitu merasa kesepian seperti sekarang, tapi ya begitulah tugas orang tua, memang cuma membesarkan dan mendidik anak, setelah itu.. Aku bersyukur ketika kemudian kamu kost disini, setidaknya rumah ini tidak begitu sepi lagi." Aku begitu terharu mendengar kata-kata Pak Arman, begitu menyentuh. Dan tak terasa tanganku bukan lagi memijat, tapi telah membelai rambut Pak Arman. Pak Arman memejamkan matanya sepertinya ia menikmati semuanya. "Semua orang tua mungkin pernah merasakan hal yang sama seperti Bapak.." aku mencoba menghibur, "Dan kalau Bapak mau, saya siap untuk menjadi teman bicara Bapak, kapan saja, asal Bapak tidak merasa kesepian.." Pak Arman membuka matanya. Dipegangnya tanganku. "Sungguh..?" Aku menganggukan kepalaku. Pak Arman tersenyum, kemudian ia mencium tanganku. "Thanks.." katanya manis. Ya Tuhan, dadaku seakan mau meledak merasakan hangatnya bibir Pak Arman disertai gesekan kumisnya di tanganku. Aku bingung harus berbuat apa. Pak Arman tersenyum melihatku, kemudian ia meletakan tanganku di pipinya. Sejenak aku terpaku. Perlahan kemudian kubelai pipinya yang kasar. Pak Arman memejamkan matanya. Aku terus membelainya, merasakan jambangnya yang belum dicukur. Aku penasaran sekali dengan kumisnya. "Kumis Bapak bagus.." "Kamu suka..?" "Ya, kelihatannya gagah.." Dengan ragu kubelai kumis Pak Arman. Ia tetap diam seperti sedang menikmati semuanya. Bibirnya tampak sedikit merekah, begitu indah dan merangsang, serasi sekali dengan kumisnya yang tebal. Aku sudah tak dapat menahan diri lagi. Perlahan kubelai bibir itu dengan gemetar. Sebenarnya aku takut dianggap tidak sopan, tapi kulihat Pak Arman tidak ada reaksi apa-apa. Aku semakin berani. Pak Arman kulihat semakin membuka bibirnya dan tanpa kuduga, tiba-tiba ia mencium jariku dan kemudian menghisapnya dengan perlahan. Aku begitu terpana. Matanya terbuka, ia tersenyum manis kemudian bangkit dari pangkuanku. Dipegangnya bahuku. "Aku ingin tidur bersama kamu.."
Direbahkannya tubuhku di kursi yang sempit. Ia kemudian ikut tidur sambil memeluk tubuhku. Aku teramat merasakan kepadatan tubuhnya yang membuatku semakin nafsu. Ia membelai rambutku. Aku tatap matanya, ia tersenyum, didekatkan kepalanya dan tiba-tiba ia mencium bibirku. Lembuut sekali. Aku memejamkan mata meresapi sensasi yang begitu indah. Ketika kubuka mataku ia sedang menatap wajahku, kemudian dielusnya pipiku, alisku, bibirku, dan kemudian ia menciumku lagi lebih lama. Bibirnya terasa manis, kurasakan lidahnya menelusup di rongga mulutku. Aku merasakan nikmat yang amat sangat, apalagi kumisnya begitu kasar. Kucengkeram punggungnya dengan kuat, nafasku semakin memburu. Pak Arman benar-benar ahli, aku yang baru pertama kali mengalaminya seperti orang meriang. Pak Arman tiba-tiba melepaskan ciumannya, ia menatapku dengan mesra. "Kamu menyukainya, To..?" Ya ampun.., kenapa dia harus bertanya seperti itu, sementara nafsuku semakin membuncah. Aku menganggukan kepala seraya membelai lehernya. "Ini yang pertama, Pak.." Aku mendekatkan lagi bibirku dan dengan ganas kembali kulumat bibir jantannya. Kutindih tubuhnya dengan nafsu. "Jangan disini, To.." Aku menghentikan aksiku. Pak Arman bangkit. Dimatikannya TV, kemudian ia mencium keningku sebelum membopongku ke kamarnya. Aku terpekik sejenak, tapi langsung kupeluk leher Pak Arman sambil kucium dadanya. Pak Arman tertawa kecil. Sesampainya di kamar, dengan perlahan direbahkannya tubuhku. Sambil menindihku Pak Arman terus menatap mataku dengan mesra, aku sampai tersipu. Kupeluk tubuhnya sambil kugigit lehernya, Pak Arman sampai terpekik. "Wah, kamu mirip drakula.." Pak Arman terus menggodaku. "Tapi drakula amatir.." balasku. Pak arman tersenyum. Dipijatnya hidungku. "Nih kalau yang profesional!" Tiba-tiba Pak Arman telah mencium leherku dengan gigitan-gigitan kecilnya. Aku terlonjak, geli tapi nikmat, apalagi kumisnya terasa sekali menusuk-nusuk leherku. Aku mengerang sambil menjambak rambutnya. Aku benar-benar tak kuat. Kakiku langsung kubelitkan di tubuhnya sambil menggeliat-geliat dengan liar. Pak Arman semakin bernafsu. Kini ia telah membuka bajuku, dijilatinya dadaku. Aku menjerit, benar-benar sensasi baru yang teramat indah. Aku semakin mempererat pelukanku, apalagi saat Pak Arman mengulum puting susuku, tubuhku sampai melengkung menahan kenikmatannya. "Pak Arman, oohh.." Pak Arman seperti tidak perduli dengan keadaanku, ia semakin buas. Tak lama kemudian tubuhku telah telanjang bulat, dan ia benar-benar membuatku tak berkutik. Ketika ia membuka bajunya, aku benar-benar terpana melihat tubuhnya yang masih berotot dengan bulu-bulu yang membelukar, membuatku semakin tak kuat, apalagi saat ia membuka celana dalamnya, oh.., batang kejantanannya begitu besar dan kaku. Aku sampai ngeri sendiri. Ia kembali menghampiriku dengan nafasnya yang memburu. Aku menyambutnya, kupeluk tubuhnya yang besar. Kubelai punggungnya sambil kuresapi ciumannya. Tangannya begitu nakal, dibelainya pahaku secara perlahan, dan kemudian bergeser ke arah batang kemaluanku yang tidak begitu besar. Aku pun tidak mau kalah, kuremas kejantanannya yang seperti pentungan hansip, Pak Arman mendesah. Aku kemudian melepaskan diri dari pelukannya. Kuciumi batang kejantanan yang begitu gagah, desahan Pak Arman makin keras. Di ujung kejantanannya yang hitam terlihat mulai keluar cairan bening, aku langsung menjilatinya, terasa asin tapi nikmat. Setelah itu langsung kukulum batangnya. "Ohh.. nikmat sekali, To! Terus, To!" Pak Arman mencengkram kepalaku. Aku semakin bersemangat, terus kukulum kejantanan itu sambil kumainkan lidahku di ujungnya, dan terkadang kugigit pelan karena gemas. Kemaluan Pak Arman begitu perkasa. Pak Arman terus mencengkram kepalaku. Bosan dengan itu kuciumi lipatan paha Pak Arman, ooh.. terasa sekali bau kelelakiannya. Lama juga aku bermain di situ, kemudian pelirnya kucium dan kukulum, sementara tanganku bermain di anusnya yang dipenuhi bulu. Aku mencoba memasukkan telunjukku, terasa sulit, tapi lama-lama bisa juga. "Terus, to.. oh.., nikmat sekali.." Pak Arman semakin menggelinjang. Kemudian kubalikkan tubuh Pak Arman. Kubelai pantatnya yang gempal, kucium dan terkadang kugigit. Oh.. nikmat sekali. Perlahan kubuka bongkahan pantatnya, kemudian kusibakkan bulu-bulunya yang lebat, terlihat anusnya yang mungil kemerahan seakan menantangku untuk mengulumnya. Langsung saja kujilati anusnya, desahan Pak Arman terdengar semakin keras, apalagi saat lidahku masuk ke lubangnya dan kemudian menghisapnya. Anusnya terasa harum sekali, sungguh aku sangat menyukainya. "Oh.., Anton, Bapak enggak kuat lagi.." Tiba-tiba Pak Arman membalikkan tubuhnya, dan kemudian membantingku ke kasur. Diciumnya leherku dengan ganas. "Boleh, Bapak ngentot kamu..?" ia menatapku dengan harap. Aku menganggukan kepalaku. Pak Arman langsung berdiri, kemudian ia menundukkan kepalanya di selangkanganku, kakiku ditariknya dan kemudian dijilatinya anusku. Oh Tuhan nikmat sekali, apalagi kumisnya kuat sekali menggesek-gesek kulitku. Tak lama ia mengangkat kakiku, kemudian diletakkannya di pundaknya, batang kejantanannya terasa sekali menyentuh anusku. Sesaat aku merasa ngeri membayangkan batang kejantanan Pak Arman yang besar membobol anusku yang kecil, tapi nafsu telah mengalahkan segalanya. Pak Arman sendiri tampaknya kesulitan memasukkan kejantanannya. Ia kemudian memakai ludahnya untuk dijadikan pelumas, tak lama batang itu mulai masuk, aku menjerit kesakitan. "Tahan dulu Sayang, Nanti juga tidak sakit.." Aku menganggukan kepalaku. Batang kejantanan Pak Arman makin masuk dan aku makin kesakitan. Pak Arman kemudian menciumbibirku sambil terus memasukkan kemaluannya. Ketika semuanya telah masuk, jeritanku semakin keras. Kemudian kugigit lehernya. Aku menangis kesakitan. Pak Arman diam sejenak, mencium bibirku, menjilati leherku dan mengulum telingaku. Sejenak aku melupakan rasa sakit itu. Ketika aku tidak menjerit lagi, ia mulai menggerakan batang kejantanannya. Kembali aku menangis kesakitan. "Sabar Sayang.., nanti juga kau akan merasakan nikmat.." Pak Arman berusaha menghiburku sambil terus memberiku rangsangan-rangsangan. Memang benar apa yang dikatakan Pak Arman, lama-lama aku merasakan nikmat juga. Perlahan kuimbangi gerakan Pak Arman sambil kubelai punggungnya yang liat. Keringat Pak Arman tampak sudah membanjir. "Terus Pak.., terus..!" Aku semakin merasa keenakan. Kupeluk tubuh Pak Arman makin erat, kucium ketiaknya dan kugigit lengannya. "Oh.., anusmu nikmat sekali, Sayang.." Gerakan Pak Arman semakin liar, digigitnya leher dan dadaku hingga membekaskan noda merah. Terasa sekali batang kejantanannya dengan kuat menyodok-nyodok anusku. "Gimana Sayang.., apakah masih merasa sakit..?" "Enggak Pak, nikmat sekali.." Kugigit puting Pak Arman yang berwarna kemerahan. Kusedot-sedot hingga gerakan Pak Arman semakin cepat. Pantatnya yang gempal kembali kubelai, kuremas dan kubelai bulu kemaluannya sambil memainkan anusnya. Sesekali jariku menusuk-nusuk anusnya. "Aku tak kuat lagi Anto.." Tubuh Pak Arman tampak gemetar, kemudian ia memelukku dengan erat sambil menggigit dadaku. Dan kurasakan denyutan keras di anusku disertai semburan hangat. Ketika semuanya reda, Pak Arman tetap memelukku, kubelai dan kuseka keringat di wajahnya. Kemudian kembali kubelai rambutnya. Pak Arman memejamkan matanya. "Terima kasih Sayang, aku puas sekali..!" Diremasnya pundakku tanpa membuka matanya. "Kamu ingin juga dikeluarkan..?" tiba-tiba Pak Armani membuka matanya dan menatapku. Aku menggelengkan kepala, "Enggak usah sekarang, Pak.." aku tersenyum, "Aku hanya ingin membahagiakan Bapak.." Pak Arman kemudian mencium pipiku dengan mesra. "Lebih menyenangkan memeluk Bapak seperti ini.." Kembali kurengkuh tubuh itu dengan kuat, kubelai sampai kemudian Pak Arman tidur di dadaku. Oh.., bahagia sekali rasanya hatiku, dan ini bukan mimpi. Kami terus melakukan hal itu sampai saya lulus dari SMA, dan kemudian kuliah di luar kota. Sejak itulah kami jarang bertemu, tapi saya akan terus mengingat Pak Arman, karena saya amat mencintainya. Dan entah mengapa sejak saat itu saya lebih bernafsu dengan melihat tubuh cowok yang lebih dewasa atau bapak-bapak. Untuk teman-teman yang ingin menjadi sahabat saya, dapat menghubungi saya.
 

Sample text

Sample Text


ShoutMix chat widget

Sample Text