Social Icons

Senin, 10 Januari 2011

kisah kecil ku

Ini adalah kisah NYATA homoseksualku yang belum pernah aku ceritakan kepada orang lain. Well kecuali kepada kalian para pembaca yang mungkin juga memiliki pengalaman yang serupa denganku, dan tidak direkayasa atau ditambahkan apapun. Aku adalah anak pertama dari tiga orang bersaudara dan berdarah oriental.

Kedua adikku perempuan dan saudara tidak seayah. Sedangkan ayahku sudah memiliki keluarga lain. Aku adalah anak yang dibesarkan tanpa kasih sayang dari seorang ayah. Ayah tiriku sendiri saat itu telah memiliki wanita lain disamping ibuku. Kami sebagai anak-anaknya sering kali melihat mereka saling ber'perang' atau melihat benda-benda yang melayang karena dilempar. Kehidupan keluargaku juga merupakan sebuah cerita yang jika disinetronkan akan jadi sebuah telenovela yang sangat panjang. Namun hal itu tidak akan kubahas di sini.

Bermula saat aku masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar di daerah Mangga Besar di Jakarta. Saat itu aku baru pindah dari daerah Mangga Dua ke daerah Kebon Kelapa (sekarang kedua daerah tersebut tinggal kenangan karena sudah banyak berubah). Aku berkenalan dengan dua orang anak dari tetangga sebelahku. Mereka, Andrew dan Darwin (kedua nama telah disamarkan) adalah Kakak beradik. Andrew lebih tua dua tahun dariku sedangkan Darwin lebih muda satu tahun dariku.

Ukuran tubuhku saat itu tidak terlalu kurus dan juga tidak terlalu gemuk. Kami selalu bermain ketempat-tempat yang jauh, cari-cari ikan diselokan atau bersepeda. Kadang suka menonton video, main game bersama atau main layangan. Aku juga sering datang kerumah mereka. Pada suatu sore saat aku berkunjung ke rumahnya, aku diajak bermain di atas loteng. Dari depan lotengnya, kami bisa melihat orang melewati rumah kami. .

"Gun, liat gue nih. Gue akan kencing dari atas ke bawah", ujar Andrew.

"Gila luh, kena kepala orang tau!" seruku sambil melihatnya mengeluarkan penisnya yang belum disunat.

"Ah, nggak apa-apa. Udah biasa tau" katanya.

Lalu dia benar-benar kencing seperti air mancur yang turun dari gunung yang tinggi. Aku segera melongok kebawah kalau-kalau ada orang yang kena.

"Untung gak ada orang", pikirku sambil kulirik 'burung'nya. Wah, menurutku 'burung'nya itu cukup besar untuk anak seukurannya.

Ia tersenyum saat aku meliriknya dan berkata, "Mau liat yang lain gak? Lebih seru nih..!"

"Boleh, apaan sih?" aku balik bertanya.

Kedua kakak beradik ini kemudian saling berhadapan satu dengan yang lain lalu saling melepaskan celananya, sehingga yang nampak adalah kedua penis mereka yang besar dan panjang. Mereka kemudian duduk saling berhadapan satu dengan yang lain, lalu saling menempelkan penis. Saat aku tertegun melihat tingkah polah mereka, Darwin menarikku untuk juga menunjukkan kejantananku. Darwin berbalik kepadaku dan melepaskan celanaku. Aku bingung bercampur malu saat itu karena tidak pernah 'burung' kesayanganku itu dilihat oleh orang lain kecuali orang tuaku tentunya. Apalagi saat itu aku tidak pakai CD. Andrew kemudian memegang penisku yang tertidur lalu digosok-gosokkan dan disentuhkan ke penisnya.

"Wah, burung loe lucu banget. Belum disunat ya", kata Andrew. Aku tertawa kecil.

"Ah, loe juga" jawabku.

Saat itu kulup kepala penisku dibuka. Aku hanya meringis saja. Kepala penis Darwin dimasukkan kedalam kulup kepala penisku. Jadilah kedua penis kami bersatu dan nampak menempel. Andrew tertawa saat menyaksikan hal tersebut. Darwin kemudian mempermainkan penisku sehingga agak tegang. Aku hanya diam mengikuti gerak alur mereka. Saat itu tangan Andrew juga ikut memegang penisku sehingga seakan-akan menjadi mainan baru mereka. Aku hanya mengeliat geli karena perlakuan mereka.

"Wah, ntar diliat orang nih?" kataku sambil melirik ke arah tangga.

"Nggak, lagian gak ada orang di rumah!" kata Darwin tegas.

"Ngaceng nih" seruku lagi.

"Biarin" katanya lagi, kemudian penisku diurut-urut dan digoyang-goyangkan. Karena sentuhan dan rangsangan mereka akhirnya penisku menjadi tegang berdiri. Kemudian mereka mengocok-ngocoknya.

"Aduh, sakit nih" seruku lagi.

Mereka hanya tertawa namun tetap melakukannya. Saat itu aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. . Sambil terus mempermainakan penisku, merekapun bercerita jika Ayah Ibu mereka sering melakukan hal ini di malam hari. Setelah itu mereka mengajakku kekamar. Aku kaget saat yang terjadi berikutnya adalah mereka menunjukkan kepadaku apa yang mereka lihat jika kedua orang tua mereka sedang bercinta. Mereka seperti sedang melakukann hubungan seks layaknya suami istri. Saat itu aku masih sangat polos sehingga hanya terbengong-bengong saja menyaksikan tingkah mereka.

Yang terjadi berikutnya adalah mereka menyuruhku untuk merebahkan diri. Ditaruhnya aku di atas kasur. Tanpa sepatah katapun, Andrew tiba-tiba menindih diriku. Aku kaget dan berusaha untuk menghindar. Apalagi badannya lebih besar dari aku. Tapi karena tangannya terus merangsang penisku dan mulutnya menciumku akhirnya aku malah menikmatinya. Sementara Darwin hanya menyaksikan perbuatan itu dengan tertawa.

Walaupun aku cukup risih untuk pertama kalinya tapi karena rangsangan demi rangsangan yang mereka berikan membuat aku menyukainya. Saat itu aku hanya mempunyai pikiran bahwa apa yang sedang kami lakukan ini sungguh nikmat dan belum pernah aku merasakan hasrat seperti ini. Yang kupikirkan adalah bahwa mereka teman-temanku dan aku tidak mau mengecewakan mereka. Wah, kecil-kecil mereka ternyata cabe rawit loh!

Hari demi hari terus kami lalui. Aku sangat senang bermain dengan mereka karena aku adalah seseorang yang memang kurang kasih sayang dari orang tua. Dan aku merasa mendapatkan kasih sayang dari teman-teman tetanggaku itu. Aku tidak tahu kalau ternyata 'permainan' yang sering kami mainkan membawaku lebih jauh dalam dunia yang aku tidak kenal sebelumnya. Setiap ada kesempatan, kami selalu melakukan hal yang demikian. Saat itu aku merasa adalah wajar-wajar saja jika beberapa teman cowok saling menunjukkkan penis mereka dan saling memegang, mengelusnya atau mengocoknya. Ah, sebuah pemikiran yang akhirnya membawaku menjadi seperti ini.

Sekitar setahun setelah kejadian itu, aku pindah rumah kontrakkan. Rumah baruku tidak jauh dari rumah kontrakkan sebelumnya sehingga teman-temanku sering datang. Kini giliran aku yang agresif. Setiap ada kesempatan, aku suka ajak mereka kerumahku. Tapi yang paling sering adalah Darwin. Aku senang padanya karena dia cakep dan putih banget. Aku suka sekali mengajaknya kekamarku, bercerita tentang hal-hal porno dan tentang tingkah laku Ayah dan Ibu kami masing-masing, atau tingkah laku orang yang sedang pacaran lalu tidur bareng sambil saling mengocok penis, walau saat itu aku dan dia belum akil balig, sehingga tidak ada sperma yang keluar.

Dia tidak pernah menolak saat kuajak untuk berhubungan badan (saat itu aku belum mengetahui anal maupun oral sex) atau saat aku mencium dirinya. Kami sering sekali memainkan kepala penis lawan main sambil membuka kulit kulum kepala penis. Kadang kedua penis kami sering kami gesek-gesekkan satu dengan yang lain atau kami satukan kedua penis kami dengan cara saling berhadapan lalu dikocok bersamaan dan itu menimbulkan kenikmatan tersendiri. Saat itu aku merasakan kepuasan jika bisa 'bermain' dengannya. Selama ini kami tidak pernah dilihat oleh orang lain sehingga merasa aman-aman saja. Kamar tidurku memang jarang dikunci karena aku suka lupa untuk menguncinya.

"Gun, lagi ngapain? Si Darwin juga.. Ngapain berdua aja?" seru pembantuku saat menyaksikan adegan kami.

"Lagi nggak ngapa-ngapain kok!" tangkisku sambil cepat-cepat meresleting kembali celanaku yang sedang terbuka sambil membelakangi Darwin yang tidak sempat meresleting celanannya karena penisnya sedang tegang.

"Untung aja baru membuka reselting" pikirku.

Kucoba untuk menutupi badan Darwin dengan badanku. Saat itu kulihat muka Darwin pucat pasi seperti melihat hantu. Entah apa yang ada dipikirannya, sepertinya kami akan siap-siap diomeli bahkan dipukuli jika ketahuan sama orangtua kami..

"Darwin dicariin tuh sama Mamanya", kata pembantuku yang kemudian keluar dari kamarku. Nampak di wajah pembantuku ada keingintahuan.

"Gun, gue balik ya. Gak enak nih diliat pembantu loe" kata Darwin pelan sambil menarik resletingnya.

"Iya deh. Sorry banget nih, dasar tuh pembantu, masuk nyelonong aja" gerutuku.

"Nanti main-main lagi ya ke sini", pintaku padanya. Dia hanya mengangguk, kemudian keluar rumahku dengan cepatnya.

Beberapa hari kemudian Darwin kembali main ke tempatku. Seperti biasa kami melakukan hal serupa. Tapi kali ini aku sangat terkejut karena tiba-tiba pembantuku kembali nyelonong saat aku dan Darwin tengah 'bermain pedang'.

"Wah, mati aku!" pikirku.

Aku dan Darwin sama-sama membisu, tidak tahu harus berkata apa. Pembantuku segera keluar kamar dan aku berharap agar ia tidak memberitahukan hal ini kepada mama. Darwin bergegas pulang. Aku hanya menunggu jika Ibuku akan memanggil. Ternyata.., Pembantuku tidak mau ambil pusing. Ia tidak memberitahukannya. Aku bernafas lega.

Sungguh itu adalah hari terakhir aku dapat bertemu dengan Kakak beradik itu. Saat itu aku sangat merindukan mereka, Namun apa dayaku, kami harus pindah rumah lagi karena jangka waktu kontrak rumahku sudah habis. Aku sangat sedih sekali saat itu karena harus berpisah dengan teman-teman 'sepermainanku'.

Sesungguhnya itulah permulaan dimana aku masuk kedunia yang belum kukenal. Seorang anak polos yang hanya menginginkan kasih sayang dari orang lain. Sampai saat pindahpun aku tidak tahu apa istilah dari gay itu. Untuk kalian berdua yang mungkin membaca cerita ini, aku sangat senang bermain dengan kalian. Terimakasih sudah menjadi teman-teman mainku dikala kecil.

Selamat tinggal Andrew. Selamat tinggal Darwin, aku sangat merindukan kalian! Aku hanya berharap kalian semua menjadi orang baik-baik.

anak ibu kos


Siang itu udara panas sekali. Sepulang kuliah aku langsung masuk ke dalam kamarku, dan tiduran di atas ranjang. Tak berapa lama aku tiduran, terdengar ketukan pada pintu kamarku.

"Deni, kamu ngapain?" terdengar suara Tante Ida, ibu kost-ku, "Tidur ya?"

"Oh, enggak kok Tante", jawabku sambil membuka pintu kamar.

"Ada apa Tante?" tanyaku.

"Begini nih Den, nanti malem Tante harus berangkat ke Palembang."

"Ada acara apaan nih Tante?"

"Sepupu Tante menikah."

"Ooo gitu, trus apa hubungannya dengan saya, Tante? Tante mau ngajak saya ke Palembang ya?" tebakku asal.

"Bukan, ah kamu ini, Den. Ngg.. Tante mau nitip si Aryo ke kamu, soalnya Tante pergi dengan Oom, dan si Aryo nggak Tante ajak, kan dia harus sekolah."

Kemudian tiba-tiba Aryo nyelonong masuk kamar.

"Ada apaan nih Ma? Kok kelihatannya sedang ngobrol serius?"

"Ah, kamu ini!", kata Tante Ida, "Selalu saja pengen tahu urusan orang."

Aku hanya tersenyum sambil memandangi bocah kelas 2 SMU itu.

"Duduk sini, Aryo", kataku sambil menarik tangannya.

"Begitu lho, Den!" kata Tante Ida, "Soalnya dari anak-anak yang kost di sini, kamu yang paling sering di rumah, dan juga kamu yang paling lama di sini, kamu sudah Tante anggap seperti kakaknya Aryo."

"Ah, Tante ada-ada saja", kataku.

"Lho, apa hubungannya dengan saya?" tanya Aryo.

"Gini lho Aryo, 'ntar malam Mama ke Palembang sama Papa kamu. Trus, kamu nggak boleh ikut soalnya kamu nggak libur."

"Ooo soal itu", kata Aryo.

"Gimana Den? Tolong Tante ya?" pinta Tante Ida.

"Beres deh Tante, 'ntar kalo si Aryo nakal biar Deni cubit", kataku sambil menggelitiki pinggang Aryo.

"Makasih Den."

Akhirnya Tante Ida dan Suaminya naik kereta api ke Jakarta malam itu. Aku dan Aryo mengantarnya hingga ke Stasiun Tugu. Dalam perjalanan pulang aku bercakap-cakap dengan Aryo.

"Mas Den, Mama tadi siang ngomong apa aja tentang Aryo?"

Aku tersenyum, "Lho memangnya kenapa?", aku balik bertanya.

"Nggak pa-pa sih, Aryo kira Mama ngomong yang aneh-aneh tentang Aryo ke Mas Deni", kata Aryo.

Kupandangi bocah kelas 2 SMU itu, manis banget nih anak, pikirku. Kulitnya putih bersih, tinggi, dan badannya sedang.

"Lho, kenapa Mas Den? Kok ngeliatin Aryo aneh gitu?"

Aku tersenyum, "Nggak, Mas Deni pikir setelah diliatin lama-lama kamu kok nggak mirip ama mama papa kamu.. tapi mirip sapi!" kataku mencoba mengalihkan perhatiannya.

"Sialan Mas Deni!", maki Aryo.

"Eh, Mas Den, tadi temen Mas nelpon, namanya Reza."

"Oh ya? jam berapa dia nelpon?"

"Tadi pas Mas Deni kuliah, pesennya gini, VCD-nya udah dateng sekarang di tempat si DJ", kata Aryo.

"Oke, makasih. Tar habis ini saya mau ke tempat DJ", kataku.

"Udah, sekalian aja ini mumpung sedang jalan nih", kata Aryo.

"Nggak pa-pa nih? Kamu nggak keburu ngerjakan PR kan?" tanyaku.

"Ah, nyantai aja Mas Den, Aryo nggak ada PR kok", kata Aryo.

Aku membelokkan motorku menuju rumah DJ. Malam itu rasanya dingin sekali, jalanan basah karena hujan beberapa saat yang lalu. Aryo berpegangan erat di pinggangku, jantungku berdegup, namun aku berusaha biasa aja. Sesaat kemudian kami sudah sampai di rumah DJ. Setelah kutekan bel sekali, kakaknya mucul dengan ditemani Billy, anjingnya.

"Nyari DJ ya?" tanya kakaknya.

Aku mengangguk.

"Masuk aja, dia ada di kamarnya", kata kakaknya sekali lagi.

Kemudian aku segera masuk, menaiki tangga, dan Aryo mengikutiku dari belakang, kuketuk pintu kamar DJ.

"DJ, kamu di dalam?" kataku.

"Masuk Deni, ini ada Reza", katanya dari dalam kamar.

Sepertinya mereka sedang nonton VCD yang diomongin Reza tadi siang di telepon.

"Mendingan kamu beresin semua yang aneh-aneh, soalnya saya nggak sendirian!" kataku sambil tetap di depan pintu kamar DJ yang tertutup.

Aryo menjawil pinggangku, "Kenapa sih Mas Den?"

Aku hanya tersenyum, "Ah anak kecil mau tau urusan orang dewasa aja!"

Tak lama kemudian pintu kamar DJ terbuka, dan terlihat kamarnya yang berantakan. Reza sedang duduk-duduk sambil membaca majalah.

"Aneh banget nih posisinya?" kataku meledek mereka.

Reza mencibir, "Biarin", katanya.

"Eh Den, kamu sama sapa nih?" kata Reza sambil senyum-senyum kepada Aryo.

"Iya nih, kok ada brondong nyasar", timpal DJ.

Aryo keliatan sedikit bingung, tapi kebingungannya hanya sesaat karena ia sibuk mengamati kamar DJ yang aneh itu sambil melihat-lihat koleksi kasetnya.

"Heh denger ya, itu tuh anak Ibu Kost saya! Kalian nggak usah macem-macem deh."

"Mmm.. lumayan juga Den, mau dong semalem", bisik Reza.

"Matamu!" umpatku pelan.

"Lho, kok jadi marah?" tanya DJ.

"Soalnya saya juga mau", kataku tanpa rasa dosa, lalu kami bertiga tertawa keras-keras.

"Eh DJ, aku mo dipinjemin yang mana nih?" tanyaku.

"Enak aja minjem, ini tuh barang dagangan."

"Ayolah Jay..", rayuku.

Akhirnya rayuan gombalku membuahkan hasil. Kata DJ tiga film yang kupinjam bagus-bagus. Dan tak lama kemudian aku dan Aryo sudah berada di atas motor, pulang.

"Mas Den, Aryo boleh ikutan nonton?" tanyanya sambil senyum-senyum.

Aku menggeleng, "Jangan, kamu kan masih kecil!" kataku. Aku tidak mau dia tahu kalau ternyata yang di dalam VCD ini bukan seperti yang ada di benaknya.

"Ayolah Mas", pintanya.

Aku bingung, "Oke deh, tapi kamu pinjam aja satu, nonton sendiri aja di rumah, jangan di kamarku", kataku sambil menyusun rencana untuk minjem VCD porno yang biasa dari temanku.

"Asyik, makasih Mas!" katanya.

"Tapi besok aja, kamu kan malem ini harus belajar."

"Yahh, Mas Deni.."

"Udah besok aja", kataku. Dia agak sedikit kecewa.

Akhirnya kami sampai rumah, dan Aryo langsung masuk kamarnya di rumah induk. Kebetulan, pikirku. Aku segera menghidupkan TV dan menontonnya. Tidak berapa lama, perutku terasa sakit. Sepertinya karena aku makan sambel tadi sore, pikirku. Aku terburu-buru ke kamar mandi. Sekembalinya aku dari kamar mandi, aku terkejut ketika kudapati Aryo ada di dalam kamarku yang tadi lupa kukunci karena aku terburu-buru ke kamar mandi.

"Eh, Mas Deni, kok filmnya begini sih? Isinya kok cowok semua?", tanya Aryo.

Aku terdiam sesaat. "Iya nih, salah ngambil tadi.", jawabku sekenanya.

Mata Aryo terus saja mengikuti film yang sedang diputar tanpa berkedip. Sesekali dia menyentuh kemaluannya. Sepertinya dia menikmati filmnya, pikirku. Adegan di layar TV mulai memanas, satu persatu dari mereka mulai melepas celana dalam mereka. Aku duduk di sebelah Aryo, sambil kuelus punggungnya. Ia diam saja. Kulanjutkan elusanku di bagian dadanya yang bidang, turun ke perutnya, semakin turun. Aku menyentuh kemaluannya yang mengeras. Aku mencium bibirnya yang merah, sekali, ia diam saja.

Ketika kucium bibirnya untuk kedua kalinya, Aryo membalas, kaku. Sejenak aku memberinya kesempatan untuk bernafas. Kutindih Aryo di tempat tidurku, dan tanganku mulai mengusap-usap perutnya, dadanya. Aku mulai membuka kaos yang sedang dipakainya, dan terlihat dadanya yang bidang, kulitnya yang putih bersih. Aryo menggeliat-geliat ketika kuciumi lehernya. Kemudian Aryo membuka satu persatu kancing bajuku. Aku membiarkan ia melakukan hal itu. Kali ini Aryo berada di atasku. Aku membuka kancing celana jeans birunya, dan seketika itu pula kupelorotkan celananya. Terlihat celana dalamnya warna biru, dan sesuatu menonjol. Aryo mengerang keras ketika kupijat perlahan kemaluannya. Kuurut perlahan kemaluannya, dan dia tetap mengerang. Kuelus pantatnya yang padat berisi. Ketika itu dia telah berkutat dengan kancing celana jeans-ku. Segera saja dia memelorotkan celanaku. Kemaluanku sudah tegak berdiri di dalam celana dalamku.

Kemudian aku membuka celana dalamnya. Terlihat kemaluannya tegak seolah menantangku. Kukulum kemaluannya, dan kumainkan lidahku. Aryo menjerit tertahan. Ia memegangi kepalaku dan ingin mengulum kemaluanku yang tak kalah menantang, namun aku tak mau melepaskan kulumanku. Aryo memegang kedua pipiku, dan wajah kami sangat dekat saling berhadapan. Kami berciuman nikmat sekali, kemudian ia mencium leher dan dadaku, sambil mengelus ketiak dan punggungku. Lalu ia mengulum kemaluanku yang berbulu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, aku tidak tahan lagi, kuraih kemaluannya dan sesaat kemudian kami dalam posisi 69. Kukulum dan kuhisap kuat-kuat kemaluannya. Kulepaskan sesaat kulumanku pada kemaluannya.

"Aryo, Mas Deni mau keluar nih!" kataku.

Aryo tidak menghiraukanku. Ia hanya berkata tidak apa-apa. Lalu aku meneruskan menghisap kemaluannya, kumainkan lidahku. Tak berapa lama kurasakan sesuatu yang hangat mengalir di tenggorokanku, dia ejakulasi. Selang tak berapa lama, ketika aku sedang menikmati air maninya, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, dan keluarlah seluruh spermaku. Kami berdua terengah-engah setelah pertandingan itu. Kemudian dia duduk di pinggir ranjangku sambil melihat adegan-adegan yang masih saja berlangsung di layar TV. Aku duduk di belakangnya sambil menciumi leher belakang dan punggungnya.

"Kenapa, Aryo? Kamu nyesel?" tanyaku.

Ia menggeleng perlahan sambil memandangi wajahku.

"Lalu kenapa?" tanyaku.

"Nggak kok Mas Den, nggak pa-pa", jawabnya sambil menunduk.

"Mas Deni tahu Aryo bohong, sekarang cerita kenapa? Kalo Aryo nyesel, Mas Deni minta maaf, kejadian ini bener-bener sebuah kecelakaan."

"Ngga pa-pa kok.." jawab Aryo.

Lalu ia terdiam sesaat. Aku bener-bener merasa serba salah saat melihat wajah imutnya agak murung kali ini.

"Jujur aja Aryo, ada apa?"

"Oke deh, Aryo akan jujur. gimana kalo kita main sekali lagi Mas Den?", tanya Aryo sambil tersenyum nakal.

Lalu tanpa di komando kamipun mengulangi permainan yang telah kami lakukan tadi, bahkan kali ini jauh lebih dahsyat dari yang pertama hingga kamipun seperti kehabisan tenaga saat permainan di ronde kedua, dan kamipun tidur pulas sambil berpelukan. Sejak kejadian itu, Aryo semakin dekat dengan saya dan kamipun sering mengulangi perbuatan yang pernah kami lakukan itu.

 

Sample text

Sample Text


ShoutMix chat widget

Sample Text