Social Icons

Rabu, 20 Juli 2011

Love is Life

Namaku Ananda Syahriar Prasetya, umurku sekarang 16 tahun. Aku terlahir dalam keluarga yang sederhana tetapi berkecukupan. Ayahku bekerja sebagai karyawan swasta di salah satu perusahaan di luar kota, dia pulang setiap 3 minggu, dan tinggal dirumah selama 1 minggu. Sedangkan ibuku bekerja sebagai ibu rumah tangga, mengurus segala keperluan rumah.
Aku memiliki tubuh yang lumayan tinggi yaitu 168 cm, tapi aku memiliki kulit putih dan kata orang wajahku cakep juga loh (:ngakak). Aku juga memiliki 2 orang sahabat, perempuan dan laki-laki, bernama Mayang Asyifa Nurdila dan Rivan Rishandi Akbar. Mayang memiliki tubuh yang ideal, tingginya sekitar 167 cm, berwajah cantik, berambut panjang, berkulit putih dan bertubuh langsing, tak heran banyak cowok yang tergila-gila padanya. Sedangkan Rivan, dia memiliki tinggi 172 cm, bertubuh agak kurus, berkacamata, dan memiliki wajah yang lumayan cakep dan berkulit sawo matang. Kami bertiga sudah berteman sejak kami masih TK, dan rumah kamipun berjejer. Sehingga hampir setiap hari kami bermain bersama. Kamipun sekolah di SMA yang sama. Sekarang kami sudah akan menginjak ke kelas XII. Aku dan Mayang berada di kelas yang sama yaitu XII IPA 1, sedangkan Rivan berada di kelas XII IPA 3. Jarak kelas aku dan Rivan berdekatan.
Langsung mulai aja ceritanya. Check this out!
Pagi itu suara ayam berkokok, membangunkanku dari tidurku yang lelap. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 05.00 WIB. Aku beranjak dari kasurku dan kuraih gagang pintu kamarku, ketika pintu berhasil dibuka, tercium aroma yang sungguh menggugah selera. “Hmm…bau apa ini, enak sekali,” kataku dalam hati. Aku menghampiri sumber bau tersebut, ternyata dugaanku benar, itu adalah aroma dari masakan ibuku. Ibuku memang pandai memasak. Kulihat masakan ibuku di atas meja makan. Ternyata ibu memasak nasi goreng keju. “Kamu sudah bangun nak?“ suara ibuku membuyarkan lamunanku yang datang tiba-tiba dari dapur. “Ya, ma,” jawabku. “Ya udah, sholat dulu sana, terus mandi dan ganti baju. Ibu masak special nih pagi ini,” ibuku sambil tersenyum manis. “Tumben mah masak nasi goreng keju?” tanyaku heran. “Ya, sekali-kali kan ga apa-apa,”. “Makasih ya mah,”. “Iya iya, udah buruan mandi sana”.
Seusai mandi, sholat, ganti baju dan sarapan, aku berpamitan kepada ibuku. “Mah, Nanda berangkat dulu ya!” sahutku. “Hati-hati ya nak,” nasihat ibu. Kulihat ada 2 orang yang berdiri di depan pintu gerbang rumahku, memanggil-manggil namaku. Mayang dan Rivan. Kami bertiga menunggu angkutan umum di pinggir jalan karena rumah kami berada di pinggir jalan, dan kami juga lebih suka naik angkutan umum daripada kendaraan sendiri, entah kenapa kami bertiga selalu kompak. Yah, walaupun terkadang sering berantem juga gara-gara masalah kecil. “Nan, kamu udah ngerjain tugas kimia belum?” tanya Mayang tiba-tiba. “Udah dong, emang kamu belum ngerjain apa?” jawabku dan kembali tanya. “Belum nih, soalnya tadi malem aku tidur awal dan lupa kalo ada tugas kimia. Pagi-paginya baru inget,” kata Mayang. “Udah tenang aja, kamu liat punyaku aja, lagian kimia kan pelajaran terakhir, jadi masih banyak waktu buat ngerjain,” kataku menenangkan Mayang. Sesaat setelah aku berbicara dengan Mayang, sebuah bis datang. Dengan melambai-lambaikan tangan, kami bertiga menghentikan bis tersebut. Jarak rumah kami ke sekolah sekitar 20 menit perjalanan dengan angkutan umum.
Sesampainya di sekolah, kami bertiga segera berjalan menuju kelas masing-masing. Kami sampai di sekolah pukul 06.45 WIB, 15 menit sebelum bel masuk. Ketika aku dan Mayang hendak masuk kelas, aku dikagetkan dengan suara laki-laki yang memanggilku. “Nandaaa….” teriak Andi. Sedikit tentang Andi, nama lengkapnya Andi Prabowo, dia sekelas denganku, tingginya 168 cm, berkulit kuning langsat, mempunyai lesung pipit, wajahnya biasa, tapi berkharisma. “Ada apa, Ndi?” tanyaku sembari Andi berlari menghampiri aku. “Kamu duduk sama aku ya. Please..” Andi memohon. “Hmmm, gimana ya?” kataku membuat penasaran. “Ya udah deh, aku duduk sama kamu,” lanjutku. “Makasih ya, Nan,”. Karena ini hari pertama sekolah dan hari pertama aku sebagai kelas XII, biasanya para siswa di kelasku mengganti tempat duduk tiap tahun ajaran baru. Dan kebetulan aku sudah memiliki teman sebangku. Aku segera duduk di bangku nomor 2 dari depan di samping pintu, kemudian disusul Andi yang duduk di sebelahku. Kami berdua tidak mengucapkan sepatah katapun sampai bel masuk berbunyi.
Pelajaran pertama yaitu Fisika, salah satu pelajaran favoritku. Disamping pelajaran favoritku, guru yang mengajarkan juga enak, cara berbicaranya, cara mengajarnya, semuanya pas dan mudah dimengerti. Siswa-siswa yang lain juga merasakan hal yang sama denganku.
Seusai pelajaran pertama selesai, tiba-tiba anak sekelas dikejutkan dengan sosok seorang guru, yang aku tau itu guru olahragaku. Dia masuk dan memberi pengumuman kepada kami. Alangkah bahagianya anak sekelas, ternyata pengumuman yang diberikan adalah pengumuman bahwa pelajaran berikutnya kosong, karena guru yang mengajar sedang ada keperluan di luar kota. Semua anak di kelasku menyambut dengan gembira sekali, termasuk aku. Ada yang bermain laptop, bermain kartu, ngobrol dengan temannya, dll. Tapi aku masih duduk diam di disamping Andi. Sampai tiba-tiba. “Eh, Nan. Ke kantin yuk!” ajak Andi. “Ngapain?” tanyaku. “Ya makanlah, emang mau nyanyi di kantin,” ujar Andi sambil tertawa kecil. “Oh, hehehe..ayo,” aku menyetujuinya. “Eh, aku ajak Mayang dulu ya,” pintaku. “Oke,” jawab Andi. Aku menghampiri Mayang yang sedang sibuk menulis sesuatu. “May, ke kantin yuk,” ajakku. “Enggak ah, aku lagi sibuk nih, “ Mayang menolak sambil tetap menulis. “Tumben. Biasanya juga kamu yang ngajakin aku ke kantin,” ujarku. “Tapi kali ini aku bener-bener lagi sibuk banget,” kali ini Mayang menoleh ke aku. “Emang sibuk ngapain aja, kok sampe kayak gitu banget?” tanyaku penasaran. “Ada deh, mau tau aja kamu,” Mayang meledekku. “Huuh, kok gitu,” akupun agak kecewa dengan sikap Mayang. Tapi Mayang tidak menggubris perkataanku. Kutinggalkan saja dia dan menghampiri Andi. “Loh, Mayang ga ikut?” tanya Andi. “Ga, ga tau juga kenapa. Sikapnya kali ini aneh banget,” jawabku yang masih kesal dengan Mayang. “Ya udah deh, ga usah cemberut gitu. Ntar juga balikan lagi kok,”. “Iya siih. Ya udah yuk, ke kantin,”.
Sesampainya di kantin, aku memesan 2 porsi mie ayam dan 2 es teh. Kemudian duduk berhadapan dengan Andi. “Eh, Nan. Ntar kalo udah lulus, kamu mau nerusin dimana?” tanya Andi. “Ga tau nih, belum ada planning. Penginnya sih di luar negeri, tapi kayaknya ga mungkin deh. Otakku kan pas-pasan,” jawabku. “Kalo ada kemauan pasti ada jalan kok. Otak pas-pasan kok selalu ranking satu sih. Kamu ini ada-ada aja,” ujar Andi. “Yah, itu mungkin suatu keberuntungan,” kataku asal. “Kamu ini sukanya gitu ya. Selalu rendah hati, tapi aku suka,”. “Ah, ga juga kok,”.
Seusai makan, kamipun cuma duduk-duduk di kantin sampai bel istirahat berbunyi. Kulihat semua anak berkeliaran keluar kelas. Saat kulihat semua anak sibuk berkeliaran, tiba-tiba aku melihat Rivan. Akupun memanggilnya. “Rivaaaan,” panggilku kepadanya. Rivanpun menoleh ke arahku dan menghampiri kami berdua. “Eh, kalian berdua cepet banget kesini. Biasanya juga nyamperin aku dulu,” ujar Rivan. “Soalnya tadi pelajaran kedua kosong, jadi kita ke kantin deh,” kataku meresponnya. Oh iya, Andi dan Rivan sudah saling kenal karena mereka mengikuti organisasi yang sama di sekolah. “Eh, kalian mau makan apa?” tanya Rivan. “Kami udah makan barusan, kamu makan sendiri aja,” Andi menjawab. “Curang, kok ga nungguin aku siih,” ujar Rivan cemberut. “Lama banget mesti nungguin kamu dulu, keburu lumutan deh makanannya kalo nungguin kamu dulu,” jawabku meledek. “Kalo mau makan, tinggal makan aja, ntar kita tungguin kok,” aku melanjutkan. “Ya udah deh, daripada laper gini,” ujar Rivan sambil mengusap perutnya.
Akhirnya bel pulang pun berbunyi. Akupun bersiap untuk pulang. “Nan, pulang bareng yuk,” ajak Andi ketika aku sedang memasukkan buku-bukuku ke dalam tas. “Rumah kita kan berlawanan arah?” tanyaku heran. “Aku anterin kamu maksudnya. Gimana? Mau ya? Please,”. Sebelum aku menjawab tiba-tiba Mayang menghampiriku disusul dengan Rivan yang tiba-tiba masuk ke kelasku. “Ayo pulang,” ajak Mayang. “Eh, kalian bertiga pulang bareng aku yuk. Ntar aku anterin kalian bertiga, kebetulan rumah kalian kan sebelahan. Gimana?” ajak Andi, kali ini dia mengajak kami bertiga. “Beneran nih?” tanya Rivan penasaran. “Ya iyalah, ngapain aku bohong,” jawab Andi. “Gimana, mau ya?” lanjut Andi. “Gimana May, Nan?” tanya Rivan pada aku dan Mayang. “Aku sih, terserah kamu aja Van,” jawabku. “Iya Van, terserah kamu aja,” sambung Mayang. “Ya udah deh, Ndi. Kita mau, tapi sebelumnya kami makasih banget ya, udah mau nganterin kami,” kata Rivan. “Iya, ga masalah,” ujar Andi.
Kami bertiga akhirnya setuju diantar pulang oleh Andi dengan mobilnya.
Selagi diperjalanan, kami berempat diam bagaikan mulut kami dijahit. Selalu diam. Aku duduk di samping Andi yang mengendarai mobilnya, sedangkan Mayang dan Rivan duduk berdua di belakang. Akhirnya kamipun sampai di rumah aku, Rivan dan Mayang. Kami lalu turun dari mobil dan berterima kasih kepada Andi. “Makasih banget ya Ndi, jadi ngrepotin nih,” kataku agak segan. “Iya Ndi, makasih ya,” ujar Mayang dan Rivan kompak. “Iya sama-sama, ah ga ngrepotin kok, justru aku malah seneng bisa nganterin kalian. Ya udah, aku pulang dulu ya,” kata Andi dan berpamitan. “Ga mampir dulu Ndi?” aku menawarkan. “Ga usah, lain kali aja. Pulang dulu ya. Bye!” Andi melambaikan tangannya pada kami bertiga. “Ternyata Andi orangnya baik juga, kirain kalo orang pendiem biasanya cuek dan sombong,” celetuk Mayang. “Setiap orang kan beda-beda May, masa semua orang pendiem mesti cuek dan sombong?” aku menyangkal. “Ya, aku kan bilangnya kalo kebanyakan orang pendiem tuh sombong, bukan menjudge kalo orang pendiem mesti sombong,” Mayang masih kukuh membela diri. “Sudah-sudah, apaan sih kalian kayak anak kecil aja deh,” kata Rivan berusaha meredam emosi. “Eh, ntar malem maen ke rumahku yuk!” ajak Rivan. “Ngapain?” tanya Mayang. “Emang ada apa dirumahmu?” aku pun bertanya. “Yaa, ga ngapa-ngapain siih, cuma pengen ditemenin aja, hehehe…lagian kan aku lagi sendirian di rumah,” jawab Rivan. “Kayaknya aku ga bisa deh Van, soalnya aku mesti ngerjain sesuatu ntar malem, maaf ya,” kata Mayang dan kemudian berlalu meninggalkan aku dan Rivan. “Kalo kamu bisa ga Nan?” tanya Rivan kepadaku. “Bisa sih, tapi ga tau juga kalo tiba-tiba ntar ada urusan mendadak, tapi aku usahain kok,” jawabku. “Ya udah, semoga kamu ga ada urusan ntar malem, jadi bisa nemenin aku ntar malem,” kata Rivan dengan penuh harap. “Ya semoga aja. Ya udah, aku ke rumah dulu ya,” kataku sambil meninggalkan Rivan, dan kulihat Rivan juga segera masuk ke rumahnya.
Malampun tiba. Ponselku berdering, dan itu nada dering untuk SMS. “SMS dari siapa ya?” pikirku. Aku yang sedang baca novel kemudian mengambil dan membuka apa isi SMS tersebut. Ini SMS dari Rivan. “Nan, jadi ga ke rumahku?”. Akupun membalas. ”Iya jadi, 5 menit lagi ya,”. ”Ok,” dia membalas lagi.
5 menit kemudian aku keluar rumah dan berpamitan dengan ibuku kalo aku mau main ke rumah Rivan. Ibukupun mengizinkan. Kulihat dari depan rumah Rivan ternyata Rivan sudah menungguku di terasnya. “Akhirnya datang juga,” Rivan menyambutku dengan senyuman manisnya. “Kenapa kamu? Kok cengengesan gitu?” tanyaku heran dengan sikap Rivan yang tiba-tiba cengar-cengir sendiri. “Ehmm, ga papa kok. Cuma seneng aja kamu akhirnya dateng,” jawab Rivan yang sepertinya mencoba menutupi sesuatu tapi, aku tidak tau apa itu. “Dasar kamu ini,” ketusku. “Sini duduk Nan,” Rivan mempersilahkan aku duduk. Akupun duduk disamping Rivan. Detik demi detik, menit demi menit, kami lewati berdua tanpa ada satu katapun yang keluar dari mulutku dan mulut Rivan. Deg deg deg, kurasakan suara jantungku berdebar kencang. “Ada apa dengan diriku? Kok tiba-tiba deg degan gini?” tanyaku dalam hati. “Nan, bintang-bintangnya bagus ya malam ini?” tanya Rivan yang cukup mengejutkanku. “Oh, i-iya bagus, bagus banget,” aku menjawab dengan sedikit gugup. “Nan, kamu pernah merasa seperti berada dalam kebahagiaan yang teramat sangat indah ga?” tanya Rivan mengejutkanku. Aku bingung dengan kata-kata Rivan. “Perasaan apa itu?” tanyaku penasaran. “Itu adalah sebuah perasaan yang dirasakan ketika seseorang sedang jatuh cinta,” jawab Rivan sambil memejamkan matanya. “Kenapa kamu bisa berkata seperti itu? Emangnya kamu pernah jatuh cinta?” tanyaku sedikit meledek. “Ya, dan itu yang aku rasakan sekarang,” ujar Rivan yang membuatku semakin bingung dengan ucapannya. “Eh, aku buatin minum ya, aku kok lupa sih, heheh..” lanjut Rivan yang tiba-tiba bangkit dari duduknya. “Ga usah Van, aku ga haus kok,” kataku menolak. “Tapi kan kamu tamu, masa ga dikasih minum,” Rivan mengelak kataku. “Kalo aku ga mau minum gimana?” tanyaku menyangkal kembali. “Ya udah deh, itu mau kamu loh ya,” Rivan mengalah. “Iya,”. “Van, aku ngantuk nih, aku pulang dulu ya,” aku minta pulang. “Tunggu dulu, ini kan masih jam 9, masa udah mau pulang, kamu tidur ditempatku aja,” Rivan mencegahku untuk pulang dan menawarkanku tidur di rumahnya. “Tapi ntar ibuku gimana? Masa mau ditinggal sendirian di rumah?” tanyaku. “Ya sekali-kali kan ga papa,” Rivan terus memaksa. “Aku bilang mama dulu ya,” akupun menelpon ibuku. Ternyata ibuku mengizinkan aku menginap di rumah Rivan. “Gimana Nan?” tanya Rivan antusias. “Ya, aku boleh nginep di rumahmu.” jawabku. “Asyiik..” Rivan kelihatan seneng banget. “Ya udah yuk kedalem,” lanjut Rivan sembari menyuruhku masuk ke dalam rumah Rivan. “Van, aku langsung tidur aja ya,” pintaku pada Rivan. “Ga mau nonton TV dulu? Ato main game?” Rivan menawarkan. “Ga lah, aku dah ngantuk berat nih,” akupun saat itu menguap. “Ya udah deh, kita tidur aja,”. “Loh Van, kamu ngapain ikut aku? Ini kan kamar tamu. Kamarmu kan disana,” tanyaku heran sambil menunjuk kearah kamar Rivan. “Aku takut tidur sendiri malem ini. Aku tidur sama kamu ya Nan? Boleh kan?” pinta Rivan sambil memasang muka memelas yang membuatku tak tega melihatnya. “Tumben banget kamu takut tidur sendiri, biasanya juga tidur di toilet ga takut, hahahah…” kataku meledeknya. “Sial kamu, emangnya aku apaan, tidur di toilet?” Rivan langsung cemberut yang membuatnya tambah lucu. “Ngambek nih ye,” aku meledeknya lagi. “Ga kok, cuma lagi pengen aja…” kata Rivan membuatku bertanya. “Pengen apa?” . “Pengen mukul kamu,”. Tiba-tiba sebuah bantal melayang dan mendarat di mukaku. Buuuk.. “Aduuh,” aku mengaduh. “Rasain tuh,” Rivan tersenyum puas. Akupun segera membalasnya dengan memukulkan bantal ke mukanya juga. Buuuk… “Awww, kok ikutan mukul?” Rivan mengaduh. “Kan biar impas, enak aja kamu mukul aku tiba-tiba,” aku membela diri. “Habisnya kamu ngeselin sih, jadi aku pukul,” Rivan tetap tidak terima. “Ya udahlah, tidur. Udah ngantuk banget nih,” aku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencoba tidur karena memang aku sudah ngantuk banget. Ketika aku sedang berusaha tidur, Rivan menggangguku. “Nan, udah tidur?” tanya Rivan. “Udah,” jawabku ketus. “Kok bisa ngomong?” tanya Rivan lagi. “Ih, ni anak cerewet banget ya, aku bekep juga nih,” kataku sedikit kesal. “hehehe…maaf ya. Aku ga bisa tidur nih,” ujar Rivan. “Kenapa?” tanyaku. “Ga tau nih, aku mikirin sesuatu,”. Mendengar kata Rivan tersebut, aku beranjak dari tidurku dan duduk. “Mikirin apa?” tanyaku penasaran. “Aku mikirin kamu Nan,” kata Rivan yang membuatku mengerutkan dahi. “Aku? Ada apa denganku?” tanyaku lagi. Tapi kali ini dia diam, dan tiba-tiba dia menatapku tajam dengan tanpa kacamatanya. Deg deg deg, perasaan itu kembali muncul. “Apa yang terjadi? Kenapa jantungku berdebar kencang lagi?” batinku berbisik. Huahahahhaha….tiba-tiba Rivan tertawa yang membuatku semakin bingung dengan orang ini. “Ternyata mukamu lucu juga ya, kalo lagi serius gitu, hahahah..” ujar Rivan sambil meneruskan tawanya. “Apaan sih? Ga mutu banget deh,” ujarku jutek. Dan aku kembali berusaha tidur, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa tidur, aku masih kepikiran dan masih bingung dengan ucapan Rivan. Tapi aku mencoba melupakan itu, dan mencoba tidur.
Pagi datang. Aku terbangun sekitar pukul 5 pagi. Aku melihat di sampingku masih ada Rivan yang begitu lelapnya masih tertidur. “Van, bangun Van. Udah pagi nih, kita kan mau sekolah,” kataku sambil terus berusaha membangunkan Rivan. “Iya, bentar,” ujar Rivan dengan malasnya. “Van, aku pulang dulu ya, mau mandi sama ganti baju,” aku pamit pulang. “Tunggu,” tiba-tiba Rivan menarik tanganku saat aku beranjak dari kasur. “Ada apa?” tanyaku heran. “Kamu mau kemana?” tanya Rivan. “Aku mau pulang dulu, mandi dan ganti baju,” jawabku. “Aku kayaknya ga bisa masuk sekolah deh Nan,” kata Rivan membuatku sedikit terkejut. “Loh, kenapa? Kamu sakit? Sini aku cek,” kataku sambil memegang jidat Rivan. Ternyata benar, Rivan sakit. Suhu tubuhnya panas sekali. “Kita harus ke dokter nih,” kataku yang agak panik. Dengan sigap aku membawa Rivan ke Klinik terdekat. Ketika aku sedang menggendong Rivan keluar, aku melihat Mayang sudah memakai seragam sekolah. Mayang yang tiba-tiba melihat aku sedang menggendong Rivan, kemudian dia mendekat ke arah kami. “Rivan kenapa, Nan?” tanya Mayang kaget. “Dia sakit May, badannya panas banget,” jawabku. “Ya ampun, kita harus bawa dia ke dokter,” kata Mayang panik. “Van, kunci mobilmu mana?” aku bertanya. “Di atas meja belajarku,” Rivan menjawab lirih. “May, jagain Rivan dulu ya, aku mau ambil kunci mobil,” perintahku pada Mayang. “Iya Nan, cepetan ya Nan,” balas Mayang. Sekitar satu menit kemudian aku kembali dengan membawa kunci mobil. Kemudian aku segera menyalakan mobil. Untung aku bisa mengendarai mobil karena diajari oleh Ayahku. Rivan dan Mayang duduk dikursi belakang. Dan akupun melesat menuju Klinik terdekat.
Sesampainya di Klinik. Rivan segera dibawa ke ruang perawatan. Aku dan Mayang hanya mondar mandir menunggu seseorang keluar dari ruangan tersebut. Suasana di Klinik benar-benar sunyi. Dan tiba-tiba, ponselku berbunyi tanda SMS masuk. Aku segera mengeluarkan ponselku dari dalam saku celana, dan kubuka SMS yang masuk. Ternyata dari Andi. SMSnya berbunyi, “Nan, kok kamu ga berangkat-berangkat?”, akupun membalasnya, “Aku ga bisa berangkat hari ini, Rivan tiba-tiba sakit, dan sekarang dia ada di Klinik, aku harus menjaganya,”. “Sakit apa?”. “Ga tau juga, tapi tadi badannya panas banget,”. “Ntar pulang sekolah aku kesitu ya,”. “Iya,” aku mengakhiri SMS aku dengan Andi. Saat aku mau memasukkan ponselku kembali kesaku, tiba-tiba seseorang dari ruangan Rivan keluar. “Gimana dok keadaan temen saya dok?” Mayang bertanya tiba-tiba. “Temen anda baik-baik saja, dia cuma mengalami demam biasa. Tapi sekarang kondisinya sudah stabil,” kata dokter menjelaskan. “Boleh kami masuk dok?” aku meminta izin pada dokter. “Boleh boleh boleh. Silahkan,” dokter mengizinkan kami berdua masuk untuk melihat kondisi Rivan. Ketika kami masuk kedalam, tiba-tiba Rivan bertanya, “Kalian ga sekolah?”. “Mana bisa kita sekolah kalo temen kita sakit dan ga ada siapa-siapa yang menjaganya,” jawab aku. “Tadi aku udah SMS ke mama kok, kalo aku ga berangkat sekolah dulu, buat njagain kamu,” lanjutku. “Iya Van, kita tuh sayang banget sama kamu,” kata Mayang. “. “Kalian ini, aku juga sayang sama kalian. Sini kalian mendekat,” Rivan menyuruh kami mendekatnya dan kami bertiga berpelukan.
Beberapa jam kemudian. Tok tok tok….suara pintu dari luar kamar Rivan berbunyi. “Siapa ya?” aku bergumam dan segera menghampiri pintu. Ketika aku membuka pintu, kulihat sosok seorang lelaki yang tingginya sama denganku dengan memakai seragam SMA membawa sebuah bungkusan yang aku lihat isinya buah-buahan. Itu adalah Andi. “Andi. Ayo silahkan masuk,” aku mempersilahkan Andi masuk. “Van, kamu sakit apa?” tanya Andi tiba-tiba. “Aku ga apa-apa kok, lagian ini udah mendingan,” jawab Rivan santai. “Nih, aku bawain buah buat kamu,” Andi menaruh buah tersebut diatas meja. “Makasih ya Ndi,” Rivan tersenyum hangat. “Iya sama-sama,” Andi pun membalas senyumnya. “Eh, aku ke toilet dulu ya,” ujar Mayang yang kemudian langsung keluar. “Oh iya Ndi, tadi di sekolah ada tugas ga?” tanyaku pada Andi. “Ga ada. Tadi aja banyak pelajaran yang kosong, soalnya ada rapat guru,” Andi menjelaskan. “Oh, gitu. Syukur deh kalo ga ada tugas,” ujarku. “Eh Van, tadi anak OSIS nyariin kamu tuh, katanya kangen,” ujar Andi. “Oiya? Emang aku ngangenin…hahahaha..” Rivan tertawa lepas. “Dasar. Dari dulu pedenya ga ilang-ilang kamu tuh,” Andi mengejek sambil cengar-cengir. “Biarin,” Rivan menjulurkan lidahnya. Aku terdiam melihat mereka berdua sedang asyik ngobrol. Rasanya hatiku sakit ketika melihat mereka begitu akrabnya. Aku merasa seperti akan kehilangan seseorang. Tapi aku sadar aku tidak boleh seperti ini, perasaan ini tidak boleh ada. Kemudian Mayang kembali datang ke ruangan kami. “Eh guys, aku pamit pulang dulu ya, tadi mamaku telepon. Aku mau pergi ke rumah nenekku,” Mayangpun bersalaman dengan kami bertiga. “Hati-hati ya May,” kata Rivan. “Iya. Maaf ya, aku ga bisa nungguin kamu,” kata Mayang. “Iya ga apa-apa kok, lagian masih ada Nanda sama Andi,” balas Rivan. “Ya udah, aku pergi dulu ya. Bye,” sahut Mayang sembari meninggalkan kami bertiga.
Satu jam kemudian. Ponselku berdering tanda panggilan masuk. Ternyata ibuku yang menelpon. “Halo, assalamu’alaikum, ada apa mah?” tanyaku. “Nak, kamu bisa pulang sekarang ga? Mama mau ke tempat pamanmu. Jadi kamu harus jaga rumah,” Ibuku menjawab. “Iya mah, Nanda segera pulang,” ujarku. “Ok, ya udah ya, assalamu’alaikum,”. “Wa’alaikum salam,” aku mengakhiri obrolanku dengan ibuku. “Van, aku pulang dulu ya. Aku harus jaga rumah, soalnya mamaku mau pergi. Maaf ya Van,” aku pamit kepada Rivan. “Oh gitu, ya udah ga apa-apa,” Rivan menjawab dengan senyum. “Pulang dulu ya,” aku bersalaman dengan Rivan dan Andi. Aku pun segera keluar.
Sementara itu. Andi masih menemani Rivan sampai malam. “Ndi, kamu ga pulang? Ntar keluarga kamu nyariin lagi,” kata Rivan. “Ga, lagian ntar kamu sendirian ga ada yang jaga. Aku tadi udah bilang sama mama kalo aku mau nginep ditempat temen,” Andi membalas. “Tapi aku kan udah ga apa-apa, lagian aku ga enak sama kamu,”. “Udah nyantai aja lagi, aku ikhlas kok,”. “Makasih ya Ndi,”. “Iya, sama-sama,”. “Oh iya Van, ada yang mau aku omongin,” lanjut Andi. “Mau ngomong apa Ndi?” tanya Rivan. “Tapi kamu harus janji dulu,”. “Janji apa?”. “Janji kalo kamu ga bakal ngomongin ini kesiapa-siapa,”. “Emang mau ngomong apa sih? Kok pake janji-janjian dulu?” Rivan pun bangkit dan duduk bersandar di kasur. “Pokoknya kamu harus janji dulu,” Andi memaksa. “Iya janji. Udah, sekarang ayo ngomong,” Rivanpun menurut. “Van, sebenernya aku itu…” Andi menghentikan kata-katanya. “Sebenernya apa Ndi?” tanya Rivan penasaran. “Sebenernya aku itu GAY, Van. Dan aku mencintaimu,” Andi menundukkan kepalanya. “Apa?? Kamu Gay?” Rivanpun terkejut mendengar pengakuan Andi. “Aku udah ga bisa mendem perasaan ini lagi Van, dari dulu aku sudah mencintaimu. Aku tau aku salah, dan kamu boleh merasa jijik atau menjauhiku. Tapi, aku sudah mengatakan yang sebenernya,” ujar Andi dengan air matanya yang hendak keluar. “Ndi, aku ga akan pernah merasa jijik atau pun bakal ngejauhinmu, tapi aku belum bisa menjawab cintamu. Karena saat ini, ada seseorang yang sedang bernaung dihatiku,” Rivan menjelaskan. “Siapa?” tanya Andi. “Dia itu sahabat aku dari kecil,”. “Mayang?”. “Bukan, dia adalah Nanda,”. “Apa?? Jadi…kamu juga Gay?” tanya Andi meyakinkan. “Iya Ndi. Karena yang selalu ada buatku, yang selalu mengisi hari-hariku adalah Nanda. Dan aku minta maaf, aku tidak bisa menerima cintamu Ndi,” jawab Rivan. Suasana seketika hening diruangan tersebut. “Tapi, akankah kamu masih mau berteman denganku Van?” tanya Andi memohon. “Ya tentulah, aku pasti akan selalu jadi temanmu,” Rivan tersenyum manis. “Makasih Van,”. “Iya,”.
Satu jam kemudian. Ponselku berdering tanda panggilan masuk. Ternyata ibuku yang menelpon. “Halo, assalamu’alaikum, ada apa mah?” tanyaku. “Nak, kamu bisa pulang sekarang ga? Mama mau ke tempat pamanmu. Jadi kamu harus jaga rumah,” Ibuku menjawab. “Iya mah, Nanda segera pulang,” ujarku. “Ok, ya udah ya, assalamu’alaikum,”. “Wa’alaikum salam,” aku mengakhiri obrolanku dengan ibuku. “Van, aku pulang dulu ya. Aku harus jaga rumah, soalnya mamaku mau pergi. Maaf ya Van,” aku pamit kepada Rivan. “Oh gitu, ya udah ga apa-apa,” Rivan menjawab dengan senyum. “Pulang dulu ya,” aku bersalaman dengan Rivan dan Andi. Aku pun segera keluar.
Sementara itu. Andi masih menemani Rivan sampai malam. “Ndi, kamu ga pulang? Ntar keluarga kamu nyariin lagi,” kata Rivan. “Ga, lagian ntar kamu sendirian ga ada yang jaga. Aku tadi udah bilang sama mama kalo aku mau nginep ditempat temen,” Andi membalas. “Tapi aku kan udah ga apa-apa, lagian aku ga enak sama kamu,”. “Udah nyantai aja lagi, aku ikhlas kok,”. “Makasih ya Ndi,”. “Iya, sama-sama,”. “Oh iya Van, ada yang mau aku omongin,” lanjut Andi. “Mau ngomong apa Ndi?” tanya Rivan. “Tapi kamu harus janji dulu,”. “Janji apa?”. “Janji kalo kamu ga bakal ngomongin ini kesiapa-siapa,”. “Emang mau ngomong apa sih? Kok pake janji-janjian dulu?” Rivan pun bangkit dan duduk bersandar di kasur. “Pokoknya kamu harus janji dulu,” Andi memaksa. “Iya janji. Udah, sekarang ayo ngomong,” Rivanpun menurut. “Van, sebenernya aku itu…” Andi menghentikan kata-katanya. “Sebenernya apa Ndi?” tanya Rivan penasaran. “Sebenernya aku itu GAY, Van. Dan aku mencintaimu,” Andi menundukkan kepalanya. “Apa?? Kamu Gay?” Rivanpun terkejut mendengar pengakuan Andi. “Aku udah ga bisa mendem perasaan ini lagi Van, dari dulu aku sudah mencintaimu. Aku tau aku salah, dan kamu boleh merasa jijik atau menjauhiku. Tapi, aku sudah mengatakan yang sebenernya,” ujar Andi dengan air matanya yang hendak keluar. “Ndi, aku ga akan pernah merasa jijik atau pun bakal ngejauhinmu, tapi aku belum bisa menjawab cintamu. Karena saat ini, ada seseorang yang sedang bernaung dihatiku,” Rivan menjelaskan. “Siapa?” tanya Andi. “Dia itu sahabat aku dari kecil,”. “Mayang?”. “Bukan, dia adalah Nanda,”. “Apa?? Jadi…kamu juga Gay?” tanya Andi meyakinkan. “Iya Ndi. Karena yang selalu ada buatku, yang selalu mengisi hari-hariku adalah Nanda. Dan aku minta maaf, aku tidak bisa menerima cintamu Ndi,” jawab Rivan. Suasana seketika hening diruangan tersebut. “Tapi, akankah kamu masih mau berteman denganku Van?” tanya Andi memohon. “Ya tentulah, aku pasti akan selalu jadi temanmu,” Rivan tersenyum manis. “Makasih Van,”. “Iya,”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text


ShoutMix chat widget

Sample Text