Social Icons

Jumat, 22 Oktober 2010

Tukang becak


Mas Tarmin tukang beca, suka mangkal di depan
kos-kosanku.
Sejak aku melihat pertama, aku sudah nebak, pasti
kontolnya gede.
Mulai saat itu aku nggak bisa lagi nyetop memikirkan
dia dan kontolnya itu.
Aku selalu cari akal bagaimana aku bisa mendapatkan
kontol itu.
Mas Tarmin................, aku pengin banget ngisepin
kontolmu, mas.
Aku juga pengin njilatin bokongmu, pengin nyiumin
duburmu.
Kencingin aku ya mas, berakin aku ya.......... N'tar
aku cebokin pakai lidahku.
Tanggung bersih deh.
Ahhh, mas Tarmin kapan aku bisa jalan sama kamu.

*****

Demikian sebaris catatan yang aku buat di buku
harianku. Aku buat dengan penuh gelora nafsu saat
mengingat mas Tarmin. Kebetulan orangnya baik banget.
Aku sering numpang becaknya saat nganter ke halte bis
menuju sekolah. Dalam usaha mendekati dia, aku suka
boros memberi upah gedean, diatas rata-rata tarip yang
dia minta. Dia senang sekali. Terkadang saat-saat
iseng, aku cari makan ke warung Tegal, kuajak sekalian
untuk sama-sama makan.

Tetapi hingga saat ini aku nggak berani mengemukakan
apa yang tersimpan jauh dalam pikiran dan hatiku.
Selama ini aku cukup menciumi kontolnya lewat
khayalan-khayalanku, yang biasanya berakhir dengan
onani. Yaa, aku bisa onani di mana saja. Bahkan di
dalam kelas, saat bu guru memberikan pelajaran. Tidak
jarang, bayangan susu ibu guru, atau leher Surti di
depan bangkuku, atau bokong si Jay yang seksi menjadi
sasaran onaniku. Aku cukup memasukkan tangan kiriku ke
kantong celana, dan pelan-pelan mijit kemaluanku.
Sementara khayalanku mengalir sesuai dengan gelora
birahiku.

Sabtu sore. Saat-saat besok libur macam ini, pikiranku
selalu kembali ke mas Tarmin. Aku nengok ke jendela.
Dia nggak nampak. Barangkali lagi narik. Biar
kutunggu. Aku udah punya rencana. Aku mau minta antar
dia keliling-keliling kawasan di seputar kos-kosanku
ini. Aku akan bilang 'Aku carter mas, sampai pagi.
Kuat yaa ?! Aku mau santai-santai mbecak sama
sampeyan. Kalau lapar atau haus mampir warung. Sak
ketemunya, warung mana saja. Setuju ??!'. Aku juga
sudah siap sebungkus GG rokok kretek kesukaannya.
Yahh, ini semua untuk membuat dia senang padaku. Biar
dia susah untuk menolak keinginanku. Bahkan kalau
perlu aku akan mengemis-emis untuk bisa ngisepin
kontolnya.

Aku sudah bayangkan, kalau semalam panjang ini kami
jalan bareng, pasti ada saat-saat dia pengin kencing,
atau berak atau yaahhh… apalah. Dimana pada saat
seperti itu aku bisa lebih mudah memulai ngomong
menyampaikan keinginanku. Mungkin perlu kubelikan bir.
Khan kalau minum bir biasanya terus pengin kencing.
Ahh, mas Tarmiiinnnn, aku udah gemeter nihhh....

Ehhh, tiba-tiba saja dia yang nongol, sementara aku
nunggu dan gelisah melongok-longok ke jalanan. 'Malam
Minggu mas Egis (begitu panggilanku), nggak
muter-muter nih ?'. Lho, lho, lho, koq kaya sudah di
atur, dia yang nyamperin dan dia juga yang buka
omongan ngajak muter-muter. Jadinya aku malahan pasang
aksi, sedikit jual mahal. 'Muter-muter kemana mas ?
Lagian opo sampeyan kuat kalau narik jauh-jauh. Kalau
aku sih enak tinggal leyeh-leyeh di jok becanya sambil
kantuk-kantuk', begitu jawaban sok aksiku.

'Nantangin nih, ayyooo, biar sampai pagi biar aku
layanin', begitu balik dia nantang penuh semangat
sambil wajahnya semringah penuh senyum seperti jendral
yang yakin akan menang perang.

'Kalau aku mau, aku suruh bayar berapa sam,peyan narik
sampai pagi ?', 'Jangan khawatir, pokoknya dijamin
saja makan minumnya beres. Eeehh, di gang Jambe ada
orang ngawinin nanggap Dang-Dut, n'tar kita mampir aja
ke sono. Banyak babu-babu pada keluar nonton. Ng'kali
bisa di senggol-senggol, asyyiiikkkk...'. Wooo, aku
yang seharusnya bersorak-sorai. Aku langsung
mengkhayal, 'Kena lu mas. Biar ku emut kontolmu. Biar
ku isep dan telen tuh pejuh lu'. 'Ayyooo....!!!',
desaknya penuh semangat yang membuatku langsung
ber-anjak. Ngambil dompet, jaket buat malam yang
dingin, rokoknya mas Tarmin. Tanpa ba bi bu lagi kami
keluar, aku langsung nangkring di becaknya, dia tarik
sedikit mundur untuk dia cemplak dan mulai jalan.
Pertualangan malam Minggu di mulai.

'Jangan buru-buruuu, katanya santai', aku menegornya
saat dia penuh semangat menggenjot becaknya hingga
jalannya begitu kenceng. 'Bagaimana kalau kita
nongkrong dulu di warung wak Sakir, ngopi, setuju',
'Okee bosss, ha ha ha asyiikkk'. Mas Tarmin melaju
menuju warung wak Sakir di pengkolan dekat halte. Terus terang aku nggak 'concern' pada kopi atau
makanan saat ini. Aku bahagia banget bisa berdesak
dengan mas Tarmin. Bau keringatnya yang tanpa di
tutup-tutupi dengan pewangi segala merupakan bau alami
yang keluar dari tubuh mas Tarmin. Begini rasanya bau
lelaki. Kontolku jadi ngaceng. 'Mas ini kebetulan aku
nyimpen rokok, dikasih temen, padahal aku nggak
ngrokok khan, buat mas Tarmin deh', 'Weh, weh, weh
trima kasih banget mas Egis. Sampeyan bener-bener bos
saya lho'. Begitu gembira dia menerima sebungkus rokok
GG dan langsung merangkulku, ngoyok-ojok tubuhku.
Keringat dari bajunya nempel ke bajuku. Dan ini akan
terus kuendusi sepanjang malam itu.

Yang aku menjadi deg-degan adalah saat dia merangkulku
tanpa sengaja tangan kiriku menekan selangkangannya.
Aku merasa bahwa dia juga ngaceng. Aku yakin itu. Dan
bener rasanya, saat aku mau bayar makan & minuman ke
wak Sakir, mas Tarmin berdiri dan aku melirik ke arah
selangkangan itu, wooo, nampak celananya menggunung.
Ada yang mendesak dari balik dalamnya. Mas Tarmin
buru-buru beranjak, mungkin malu atau kagok, khawatir
ngacengnya diperhatikan orang-orang di warung itu.
Wahh, kalau bener.

Hari udah gelap. Di daerah itu jarak antara lampu
jalannya jauh-jauh. Banyak juga yang nggak menyala.
Jadinya secara umum kesannya gelap. Sementara
orang-orang sudah menyepi. Beberapa sepeda lewat,
tanpa lampu. Sesekali sepeda motor atau mobil orang
yang pulang kerja. Suara bel kroncong becaknya mas
Tarmin ini berisik. Kena legokkan jalan sedikit saja
suaranya gaduh.

'Mas Egis udah punya pacar belon ? Koq perasaan saya
mas Egis nggak pernah pacaran ya ?! Di kampungnya kali
ya, ada yang nungguin'. Wah, pertanyaan macam begini
yang menarik bagiku. Pertanyaan macam ini bisa
dikembangkan. Bisa jadi lantaran untuk mencapai
sasaran. Tapinya aku berlagak pilon. Aku hanya jawab,
'Hmmm......, sok tau sampeyan........', 'Nah....,
benar khan.......', langsung saja dia jawab balik.

'Mas Tarmin kalo gelap-gelap gini ingat pacar ya ?',
tanyaku melempar jurus. 'N'tar mengkhayal lagi !',
seranganku beruntun. 'Khayal apaan mas ?!', bego atawa
pura-pura, 'Yaaa, khayal ….., mbayangkan paha mulus,
susu gede dan macam-macam….. Supaya menjadi tegang....
ha, ha, ha, ......'.

Dan jawabannya membuat jantungku langsung berdegup
keras, 'Udah heee, udah tegang nih mas Egis…..',
kudengar suara itu setengah berbisik, diselang
ngos-ngosannya nggenjot becak. Bisikkan itu rasanya
mengandung tujuan. Degup jantungku semakin tak keruan,
'Apanya yang tegang ma..mass ....?', seakan aku
menginjak gas untuk mempercepat tercapainya tujuan.

'Kontolku ngaceng mas Egis……..', ampuunnnn…… 'Lihat
nih', tanganku yang bersender di jok atas diraihnya
dirabakan ke selangkangannya. Tentu saja aku nggak
ngelak. Bahkan tanganku yang merasakan ada daging
nonjol di selangkangan itu langsung memijat. Bukan
main, kontol ini bener-bener gede. 'Gede banget mas
!!!!'. Tanganku terus memijat-mijat.

'Aduh mas Egis, enak nih di pijat-pijat'. 'Pelan-pelan
dong jalannya', pintaku dengan maksud biar aku bisa
mijat lebih lama. Bukannya dipelanin. Mas Tarmin sama
sekali menghentikan becaknya. Turun dari sadelnya,
tengak-tengok ke depan dan ke belakang, nggak ada
orang, berdiri mendekat ke aku dari arah belakang.
'Mas, aku keluarin aja yah, mas Boy pijatin yah
......'. 'Hhee eehh.......'. Mas Tarmin membuka
kancing celana kemudian menarik resluitingnya. Nampak
celana dalamnya sekilas. Tangan kanannya langsung
merogoh dan mengeluarkan kontolnya. Wwwooooooo.....,
panjangnyaaaa, gedenyaaa......... 'Ayo mas pijitin
terus, enakkk banget dehhh...'.

Aku sendiri terus terang langsung kelimpungan.
Kontolku jadi ngaceng banget. Dan kontol mas Tarmin
itu wuuuhhh, kenceng, keras, gede dan panjang. Aku
langsung meraihnya kembali. 'Wwwuuu, gede banget sih
masss…..', sambil aku membetulkan dudukku, memutar
badan dan sedikit menarik kontol yang kuraih itu,
sepertinya aku mau melihat lebih dekat. Tapi bukan
itu. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku ingin lebih dekat
untuk membaui aroma kontolnya itu.

Tangan kananku terus memijat-mijat dan mengurut-urut.
Mas Tarmin mendesah merinding. Dia bilang pijatanku
nikmat banget. Dia bilang udah lama kepingin dipijitin
macam ini. 'Ayyooo mass…., ennaaakkk bangettt…….'.

Kata-katanya aku tangkap seakan hendak diperpanjang
tetapi tak terucapkan. Aku yakin mas Tarmin ingin
lebih dari pijatan. 'Maasss, bb.. boleh akuuu... sun
yaaaahhhhh………', akhirnya dengan sedikit serak aku
membisik. Ahh, akhirnya terucap juga. Khayalan atau
lebih tepat obsesi, obsesiku berbulan-bulan terpenuhi
kini. Aku nggak lagi nunggu jawaban, langsung
mengasongkan mulutku, sementara tanganku menarik
kontol itu lebih dekat lagi dan aku mencaploknya.
Langsung kukenyot.

'Waaduuhhhh masss Eggiisss……., amppuunnn
eennaakkknyaa……. Wwwwwooooo. Aaarrrcchhhhhhhh…'.
Tidak lama. Mas Tarmin nggak bisa menahan lagi. Dari
kontolnya muncrat-muncrat pejuhnya. Aku agak bingung
dan sibuk. Rasa pejuh itu macam kelapa muda. Cairan
kental itu gurihnya bukan main. Sebagian aku langsung
minum, ini yang pertama kali aku, karena dalam
khayalan telah aku laksanakan lama sebelumnya. Dan
sebagian lain ada yang nyiprat ke pipiku, ke dagu, ada
di tangan dan sebagian lain di leher kemejaku dan
tercecer ke tanah.

'Maaf mas, aku nggak bisa tahan emosi tadi. Sungguh,
sepertinya aku nafsu banget …. Uuhhhh… malluuu……..',
'Kenapaa..., nggak pa pa koq, aku ngerti dan aku juga
jadi pengin lho begitu lihat ini (sambil meraba
kembali kontolnya) gede banget. Aku juga jadi nafsu
banget'. Aku tak hendak melepas rabaan itu. Tapi dari
jauh nampak lampu mobil bergoyang. Ada yang datang
dari arah depan. Aku lepaskan yang aku pegang. Naik ke
becak. Sementara mas Tarmin membetulkan celananya dan
kembali mendorong kemudian menggenjot becaknya.
Se-akan-akan tidak ada sesuatupun yang terjadi untuk
tidak memancing kecurigaan orang. Maklum ini merupakan
perbuatan yang pertama kali diantara kami. Masih besar
rasa takutnya.

Sejak itu sepanjang jalan aku nggak nglepasin remasan
tanganku dari kontolnya. 'Pejuhku enak ya mas ?, n'tar
tak kasih lagi yaaa ?!', begitulah macam omongan
selanjutnya sepanjang jalan. 'Aku pp... pengin
nyiumin... sss..seluruh tubuh kamu mas Tarmin….',
suaraku serak-serak dan tersendat menahan birahi yang
semakin memuncak.

'Aku juga mau mas, biar aku kenyotin kontol mas Egis
sampai basah kuyup. Biar aku jilatin tuh bokongnya dan
silit (dubur)nya. Boleh ya mass ?!'.

Aku tidak menyadari, tahu-tahu sudah berada di depan
orang punya kawinan itu. Suara musik dang-dut dari
kaset, sementara nunggu krew 'live show'-nya yang lagi
mempersiapkan alat-alatnya. Ramai orang lalu lalang.
Di sana-sini pedagang kaki lima menggunakan kesempatan
untuk menanggok rejeki. Mungkin pedagang kagetan, yang
keluar dagang karena tetangga punya hajatan, khususnya
karena adanya tontonan Dang-dut yang sangat disenangi
oleh orang-orang kampung di sekitar situ. Malam itu
babu-babu pada dandan untuk memancing jodoh. Siapa
tahu ada pria yang berkenan di hatinya untuk mengajak
makan bakso atau beli es teler.

'Mas, jangan ketempat yang ramai banget !, n'tar
dilihat orang lhoo', 'Nggaaakk maasss, aku malahan
cari yang agak gelapan dikit. Tuuhhh, di bawah pohon
sebelah kanan tuh. Dekat tukang bajigur lagi. Khan
enak di-obok-obok samil makan ubi', jawab mas Tarmin
sambil langsung menggenjpot becaknya ke tempat itu.
Aku pasrah saja. Dia pasti lebih tahu. Mungkin juga
berpengalaman.

Ternyata malam itu agak konyol. Aku dan mas Tarmin
nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Ditempat hajatan ini
orang lalu lalang dan tak ada tempat yang sepi tanpa
mencurigakan orang. Dan jam 3 pagi kami pulang.
Semangat kami udah terpukul oleh kantuk yang sangat.

Tapi ada kelegaan yang besar. Antara mas Tarmin dan
aku telah ada saling pengertian. Pasti ada kesempatan
lain untuk menyalurkan nafsu birahi lebih total.

Pengakuan


Saya tinggal di pinggir kali di sebuah kawasan kumuh di Jakarta Barat. Kali itu adalah batas antara kawasan saya yang kumuh dan sebuah perumahan elite. Kami tiap hari melihat mobil-mobil mewah lalu-lalang di jalan seberang, masuk-keluar rumah-rumah yang mewah bagaikan istana itu.

Hari Rabu malam (tgl.13 Mei ) terasa ada sesuatu yang tidak lazim di lingkungan sekitar kami. Jalan-jalan menjadi lebih sepi dari biasanya. Rumah-rumah gedong di seberang kali itu tertutup rapat, dan tidak seperti biasanya, tidak ada orang keluar masuk. Kemudian kami dengar desas-desus bahwa ada banyak mahasiswa yang ditembak mati oleh tentara, dan kerusuhan sudah pecah di Grogol. Keesokan harinya, kami pergi 'melihat-lihat' di pusat pertokoan terdekat. Melihat banyak orang menjarah, kami pun ikut-ikutan mengambil barang dari supermarket. Saya sendiri cuma mendapat beberapa batang coklat dan pakaian bayi, semuanya saya berikan ke tetangga yang punya anak kecil. Pada saat menjarah, kami melihat bahwa para pemilik toko itu sangat ketakutan, dan tampaknya kami bisa melakukan apa saja tanpa ada risiko ditangkap dan dipukuli polisi. Dalam perjalanan pulang, kami (bertujuh) di belokan gang berpapasan dengan dua cowok berseragam SMA, satu tinggi kurus dan satu lagi pendek. Mereka berusaha lari menjauhi kami. Iseng-iseng sambil bercanda, si Karim (salah satu dari kami, yang paling kocak) membentak mereka menyuruh berhenti. Kami sendiri tidak menduga akibat bentakan Karim: kedua cowok itu terhenti langkahnya, kaku bagaikan patung. Ketika kami mendekat, salah satu cowok itu langsung berlutut, memohon belas kasihan. Melihat itu, temannya pun langsung ikut berlutut, menyembah-nyembah.

Kami pun mula-mula cuma bisa melongo, berpandang-pandangan, tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi melihat adanya kesempatan, naluri binatang kami mulai merasuk. Si Soni (yang tampangnya paling sangar) langsung membuka ritsleting celananya, mengeluarkan penisnya dan memerintahkan kedua cowok itu untuk mengisapnya. Keduanya ragu-ragu, tetapi langsung ditempelengi bertubi-tubi. Soni kemudian menjambak rambut si Jangkung dan menyodorkan penisnya ke mulutnya. Dia menganga begitu saja, tidak tahu penis itu harus diapakan. Akhirnya Soni mendorong penisnya keluar masuk mulutnya dengan menjambak rambutnya. Dia muntah, tetapi Soni tetap dengan iramanya. Ia kemudian berpaling ke Si Pendek yang dari tadi bengong melihat temannya diperlakukan begitu.

Karena sudah melihat contoh, dia langsung membuka mulutnya dan membiarkan Soni menikmati mulut dan tenggorokannya. Melihat itu, kami pun ikut bergabung, ramai-ramai membuka celana, mengelilingi mereka berdua. Mereka kami suruh mengisap penis kami bergantian, berkeliling lingkaran. Setiap ada perintah, mereka pindah ke orang yang berikutnya, begitu terus sampai sekitar 10 menit. Si Jakaria yang mulai mendapat ide, berkata kepada kami: 'Stop dulu, lihat sini!' Si Pendek yang sedang berlutut di depannya mengisap penisnya disuruhnya berhenti, dan diperintahkannya membuka mulutnya lebar-lebar. Dia berdiri di depannya, penisnya sejengkal dari mulut sang cowok. Jakaria diam sejenak, menarik napas, membuat kami yang lain bingung apa yang ada di pikirannya.

Tiba-tiba dia kencing ke dalam mulut si, si Pendek langsung menutup mulutnya dan berusaha meludahkan kencing yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya. Jakaria langsung menempelengnya dan menutup lobang hidungnya sambil mengancam: "Kalau sampai ada kencing gua yang tumpah, gua hajar lu sampai mampus". Ditutup hidungnya, secara refleks si Pendek membuka mulutnya, dan Jakaria kemudian melanjutkan kencingnya yang terputus. Si Pendek pun akhirnya menenggak kencing Jakaria yang datang tak putus-putus. Sebelum kencingnya habis, Jakaria berhenti dan memerintahkan si Jangkung untuk mendekat. "Lu juga, kalau tumpah, awas!" Kali ini dia memasukkan seluruh penisnya ke dalam mulut si Jangkung, dan langsung kencing ke dalam tenggorokannya. Si Jangkung berusaha mati- matian menelan semua air seni itu, tetapi sempat juga tersedak.

Sebagian kencing keluar dari lubang hidungnya, sambil terbatuk-batuk. Kami sangat terangsang melihat ulah Jakaria, dan mengikuti perbuatannya. Satu persatu kami kencing ke dalam mulut si Jangkung dan si Pendek, semuanya habis ditelan mereka. Sesudah itu mereka kembali mengisap berkeliling dalam lingkaran. Sampai saat itu mereka berdua masih berpakaian lengkap, jadi saya perintahkan mereka untuk membuka pakaiannya sendiri tetapi tidak boleh berhenti mengisap. Perlawanan mereka sudah patah, keduanya tidak berani lagi membantah perintah kami. Dalam waktu beberapa menit, keduanya sudah telanjang bulat Penis keduanya tidak bersunat, tampak tergantung lunglai. Ukurannya kecil menurutku, dibandingkan penisku walaupun sedang tidur. Jakaria memegang kontol si Jangkung dan mengocoknya.

Lambat laun penis si Jangkung berdiri tegang juga. Si Soni tak mau ketinggalan, si Pendek juga diloco penisnya sampai ngaceng. Lalu kedua cowok ditelentangkan berdampingan di atas lantai emperan toko. Soni duduk di perut si Pendek sambil mengumpulkan dahak dan ludah di dalam mulutnya. Ketika mulutnya sudah penuh, ibukanya mulut si Pendek dengan paksa, dan diludahkannya semua lendir itu ke dalam mulut si Pendek, lalu dibentaknya:

"Telan semua!" Si Pendek yang sangat ketakutan tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti perintah Soni. Jakaria pun tidak ketinggalan, langsung berbuat hal yang sama terhadap si Jangkung. Terus terang, kami sangat terangsang dengan tontonan ini, dan tidak tahan untuk tidak ikut meludahkan dahak ke dalam mulut mereka berdua. Atas isyarat Soni, kami pun bergantian duduk di dada kedua cowok itu, menyodorkan penis kami untuk diisap. Setelah beberapa menit, Jakaria dan Soni berganti posisi. Soni kini memperkosa mulut si Jangkung, dan Jakaria kebagian si Pendek. Kedua cowok itu sama sekali tidak berusaha lagi untuk melepaskan diri. Mereka tetap mengikuti perintah-perintah untuk membuka mulut lebih lebar untuk diludahi atau mengisap penis lebih kuat
Jakaria muncul ide barunya, katanya: "Gua belum pernah ngerasain lubang pantat cowok." Saya pikir apa-apaan mau menjilat lubang pantat orang, Tapi ternyata saya salah tanggap. Diangkatnya kaki dan pinggul si Pendek kemudian diludahkannya dahak ke lubang pantatnya. Kemudian dimasukkannya jari telunjuknya ke dalam lubang pantat si Pendek sampai habis, lalu diganti dengan jempol, dimainkan masuk keluar. Sang cowok meringis kesakitan, tapi disambut dengan "Ini belum apa-apa." Dimasukkannya jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus ke dubur si Pendek, masuk keluar sambil diputar-putar. Setelah beberapa lama, ia berkata: "Sekarang lu udah siap." Kami disuruh memegangi si Pendek erat-erat pada posisi telentang dengan kedua kaki tertekuk ke kepala.

Ia kemudian mengarahkan penisnya ke lubang pantat si Pendek dan didorong dengan kuat sekaligus. Saya yang ikut memegangi, melihat dengan jelas bagaimana penisnya menghilang ke dalam lubang pantat si Pendek sampai habis. Sang cowok memberontak sekuat tenaga sambil memohon ampun, tapi tak berdaya dipegangi empat orang. Jakaria kemudian memulai irama masuk-keluarnya, sambil bergumam: "Gile, cowok ini sempit amat." Tangan Jakaria masih sempat mengocok pelir si Pendek yang ngaceng dengan kerasnya. Soni kemudian meminta bantuan kami memegangi si Jangkung untuk diperkosa juga duburnya.

Mendengar lolongan temannya, si Jangkung menjadi kecut. Dia memohon-mohon agar lubang pantatnya tidak digagahi, dan menawarkan bahwa dia akan mengisap kami bergantian sampai kami puas. Kata Soni: "Lu bakalan ngisep kita sampai puas dan tetap saja kita pakai lubang pantat lu." Tidak berapa lama kemudian, penis Soni sudah menerobos masuk-keluar di lubang pantat si Jangkung. Tangan Soni meremas-remas buah pelir si Jangkung sambil sekali sekali mengocok batang pelirnya. Cowok ini tidak bersuara, bibirnya digigit kuat-kuat sampai berdarah sambil melempar mukanya ke kiri dan ke kanan menahan sakit. Mengikuti contoh Jakaria, Soni kemudian berpindah bolak-balik dari mulut ke dubur, kemudian langsung ke mulut sang cowok untuk dibersihkan, lalu kembali lagi ke dubur.

Tidak puas dengan itu, mereka kemudian menggunakan jurus 'kutu loncat', dari dubur cowok satu pindah ke mulut cowok yang lain. Mereka pun akhirnya bertukar pasangan, sehingga masing-masing berhasil mencicipi keempat lubang tubuh kedua cowok tersebut. Mereka berdua kemudian memilih untuk mengeluarkan air maninya di dalam dubur kedua cowok itu. Atas ide Jakaria, mereka berdua tidak langsung mencabut penisnya. Setelah berkonsentrasi beberapa saat, mereka berdua kencing di dalam dubur si Jangkung dan si Pendek! Penis mereka yang berlendir bercampur kencing, tai dan darah, mereka sodorkan ke cowok yang lainnya untuk diisap dan dijilat sampai bersih.

Sesudah Soni dan Jakaria selesai, kami berlima pun 'berpesta' dengan kedua korban sampai puas. Soni dan Jakaria pun kemudian bergabung lagi untuk ronde kedua. Di saat ini masing-masing cowok dimanfaatkan secara maksimum: kedua lubang mereka diisi penuh pada saat bersamaan. Seorang dari kami telentang di lantai, kemudian seorang cowok didudukkan di atasnya, dan penisnya menerobos duburnya. Si cowok kemudian dibaringkan telentang di atas si laki-laki. Laki-laki kedua mengangkat kepala si cowok dengan menjambaknya dan kemudian mendorong penisnya ke dalam tenggorokannya. Setelah beberapa saat, posisinya diputar: yang di dubur pindah ke mulut. Kami pun pindah dari satu cowok ke cowok lainnya. Sesudah kira-kira dua jam, kami pun sudah tak mampu lagi, dan bersiap-siap meninggalkan tempat itu. Tapi sebelum pergi, si Jakaria punya ide lainlagi. Ia berjongkok di atas kepala si Jangkung yang sedang telentang tak berdaya.

Kami pun mengajaknya untuk pergi: "Mau apa lagi, lu!" Tiba-tiba dia memencet hidung sang cowok, dan begitu mulutnya terbuka, ia langsung berak ke dalam mulut si Jangkung. Lalu diambilnya rambut si Jangkung untuk dipakai menggosok dan membersihkan lubang pantatnya. Melihat itu, Soni pun tidak mau ketinggalan. Dikangkanginya si Pendek dan diperintahkannya untuk membuka mulut. Tahu akan diapakan, si Pendek meronta-ronta, tetapi setelah puting susunya dipencet dengan keras, tidak berani melawan lagi. Dia pun membuka mulutnya lebar-lebar, dan saya melihat sendiri tai Soni bergulung di mulutnya. Soni memaksanya untuk menelan semua tai itu.

Si Pendek karena ketakutan, berusaha melahap semuanya tetapi mengalami kesulitan karena kotoran itu terlalu kental dan pekat. Terpaksa kami pun beramai-ramai menyumbangkankencing ke mulut si Pendek untuk membantunya menelan seluruh tai Soni. Akhirnya kami meninggalkan kedua cowok itu telanjang bulat di emperan toko. Pakaian mereka kami ambil dan kami bagi-bagi di antara kami sebagai 'souvenir'. Saya cuma kebagian satu jaket yang beremblem salah satu SMA swasta di Jakarta. Setelah beristirahat di rumah, kami pun mendiskusikan rencana menyerbu rumah di seberang kali yang ada 3 anak cowoknya.

Jumat, 10 September 2010

selebritis


"Siapa bilang jadi artis itu enak? kalau orang tak menjalaninya sendiri, tak akan pernah tahu yang sebenarnya!".
Itu kata seorang teman pada suatu waktu lewat email yang dikirimkannya padaku. Semula, aku sempat terheran-heran membacanya, kupikir dia hanya sekedar berkelakar saja. Dalam keherananku, aku pun membalasnya dengan menyelipkan sebuah pertanyaan singkat yang membutuhkan sebuah jawaban yang sangat panjang dan sejelas-jelasnya:"Kenapa?"

Tiga hari kemudian dia mengirimkan sepucuk email balasan yang membuatku terperangah di depan komputer, aku bahkan sampai tak berkedip sekalipun ketika membacanya kata per kata. Kala itu, seakan aku dapat membayangkan bahwa aku sendiri yang berada dalam cerita yang merupakan curahan hatinya itu. Aku sebenarnya ingin menangis, kalau bisa. Tapi aku coba untuk mengontrol emosiku saat itu, apalagi aku berada di warnet yang kebetulan ramai pengunjung malam itu.

Andy (=nama samaran) adalah seorang penpal dari Jakarta yang aku kenal lewat dunia maya, internet. Dia yang pertama kali mengirimkan sepucuk email kepadaku beberapa hari setelah salah satu ceritaku dimuat di situs ini. Kebetulan, temanku yang satu ini adalah seorang cover boy di salah satu majalah remaja Aneka, dan juga bintang iklan dan sempat bermain dalam beberapa sinetron remaja. Tampangnya pasti sudah tak asing lagi dengan wajah orientalnya yang khas dan tampak cute, apalagi di kalangan the teenagers.

Yang berikut ini adalah curahan hatinya sendiri, berdasarkan apa yang dapat kutangkap dari ceritanya. Ia mengijinkan aku menyusunnya menjadi sebuah tulisan di situs ini, dengan syarat tidak menyinggung sedikit pun tentang identitas dan segala sesuatu yang khas dalam dirinya yang membuat para pembaca akan langsung dapat mengenalinya. Dan, sebagai seorang sahabat yang baik, aku akan menepati janjiku untuk menjaga rahasia ini. Jadi, aku harap para pembaca tak perlu menanyakan kepadaku", siapakah dia?" karena itu merupakan salah satu pertanyaan yang tak akan kujawab. Silahkan tebak sendiri, atau mungkin saja dia adalah orang yang duduk di dekat anda dan membaca cerita ini bersama dengan anda. Tak ada salahnya juga, sesekali curiga pada teman, iya kan? Ok, lebih baik aku ucapkan:"selamat membaca!" saja, semoga kalian suka dengan ceritanya.

*****

Langit ibukota masih tampak kemerahan saat itu, belum lagi matahari terbenam ketika aku baru keluar dari studio X untuk keperluan syuting iklan sebuah produk minuman kemasan. Senang sekali rasanya setelah sepanjang hari, aku harus beraksi di depan kamera dan menjalani syuting berulang kali yang cukup menguras tenagaku saat itu. Belum lagi, semalam aku pulang larut dan baru tidur jam 1 dini hari setelah syuting sinetron. Hampir setiap hari seperti ini, bahkan seolah sudah menjadi sebuah rutinitas harian. Di satu sisi, aku menyukai pekerjaanku ini karena inilah obsesiku sejak kecil, aku ingin menjadi seorang entertainer yang profesional. Tetapi, siapa yang mampu bertahan, kalau ternyata harus menjalaninya dengan kerja keras semacam ini, sementara anak-anak lain seusiaku bisa bersenang-senang di luar sana dan menghabiskan waktu dengan teman-teman mereka.

Terkadang aku berpikir kalau aku ini sebenarnya tergolong kuper alias kurang pergaulan, hanya saja tak banyak orang yang menyadarinya. Kebanyakan orang akan berpikir sebaliknya karena profesiku sebagai"selebritis". Jujur saja, sebenarnya aku tak begitu senang diberi julukan selebritis. Bagiku, itu adalah sebuah tanggung jawab yang besar yang hanya akan menambah bebanku, sebab seorang selebritis, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, pasti akan menjadi seorang public figure yang menjadi sorotan banyak orang. Otomatis, seorang selebritis tak pantas untuk punya cacat cela sedikit pun dalam dirinya agar ia bisa menjadi role model yang baik bagi banyak orang. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seorang selebritis sejati dengan keadaanku sekarang? Aku sungguh tak pantas untuk menjadi seorang panutan.

Petang itu sebenarnya masih terlalu siang untuk pulang, lagi pula jarang-jarang aku pulang syuting jam segitu. Paling-paling pulang sore hanya untuk mandi, setelah itu kembali lagi ke lokasi syuting dan baru pulang larut malam. Tapi hari itu beda, malamnya aku memang tak ada jadwal syuting. Jadi, aku punya waktu untuk sekedar menyegarkan otak sambil jalan-jalan malam itu. Tapi, dengan siapa? itu yang jadi masalah berikutnya. Aku paling malas kalau jalan-jalan sendirian, paling tidak harus dengan teman-teman smu-ku dulu. Aku kangen dengan tawa mereka, setelah tak bertemu selama 2 mingguan belakangan ini.

Setelah pulang ke rumah dan mandi, aku pun mencoba untuk menelepon salah seorang temanku, Justin, untuk mengajaknya jalan-jalan malam itu.
Lama sekali telepon tak diangkat, sehingga aku pun lantas memutuskan untuk menghubungi nomor HP-nya saja.

"Aku lagi di Thamrin. Ok, sebentar aku mampir ke tempatmu!" sahut Justin sebelum ia menutup teleponnya. Aku belum sempat bertanya, ia bersama siapa saat itu, tapi yang jelas ia tak sendirian karena aku mendengar suara seseorang di telepon. Paling-paling ia bersama Denny atau Ricky, pikirku.

Jam setengah tujuh, tiba-tiba kudengar suara klakson di depan rumahku. Sebuah sedan Jaguar hitam sudah parkir tepat di depan pagar rumahku, jelas itu bukan mobil Justin. Tak mungkin Jeep 80-an berubah menjadi Jaguar dalam dua minggu ini selama aku tak bertemu dengan Justin, pikirku iseng.

"Dy, kenalin, ini Boni!"

"Andy!" kataku sambil menjulurkan tangan.

"Yah, tentu saja. Bagaimana aku tak mengenalimu?" sahut Boni. Aku hanya tersenyum mendengarnya, aku tak ingin besar kepala dan merasa begitu terkenal di mata banyak orang. Tapi ternyata topi dan kacamata yang kupakai tidak bisa menyembunyikan identitasku di mata Boni, ia masih mengenali wajahku.

"Kita mau kemana?" tanyaku kemudian setelah mengambil tempat di jok belakang.

"Ke PS! Tapi, kita makan dulu. Boni mau traktir nih!" gurau Justin sambil main mata ke arah Boni. Yang bernama Boni itu sebenarnya tidak seumuran kami, usianya sudah 26 tahun, lebih tua 5 tahun dari kami. Tapi tampangnya lumayan juga, mukanya bersih dan berpostur atletis sekalipun tak seganteng Jerry Yan, but he's good looking. Dan lebih lagi, tampak jelas kalau ia anak orang tajir.

Tak lama kemudian, Justin melajukan mobil Boni menuju salah satu cafe langganan Boni yang tak jauh dari Plaza Senayan. Usai ke kafe, kami masih sempat cuci mata di Plaza Senayan dan berkeliling kota. Kami bertiga menghabiskan waktu sambil jalan-jalan sampai larut malam, dan hampir jam 12 malam ketika kami memutuskan untuk pulang.

Namun, tiba-tiba Boni bermain mata pada Justin. Aku tak mengerti apa maksudnya, tampaknya Boni mengingatkan sesuatu pada Justin. Karena sesudah itu Justin langsung memutar balik mobilnya.

"Mau kemana lagi?" tanyaku tak mengerti.

"Tenang saja. Cuma sebentar kok!" sahut Justin sambil cengar-cengir.

Ternyata, Justin membawa kami ke salah satu"pusat jajan" di Jakarta Pusat, tempat transaksi seks yang merupakan salah satu tempat yang masih ramai di tengah malam seperti saat itu. Tak berapa lama, mobil dihentikan di pinggir trotoar dan seorang pria berpenampilan parlente mendekati mobil kami. Aku hanya diam saja saat itu, hal begituan memang bukan bagianku, aku bahkan tak pernah mencoba-coba untuk lewat tempat ini di waktu malam sebab aku dengar tempat ini memang dipakai sebagai tempat mangkal para gigolo ibukota.

Tidak lama, Boni terlibat tawar menawar dengan pria itu. Karena rupanya Boni akhirnya bersedia membayar tarif 3 juta yang dipatok oleh pria itu. Dan singkat cerita, Boni"membawa" pria berusia kurang lebih 24 tahunan itu. Pria itu didudukkan di sebelahku, di jok belakang. Aku sendiri memilih untuk memojok ke dekat pintu, sambil mengalihkan pandanganku dari pria di sebelahku itu. Tapi, ternyata pria itu berkali-kali mencuri-curi pandang ke arahku seolah-olah sedang mengamatiku. Kemudian, ia memberanikan diri memegang pundakku dan bertanya", Kamu Andy yang bintang iklan itu yah?"

Jantungku rasanya langsung mau copot ketika mendengar pertanyaan itu. Aku tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Aku tak mungkin berbohong. Lama aku hanya diam saja, pura-pura tak mendengar. Namun, tetap saja pria itu ngotot dengan pertanyaannya. Akhirnya, aku pun mengangguk saja. Setelah itu, kami pun berkenalan dan baru kuketahui kalau namanya Ryan. Tentang profesinya, sudah jelas tak perlu kutanyakan lagi, aku malas berbasa-basi kalau aku sudah tahu.

Malam itu, ternyata mereka bertiga hendak menginap di apartemen Boni. Semula, aku minta diantar pulang saja ketika mereka mengajakku menginap bareng. Tapi, Justin dan Boni malah mendesakku terus, bahkan Justin ngotot membawaku ke apartemen Boni, ia mengendarai mobilnya sama sekali tak menuju arah rumahku. Akhirnya aku pun menyerah juga, lagi pula kupikir toh besok aku mulai syuting agak siangan jadi aku bisa saja kalau menginap di rumah Boni malam ini. Tapi apa yang mereka akan lakukan dengan seorang gigolo di apartemen Boni nantinya, aku tak berani membayangkannya. Yang jelas, malam ini pastilah akan terjadi pertempuran seru di dalam kamar apartemen Boni.

Benar saja, sesampainya di dalam kamar apartemen Boni yang mewah. Boni langsung mengambil empat buah kondom dari laci meja di dekat ranjangnya, ia membagikannya pada kami bertiga.

"Tidak, Bon. Sorry, Aku tak ikut kalian!" kataku saat Boni menyodorkan kondom kepadaku.
Aku mengembalikan kembali kondom itu ke tangan Boni, namun Boni malah mencengkeram tanganku dan memaksaku untuk menerimanya.

"Pakai saja. Kau belum pernah tau nikmatnya kan?" kata Boni sambil nyengir.
Saat itu, betul-betul adalah pergumulan yang sangat berat dalam batinku. Aku pernah bersumpah untuk tak mau melakukannya lagi sejak Om James (=baca artikel: Obsesi sang model) meninggalkanku beberapa tahun silam.

Boni dan Justin memang tak pernah tahu perihal hubunganku dengan om James, yang mereka tahu hanyalah aku seorang model yang sukses, tanpa mengetahui siapa yang ada di balik kesuksesanku dan telah mengangkatku dari jurang kemiskinan ke suatu tempat yang menjadi impian banyak orang. Mereka menyangka kalau aku seorang anak muda yang alim dan tak banyak tingkah seperti mereka, jadi dianggapnya aku tak berpengalaman untuk urusan permainan liar itu. Syukurlah, kalau mereka menganggapku seperti itu. Namun bagiku, seolah-olah aku hidup dalam kemunafikan saja saat itu. Aku ibarat sebuah kuburan yang bercat putih di luar, namun penuh tulang belulang dan kebusukan di dalamnya.

Habis itu, Boni mulai melancarkan aksinya (Baru kuketahui kalau Boni ternyata seorang gay yang hiperseks), Ia menghantar Ryan menuju ranjang asmaranya. Di sanalah, Ryan ditidurkan dalam posisi terlentang dan kemudian Boni mulai mempreteli pakaian Ryan satu per satu sampai pemuda itu hanya mengenakan celana dalam birunya saja. Bagian tubuh yang pertama diserang Boni tentulah sesuatu yang kelihatan menonjol di balik CD yang sangat seksi, yaitu tak lain adalah kontol Ryan yang cukup besar itu. Boni langsung mencaploknya dengan mulutnya dan menghisapnya dari bagian luar celana dalam Ryan. Sesekali lidahnya bermain-main di seputar pusar dan kedua selangkangan Ryan yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang berwarna hitam lebat. Pemuda itu memang tergolong pria berbulu yang seksi.

Sementara itu, aku dan Justin yang duduk di sofa dekat jendela hanya memelototi aksi Boni dan Ryan itu tak berkedip, sebuah tontonan live yang gratis. Justin bahkan menggesek-gesekkan tangannya di kemaluannya, tak puas dari bagian luar, ia pun mulai memasukkan tangannya ke dalam sela-sela celananya. Sempat kulirik sebentar ketika Justin memasukkan tangannya itu, ia sepertinya sangat menikmati permainan solonya itu untuk merangsang libidonya sendiri.

Tapi tiba-tiba diluar dugaan, Justin menggenggam tanganku dan memandunya untuk ikut memegang kemaluannya yang sudah full ereksi saat itu.

"Buka, Dy. Aku horny banget!" pinta Justin agar aku membukakan restsleting celananya.
Dengan agak gugup, aku pun menurut saja. Entah kenapa, aku jadi seperti robot saat itu, mungkin saja karena aku pun sedang terangsang sekali saat itu. Apalagi kulihat, Ryan dan Boni sudah bergulingan di atas ranjang sambil saling melumat satu sama lain tanpa berpakaian lagi, keduanya sudah telanjang bulat!

Aku membantu Justin membuka restsleting celananya dan juga kancing bajunya. Setelah itu kupelorotkan celananya, sehingga ia hanya mengenakan baju yang terbuka dan celana dalam saja. Kemudian tanpa terkontrol lagi, aku langsung mendaratkan ciumanku yang pertama ke bibir Justin yang seksi. Sementara itu, tanganku bergerilya di seputar dadanya dan kemaluannya secara bergantian.

Kuselipkan tanganku ke balik kemejanya dan kemudian kuremas-remas kedua puting susunya, sambil sesekali diiringi remasan-remasan pada bagian pinggang dan sentuhan-sentuhan maut ke seluruh bagian dadanya yang bidang itu. Sementara itu, tanganku yang satu lagi meremas-remas bagian belakang kepala Justin. Kami berdua saling menghisap, saling melumat, saling menggigit dan bermain lidah.

Kurasakan desahan nafas Justin yang membuatku makin terangsang untuk terus menikmati tubuhnya, ia sesekali menggeliat-geliat di atas sofa sambil mendekapku dengan erat. Justin lalu memasukkan tangannya ke dalam celanaku, ia meraba-raba kontolku yang sudah tegang dan basah oleh cairan precum saat itu. Ia lantas meremas-remasnya dengan gemas, sebelum akhirnya ia pun membuka celanaku dan membuatku panthless saat itu.

Setelah usai permainan lumat melumat, Justin berjongkok di depanku dan memulai lumatan yang baru yaitu melumat kontolku. Bagai diburu nafsu yang membara, Justin terus memainkan kontolku di mulutnya, ia menghisapnya keluar masuk dan menjilatinya seolah sedang menikmati es krim cone. Sesekali ia mengocoknya.

"Argh!" desahku ketika rasa nikmat tak kuasa lagi untuk kutahan.

Kurasakan kenikmatan tiada tara ketika kulit pembungkus rudalku bergesekan dengan liang mulut Justin. Apalagi ketika ia membawanya keluar masuk mulutnya. Sampai pada puncaknya ketika cairan kelelakianku mulai menyemprot dan bertumpahan memenuhi mulutnya. Aku langsung lemas saat itu seiring dengan mengendurnya urat-urat pada kontolku.

Sebagai seorang gigolo profesional yang sudah punya jam terbang tinggi, Ryan pun tak kalah liar dibandingkan Boni. Ia mencoba memuaskan pelanggannya itu dengan jurus-jurus mautnya. Dalam keadaan telanjang bulat di atas kasur, Ryan lantas menindih paha Boni sambil memegang secangkir lemon juice di tangannya. Setetes demi setetes, ia menumpahkannya di dada dan perut Boni, dan sesudah itu ia membungkuk dan menjilatinya dari tubuh Boni.

Boni pun terlihat menggelinjang-gelinjang dan mendesis tak kuasa menahan rasa geli bercampur nikmat saat itu. Ryan terus bergerilya di seputar dada dan perut Boni dengan lidahnya. Kemudian, lagi-lagi Ryan menindih tubuh Boni, mereka saling melumat lagi dengan bibir mereka, sementara kontol mereka saling digesek-gesekkan di bagian bawah sana.

Selanjutnya tak banyak yang bisa kuceritakan tentang malam itu, aku tak begitu ingat semuanya. Yang jelas, malam itu aku pun sempat menikmati permainan seorang gigolo, dan itu untuk yang pertama kali dan terakhir bagiku. Jujur saja, aku tak sanggup mengimbangi permainan orang-orang semacam Ryan dan Boni yang kelewat hiperseks. Tapi lain halnya dengan Justin, aku senang bermain dengannya. Karena sejak malam itu, kami masih sering mengulanginya dan menghabiskan waktu bersama.

Justin pun kini menjadi sudah menjadi bf-ku, dan tak ada seorang pun di sekeliling kami yang curiga ketika kami jalan bersama, karena mereka rata-rata sudah tahu kalau kami bersahabat sejak lama. Jadi mereka pikir, kami hanyalah sepasang sahabat karib, yah kuharap tetap seperti itu saja! Karena mau atau tidak, suka atau tidak, orang akan tetap memanggilku "selebritis", jadi aku harus selalu kelihatan tampil baik di depan mata mereka. Hanya saja kalau boleh mengajukan permintaan saat ini, aku hanya ingin minta satu hal saja", jangan panggil aku selebritis!"

Tujuanku mengungkapkan semua ini bukan apa-apa atau untuk mencari sensasi, sebab aku rasa aku sudah tak perlu lagi mencari popularitas dan sensasi karena semuanya sudah kudapatkan dan itu tak ada gunanya bagiku. Tetapi, aku hanya sekedar mau mengingatkan kalian bahwa jika ingin menjadi seorang selebritis, siapkanlah mental yang cukup agar tak sampai terjerumus kepada hal-hal yang seharusnya tak perlu terjadi, sebab kehidupan selebritis tak sekedar bicara tentang popularitas, keglamoran dan kemewahan, melainkan juga berbicara tentang sebuah tantangan yang sangat complicated yang akan membuatmu langsung diperhadapkan pada pilihan: hidup atau mati, digilas atau menggilas, dan lain sebagainya.

Rabu, 08 September 2010

Discourse


“Hai, celanamu bagus. Dimana kamu jahitinnya?” tanyaku kepada Rasta.
“Di dekat kampus. Wow, banyak kok. Bertebaran deh”.
“Boleh dong aku diantar ke sana?”
“Kapan kamu maunya?” demikian Rasta menimpali.

Aku meneliti celana jeans yang sedang dikenakan Rasta siang itu. “Tolong dong, diangkat bajunya, aku mau lihat jahitannya?” kataku sambil merunduk ke arahnya. Rasta segera mengangkat t-shirt yang dipakainya tinggi-tinggi. Terlihat bulu-bulu halus berbaris dibawah pusarnya dengan arah kontur jelas bersumber dari sesuatu yang ada di bagian pangkal pahanya.

“Lho, kok longgar, sih?” kataku mengomentari lingkar celana yang terlihat besar. “Nih, lihat, empat jariku dapat masuk ke dalamnya” aku memasukan jemariku ke bagian dalam celana jeansnya untuk menunjukan hal itu. Pada saat yang sama, aku sempat terkejut, ternyata Rasta tidak memakai celana dalam. Tanganku langsung menyentuh pubicnya yang terasa sekali kelebatannya. Wajah Rasta bersemu merah. Malu. Aku pura-pura tidak melihat perubahan pada wajahnya.

Setelah kejadian itu, pikiran ngeresku selalu membayangkan aku dapat memegang bahkan melumat sekalian sesuatu yang ada di antara pubicnya itu. Kala itu jangkauan tangganku tidak dapat mencapainya. Karena ia belum ereksi.Tapi intuisiku mengatkan bahwa probabilita Rasta dapat juga menikmat seks sejenis adalah sekitar 80-90% kebenarannya. Aku hanya perlu membuktikan hipotesa saja. Apalagi dari analisa sikap dan perilakunya sebagai seorang ‘anak mami’ yang dandy dan fasionable. Dia malu sekali ketika aku mengomentari kuku tanganya yang bersih karena melakukan treatment menipedi (Manicure and Pedicure).

Memang sih, kutahu ia punya girl friend. Aku juga kenal kok dengan pacarnya itu. Tapi menurut pandanganku itu tidak menjadi alasan yang signifikan bahwa ia tidak bisa lagi make love sejenis. Sesuatu yang membuat aku begitu yakin adalah selera pilihannya terhadap warna-warna tertentu serta sikapnya yang manja kepadaku. Aku biasa memeluk dan mencium pipinya ketika ulang tahun. Suatu kali, bahkan pernah kami bersentuhan bibir. Namun, aku tidak ingin gegabah bertindak lebih yang akhirnya merusak pertemanan itu.

Sampai pada suatu ketika ia datang kerumahku dengan keadaan basah kuyup. Saat itu memang kebetulan hujan deras.
“Lho kok tumben sampai kebasahan gitu?” kataku kepadanya sambil memberikan handuk dan ganti pakaian kering kepadanya.
“Rumahmu, sih, pake masuk gang segala. Sialnya, aku sedang gak bawa payung lagi” Rasta menggerutu, kemudian ia melanjutkan “Menunggu hujan berhenti, wah, aku gak sabar deh. Makanya aku beranikan monek (modal nekad) aja menerabas hujan. Kalau mama tahu begini pasti sih diomelin. Ntar pilek, batuk, he he…he….he..he..”

Rasta membuka pakaiannya yang basah. Aku terhenyak ketika untuk pertama kalinya menyaksikan keindahan bentuk tubuhnya polos atletis dengan dadanya yang bidang dan amboi lebat nian bulu ketiaknya terlihat menggerombol keluar dari himpitan kedua lengannya yang kokoh itu.

“Aku nginep di sini aja ya malam ini?” kata Rasta sambil merebahkan diri di kasur.
“Yes” teriaku dalam hati. Bagiku inilah saatnya yang kutunggu-tunggu.
“Kamu sudah ijin ke mama?” kataku sambil menutup pintu dan jendela.
“Sudah, sih, kebetulan juga di rumah lagi banyak tamu, kupikir sesekali nginep disini boleh dong?” Rasta tersenyum sambil mengedipkan mata.

Ketika malam beranjak larut, aku semakin gelisah saja. Kulihat disampingku Rasta sudah lelap tertidur terdengar dari dengkur halus nafasnya. Ia memakai t-shirt serta celana pendek hawai milikku Perlahan aku bangkit berdiri mengambil gunting yang telah kupersiapkan sebelumnya. Dengan hati-hati aku menggunting bagian tepi t-shirt dan celana yang dikenakannya itu. Tahap pertama selesai dengan terlepasnya pakain dan celana hawainya. Masih satu tahap lagi yaitu menggunting celana dalamnya. Hingga akhirnya aku dapat melihat keseluruhan tubuh polos Rasta. Terlihat Rasta nyenyak sekali dalam tidur sehingga ia tidak tahu bahwa saat itu ia telah kubuat bugil.

Aku segera melepas juga semua yang melekat ditubuhku; kini akupun sudah bugil pula. Tak sehelai benangpun melekat di tubuhku. Aku melirik kemaluanku yang sudah menegang dengan perkasa. Pada saat itu, aku sempat bingung mau ngerjain bagian yang mana dulu ya. Sampai akhirnya kuputuskan untuk perlahan-lahan menindih tubuh Rasta yang telentang itu. Namun sebelumnya kuangkat dahulu ke dua belah tangan Rasta kesamping sehingga aku dapat melihat jelas pangkal lengannya yang ditumbuhi bulu ketiaknya yang rimbun itu. Kuhirup aroma jantan khas lelaki dari ketiaknya yang lebat itu

Dengan hati-hati kugesek-gesekanan kemaluanku di atas selangkangannya seraya membasahi bibirnya yang agak ternganga itu dengan sapuan lidahku hinga kemudian kudengar Rasta mendesah dan membuka mulutnya. Lidahku segera menerabas masuk menyapu langit-langit mulutnya; reaksinya adalah lidah Rasta menjulur keluar yang segera kuhisap. Tak lama kemudian kurasakan kedua lengan Rasta telah melingkar di punggung dan pantatku. Kurasakan juga Rasta membalas gesekan kemaluanku dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya.

Walau mata tetap terkatup seperti layaknya orang tidur namun erangan, goyangan dan desahan Rasta makin membuat aku kehilangan akal sehat. Aku meniduri Rasta tak ubahnya seperti ketika aku meniduri Ina kekasihku. Aku melepaskan diri dari dekapan Rasta dan perlahan kuarahkan glans ku ke mulut Rasta. Kurasakan bibir Rasta mengenyot glans dan lidahnya terasa basah memilin dan menjilat-jilat; kudorong lagi agar lebih masuk. Setelah itu aku mengarahkan rectumku ke mulut Rasta dan aku menikmati jilatan liar lidahnya disekeliling rectumku sambil tanganku meremas-remas dadaku.

Sebelum mengulum kemaluan Rasta aku kembali menghirup aroma ketiak Rasta yang ternyata semakin memacu testoteronku dan memperkeras tegangan kemaluanku. Aku memutar arah tubuh. Kurahkan kembali kemaluanku ke mulut Rasta. Memang agak sulit pisisi ini namun akhirnya aku dapat meraih kemaluan Rasta yang ternyata sudah mengeras pula. Aku segera mengelamotinya. Kami saling mengelamoti, yang istilah nya adalah posisi 69. Tapi aku tidak lama melakukan posisi ini, selain sulit juga agak tidak nyaman karena arah datang glans tidak biasa sehingga memudahkan terantuk gigi. Sakit.

Aku mengambil bantal dan mengganjalkan di bawah pinggul Rasta. Kuangkat kedua kaki Rasta dan kuletakan dipundakku. Setelah aku mengolesi Glans dan batang penisku dengan gel vaginal lubricant Durex serta merangsang rectum Rasta dengan jariku yang telah dilumuri Durex maka aku mengarahkan Glans ke arah ass-hole Rasta. Dengan ancang-ancang yang cukup aku mendorong perlahan lahan dan kemudian dengan satu sentakan kuat aku berhasil membenamkan seluruh batang penisku ke dalam liang kenikmatan Rasta.

Saat penetrasi itu, rupanya Rasta terbangun dari tidurnya dia meronta dan nampak terkejut. But the show must go on. Aku tetap mencengkram ke dua pahanya sambil tetap menyodok-nyodokan kontolku ke lubang duburnya. Tak beberapa lama Rasta tidak meronta lagi; bahkan ia mengerjap-ngerjap sambil tangannya meremas-remas kedua dadanya.

Jika aku semula dalam posisi menekuk lutut, maka kini aku selonjorkan kedua kaki disisi tubuh Rasta; aku menurunkan kedua kaki Rasta dari pundaku dan kemudian aku mencoba meraih pundak Rasta. Setelah dapat langsung kurenggut dan kuubah titik berat sehingga keadaan menjadi berbalik aku barbaring dan Rasta menduduki selangkanganku.

Setelah memperbaiki posisi agar lebih nyaman maka kini Rasta memegang kendali atas diriku. Dalam posisi beraring ini Rasta lebih mudah mengatur kedalaman penetrasi yang diinginkan. Buatku posisi ini lumayan enak karena aku tidak terlalu capai untuk memajumundurkan pinggul. Aku hanya merasa kemaluanku seperti diremas-remas dan dihisap oleh sesuatu kekuatan gaib yang menimbulkan sensasi senut-senut yang tidak terlukiskan dengan kata-kata biasa keculai desahan dan erangan kenikmatan.

Dalam posisi seperti ngulek sambel ini aku dapat menyaksikan wajah Rasta yang cute dan cool dengan lebih jelas. Senyum Rasta yang menawan ditingkah oleh sebaris kumis dan jenggot yang tumbuh rapi. Sambil Rasta naik turun menelan kemaluanku aku meraih penisnya pula dan memasturbasinya. Sampai pada suatu ketika aku sudah merasa sampai pada suatu titik pendakian cinta. Kedua kakiku mengejang dan tubuhku menggelatar hebat manakala aku menyemburkan cairan kelakianku di relung tubuh Rasta. Di saat yang sama Rasta melakukan cumshotnya kepadaku. Tembakan maninya tumpah ruah didagu dan mulutku. Pejantan belia yang kuidamkan.

:”Lho, kok, digunting?” Kata Rasat sambil menunjukan baju dan celana yang tadi dikenakannya.
“Aku takut membuat dirimu terbangun dan menjadi marah, jadi agar kau tidak bangun maka aku tidak punya pilihan lain selain mengguntingnya. Seandainya kau maraHPun dalam keadaan telanjang bulat demikian, aku yakin, kau tidak akan langsung lari pulang, ya kan?” Sahutku sambil memberikan ganti baju dan celana yang baru.
“Oh ya, Rasta, aku minta maaf untuk perbuatan tadi. Aku telah berbuat kurang ajar kepadamu. Aku hanya ingin membuktikan hipotesaku bahwa kau tidak alergi dengan hubungan make love sejenis. Feelingku menyatakannya bahwa kau bisa melakukannya.
“Menurutku tidak perlu ada yang dimaafkan; sebab sebenarnya akupun sudah lama menginginkannya. Hanya saja aku tidak tahu cara memulainya.”
“Jadi kau sama sekali tidak menyesal dengan apa yang baru saja kita lakukan?”
”Apalagi yang harus disesali dan untuk apa pula menyesal? Buatku penyesalan hanya boleh ada jika kita belum pernah melakukannya. Dengan pengalaman melakukan ini aku sekarang menjadi lebih mengerti perbedaan rasa bercinta homo dan hetero. Penilainan ini hanya dapat dilakukan dengan cara membandingkannya dengan praktek. Bukan hanya mendengar kata si anu atau sekedar membaca cerita ”
“Nah itu kan menurutmu, tapi belum tentu kan menurut yang lain” Aku membantah argumentasinya
“Menurutku, sih, tetap begitu; dalam jangkauan pemikiranku bagaimana mungkin seseorang dapat memberikan suatu penilaian enak atau tidak enak terhadap sesuatu hal tanpa orang tersebut pernah mengalaminya sebelumnya. Walaupun aku juga tahu, ada hal-hal tertentu yang take it for granted – dapat kita yakini kebenarannya tanpa perlu kita harus mencobanya pula”.
“Kalau begitu bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur meragukan kualitas kenikmatan bercinta sejenis seperti yang baru saja kita lakukan tadi?”
“Haruskan aku menjawabnya?”
“Nah, bagaimana pula kelanjutan hubunganmu dengan Regina, pacarmu?”
“ Wow, Aku tetap mencintainya. Aku juga masih punya nafsu terhadapnya. Tidak pernah berfikir bahwa hanya karena kejadian tadi kemudian aku memutuskan hubungan dengan Regina. Aku minta pengertianmu untuk menjadikan hal ini rahasia kita berdua, ok?”
“Deal” jawabku sambil melakukan toast – saling menepak telapak tangan.

Di kejauhan sayup-sayup terdengar suara kokok ayam. Kutengok jam, ternyata saat ini sudah jam 5 pagi. Untungnya tanggalan merah. Hari libur. Jadi kami meneruskan tidur yang tertunda.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Bercinta Dengan Pamanku Sendiri


Ini adalah penggalan dari salah satu kisah yang pernah saya alami. Sejak kecil orang tua saya telah membiasakan saya hidup teratur, bersih dan rapi, sehingga beranjak remaja saya sudah terbiasa hidup teratur, sampai sekarang saya lebih suka mengerjakan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain karena terbiasa sejak kecil begitupun dengan masalah bergaul aku gak sembarangan bergaul dengan orang lain.

Dari hari ke hari hidupku semakin di hantui dengan segala macam warna kehidupan tapi saya tetap berusaha eksis dengan mengambil hal-hal yang sesuai dengan prinsip hidup saya, sejalan dengan bertambahnya usia terkadang ada hal-hal tertentu tak bisa saya tolak sehingga menimbulkan variasi dalam cara berbikir saya salah satunya adalah kebutuhan biologis. Tak terpikir olehku kalo ternyata dari sekian banyak bagian dari kehidupan semuanya berjalan berkesinambungan, tergantung dari setiap individu itu sendiri bagaimana dia mengolahnya dan memetik bagian yang dianggap sesuai dengan selera hidupnya sekeras apapun kita menolak semuanya terkadang hal itu hanya akan menimbulkan beban batin yang berkepanjangan tapi jangan kuatir bukankah ada pepatah yang mengatakan 'ada seribu satu macam jalan menuju roma', tidak ada masalah yang tidak ada pemecahannya jadi jangan kuatir semuanya akan bisa di atasi sepanjang keingian itu masih ada.

Nama saya Chris, saya salah satu mahasiswa PTN terkemuka di Indonesia bagian timur sekarang saya berumur 20 tahun perjalanan hidup saya penuh dengan lika-liku hingga sekarang pahit getirnya kehidupan saya sudah rasakan, ternyata kehidupan itu tak ubahnya adalah suatu bentuk metamorfosis dari mahluk yang menjalaninya dan akan mencapai klimaksnya yang kita sendiripun tidak tau kapan..

Sekarang saya akan mengajak kalian secara mundur (flashback) mengikuti suatu cerita di masa kecil saya tepatnya ketika saya masih berstatus murid sekolah dasar, sejak kecil saya suka berdiam diri di rumah apabila gak ada yang mengajak main saya cenderung di rumah nonton TV ataupun main game atau mengulang pelajaran disekolah, tak mengherankan jika nilai rapor saya selalu bagus dibanding dengan saudara-saudara saya yang lain.

saya punya beberapa Paman yang sangat perhatian dengan saya, katanya saya beda dengan anak-anak yang lain mereka cenderung nakal dan urak-urakan, salah satu Paman saya itu bernama yudi ketika saya masih sekolah dasar Paman saya itu sudah berumur sekitar 25-an. Orangnya memang sangat baik dia senang mengajari saya matematika begitu pula dengan pelajaran lainnya sebenarnya dia masih sepupu saya tapi karena umurnya sedikit jauh diatas saya makanya saya lebih senang memanggilnya Paman.

Sore itu Ayah dan Ibu kebetulan gak ada di rumah saudara-saudara yang lain juga gak ada kakak ikut studi tour sedangkan adik ikut les matematika, saya sendiri sedang mengulangi pelajaran yang tadi saya dapatkan disekolah, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk saya memasang telinga dengan baik memastikan apakah benar ada yang mengetuk pintu.

"Tok.. tok.. tok.." suara pintu terdengar sangat jelas.
"Siapa yach" jawabku sedikit lantang.
"Ini Yudi, Chris" jawabnya dari balik pintu.
mendengar kalo yang menjawab itu Paman yudi aku segera menghampiri pintu dan membukanya.
"Eh, Paman Yudi, masuk Paman!" sambil mempersilahkannya masuk.
Paman Yudi segera menghampiri meja di mana saya belajar lalu diam sejenak memandang buku-buku yang tergeletak tak beraturan.
"Ibu kamu kemana Chris, kamu sendiri yach?" sambil mengutak-atik buku tersebut.
"Iya Ibu ama Bapak keluar Paman, dia gak bilang tuch mau kemana katanya nanti malam baru pulang" jawabku pelan sambil masih terus memperhatikannya.

Sore itu Paman sedikit beda, kelihatannya sedikit lebih fres dari biasanya dibalut dengan baju kemeja dan celana jeans memperlihatkan postur tubuh yang sangat proporsional ditambah lagi wajahnya yang cakep, bersih dengan aroma parfum yang maskulin membuatku hanyut dalam keharuman. Sudah cukup lama aku memperhatikan pamanku selain karena orangnya baik dia juga senang mengajari saya makanya saya senang setiap kali dia datang ke rumah.

"Mau ke mana Paman rapi banget".
"Rencananya sich mau keluar tapi kayaknya gak jadi dech" seraya menganggukkan kepalanya memberi isyarat memanggilku. Akupun lalu duduk didekatnya.
"Kalo Fery ama Nanda kemana?" tanyanya pelan sambil membaca salah satu buku pelajaranku.
"Fery studi tour Paman sedang Nanda sekarang di sekolah katanya ada les tambahan" jawabku pelan.

Beberapa saat berlalu tiba-tiba di luar jangkauan berpikir saya tangan Paman telah memegang tanganku dielusnya tanganku pelan dan sesekali bernafas panjang saya sendiri hanya diam kebingungan dalam batin saya berkata ada apa dengan Paman, dan kenapa juga saya merasakan sesuatu yang hangat dan damai. Dibimbingnya tanganku menyentuh pahanya lalu berhenti disuatu gundukan tepat dibagian tengah dari tubuhnya yang tidak lain adalah kontolnya sendiri, aku merasakan gundukan tersebut berdenyut-denyut tegang dan mengeras.

"Kamu sayang Paman gak Chris?".
Aku mengangguk seraya memeluk pamanku, baru kali ini aku bisa mendekat erat pamanku seolah aku tak ingin melepaskan pelukanku. Entah kenapa, anak seusia saya pada waktu itu sudah bisa memiliki perasaan seperti itu.
"Chris, mau bantu Paman gak?" tanyanya dengan bunyi seperti desahan.
"Bantu apa Paman" jawabku polos.
"Kalau kamu memang sayang ama pamam lakukan apa yang Paman perintahkan" kata Paman seraya mengecup keningku, akupun semakin memeluk erat pamanku tidak ingin melepaskannya.

Perlahan-lahan pamanku mulai menciumi satu persatu dari bagian wajahku mulai dari keningku, pipiku dan terakhir tentunya bagian yang paling sensitif yakni bibirku dilumatnya bibirku dengan mesra, hangat dan lembut akupun mencoba membalasnya tapi waktu itu aku belum tahu bagai mana cara berciuman yang asyik aku cuma mengerak-gerakkan bibirku seadanya untunglah pamanku membimbingku dengan baik sehingga kami berdua bisa merasakan betapa nikmatnya bibirku dan bibir Paman yang saling menyatu, nafas Paman semakin memburu gerakan Paman semakin dipercepat tapi masih dalam keadaan terkontrol sehingga saya tidak kelabakan jadinya.

Sambil tetap masih dalam keadaan mengulum bibirku yang mungil tangan Paman asyik mengerayangi bagian tubuhku yang lain termasuk adik keciku yang sedikit demi sedikit mulai mengeras. Puas dengan bagian bibirku Paman kemudian meningkatkan permainan lidahnya dengan menjilati bagian tubuhku yang lain leher, dada lalu hinggap di kedua puting susuku yang sedikit kemerahan dipilinnya dengan lembut aku mengeliat menahan rasa geli terkadang aku tertawa saking gelinya tapi asyik juga setelah itu sapuan lidahnya berkelebat lagi ke arah bawah membuka perlahan-lahan celanaku dan segera ditebasnya adik kecilku yang manis dengan lidahnya di lanjutkan dengan tarian lidahnya aku dibawahnya melayang akhirnya adik kecil itu tegang juga meskipun ukurannya kecil pamanku nampaknya sangat menikmatinya.

Pamanku benar-benar hebat dia sangat berpengalaman emosinya terkontrol dengan baik sehingga setiap gerakan yang dilakukan jauh dari sentuhan yang liar sehingga aku juga senang menyambutnya, puas menikmati bagian-bagian tubuhku, Paman berdiri lalu saya melihat Paman membuka satu persatu pakain yang melekat ditubuh seksinya itu dadanya yang terbentuk memberikan kesan yang sangat seksi sekali, putih dengan sedikit bulu halus yang menghiasinya. Tangannya sekarang turun ke bawah dibukanya resleting celananya lalu dipelorotkan celana jeansnya, wow suatu gundukan yang cantik sekali terlihat gundukan itu besar sekali.

"Paman besar sekali adiknya" kataku sambil tertawa kecil.
Paman hanya tersenyum lalu dibukanya CDnya dan tampaklah sebuah meriam yang siap melepaskan tembakan ukurannya sangat besar sekali. Pamanku mengangkat tubuhku kali ini aku menindihnya lalu Paman menyuruh aku menciumnya aku pun melakukannya.
"Aghh..", Paman mendesah lembut akupun semakin melumat bibir pamanku yang kelihatan sangat fresh itu, entah kenapa secara spontan tanpa disuruh oleh Paman aku menjilati leher Paman lalu turun ke lehernya lalu aku merambah ke dada seksinya aku hanya mengikuti apa yang telah dilakukan Paman tadi padaku, desahan Paman datang silih berganti kali aku memilin kedua puting susu pamanku enak juga aku seakan menikmati ice cream lembut dan hangat.

Kali ini pamanku sedikit mendorong kepalaku ke bagian bawah sepertinya menyuruhku untuk mencicipi bagian bawah tubuhnya setelah dadanya lidahku turun ke bagian perutnya kunikmati seadanya lalu aku turun lagi sedikit demi sedikit terasa sekali denyutan-denyutan kontol pamanku pada bagian leherku.
"Hisap Chris, hisap sayang yang itu" sambil memegang kemaluannya lalu dibimbingnya kemaluan itu masuk ke dalam mulutku.
"Aggh.. hisap terus sayang", mata pamanku merem melek mengikuti ritme gerakan hisapanku yang semakin menjadi-jadi meskipun sedikit tidak teratur aku melakukannya namun pamanku tetap menikmatinya tubuhnya menggelinjang hebat. Aku sendiri sangat menikmatinya baru kali ini merasakan sesuatu yang sangat enak, empuk, kenyal, lembut dan hangat seandainya aku disuruh memilih antara ice cream dengan barang milik pamanku aku akan memilih barang milik pamanku itu.

Berapa menit telah berlalu aku masih asyik bercinta dengan pamanku cara pamanku sangat romantis sehingga memberika kesan kalau pamanku juga memberikan kesempatan aku menikmatinya, Posisi kami sekarang berubah Paman memintaku untuk berjongkok di atas tubuhnya kali ini sepertinya Paman ingin mencicipi anusku yang mungil dan lembut tersebut setelah mengolesi sedikit lotion ke kemaluannya, dibimbingnya barang tersebut masuk ke anusku. Agak susah memang, aku merintih beberapa kali karena merasa kesakitan.

"Aghh! Paman, sakit sekali" kataku.
"Paman akan pelan-pelan sayang" balas pamanku.
Setelah beberapa kali mencoba akhirnya masuk juga "Blesstt.." aku merintih kesakitan, untuk beberapa saat Paman tidak bergerak dia asyik membelai dan memainkan adik kecilku agar aku sedikit merasa keenakan ternyata usaha pamanku berhasil setelah itu pinggul pamanku naik turun sehingga kurasakan gesekan di dalam anusku perih tapi aku menikmatinya lantunan bunyi decak dalam anusku sangat berirama aliran darahku terasa terhenti, anusku tertusuk.
"Ahh.." sedikit demi sedikit aku mulai mendesah menandakan aku menikmati permainan pamanku.

Pamanku sepertinya lelah sekarang dia mengubah posisi disuruhnya aku menungging lalu pelan-pelan kembali dia masukkan kontolnya itu ke dalam anusku kali ini sedikit memaksa.
"Agh! sakit.." kali ini aku memekik.
Dengan pelan pamanku menggerakkan pantatnya maju mundur seraya kedua tangannya memelukku, lama kelamaan gerakkannya sedikit di percepat kali ini nafsu pamanku semakin memburu sepertinya dia tidak bisa lagi menahan nafsunya yang kian membara.
"Yeahh.. ahh.." pamanku mendesah hebat.
Desahannya datang silih berganti dan suatu ketika dia segera melepas barangnya dari anusku yang sangat sempit, perih memang.
"Buka mulutmu sayang" ujar Paman sambil mengarahkan kontolnya ke arah mulutku.
Pamanku mengocok kontolnya sendiri lebih cepat dan "Crot.. crot.. crot".
"Ah.. yeahh.. ahh.." pamanku mengerang.
Spermanyapun tumpah ruah di dalam mulutku sebagian lagi jatuh ke badanku, melihat sperma yang begitu banyak tertampung dalam mulutku segera dikulumnya mulutku akupun membalas kuluman itu, kami saling berbagi sperma pamanku itu dalam mulut yang bersatu.
"Apa ini Paman kok asin?" masih sempat kata itu keluar dari mulutku yang polos di kala itu.
"Itu air mani sayang atau pejuh, telan aja enak kok" kata pamanku dengan tersenyum lalu kembali menciumku.

Pamanku bukanlah orang yang ingin memperoleh kepuasan sendiri dalam bercinta segera saja tangannya menjalar ke bagian tubuhku dan meremas adikku lalu mengocok dengan cepat dan cepat lagi, setelah beberapa saat dia mengocok barangku itu aku akhirnya merasakan suatu getaran hebat pada pada bagian penisku berdenyut hebat dan tiba tiba aku merasakan seperti kesetrum tubuhku seperti kejang-kejang terutama pada bagian penisku ternyata aku telah mangalami orgasme meskipun aku tidak mengeluarkan pejuh maklumlah mungkin belum waktunya, pamanku sendiri masih asyik mengocok punyaku lalu aku segera melepaskan tangannya karena aku sudah sangat lemas. Sore itu sungguh terasa menyenangkan kami masih sempat bercanda sebentar sebelum akhirnya Paman pulang.

Meskipum kadang malamnya aku merasakan anusku perih tapi aku masih saja mengulanginya dengan pamanku setiap kali kami ada kesempatan, aku sangat menyukai pamanku namun benarlah kata pepatah ada pertemuan tentu ada pula perpisahan menjelang ujian akhir tingkat SD pamanku juga sudah berangkat ke jakarta sampai sekarang dia masih di sana dan sudah berkeluarga, namun pengalaman bercinta selama beberapa kali dengan pamanku itu sungguh pengalaman yang sangat mengasyikkan, akankah saya alami pengalaman yang lebih seru lagi..

bird hunter

Aku akan menceritakan, kisah unik ini karena baru saja terjadi, kira-kira 2-3 bulan yang lalu. Cerita yang mungkin tidak akan banyak orang yang percaya kalau yang melakukan itu aku, karena pada dasarnya aku berwajah imut, pendiam dan cenderung pemalu, meski aku dilahirkan sebagai laki-laki.

Oh ya, sebut saja aku Fik, umurku 15 tahun, aku duduk di kelas 1 SMU di kota S di Jawa Tengah.Namun cerita ini terjadi sewaktu aku di sebuah kota kecil di Jawa Timur, sebelum aku pindah ke kotaku sekarang. Awal kejadiannya mungkin pikiranku yang penuh sesak dengan hal-hal yang berbau pornografi, majalah, buku, novel atau kaset VCD yang kukoleksi, tidak tahu sekarang jumlahnya berapa di kotak rahasiaku, termasuk main internet sebagai hobby baruku. Parahnya, aku melakukan tindakan gila ini pada seorang bocah ingusan, dia tetangga sebelah rumah, Wen namanya. Dia masih kelas 6 SD. Meski tinggal bersebelahan tetapi baru sekitar satu semester ini kami akrab karena aku punya senapan angin untuk berburu dan dia suka juga berburu, sehingga waktu itu kami sering main bersama.

Pagi itu, hari Minggu, aku sudah berada di pekarangan belakang rumahku mencoba senapanku, dan mulai menembak, ternyata dia pun sudah berada di situ, hingga akhirnya kami pun berdua pergi ke sawah, menembak burung. Meski banyak sekali burung, tetapi kami sedang sial, karena tak seekor pun kami dapatkan hingga siang hari. Hingga kami putuskan untuk istirahat dulu di dangau tengah sawah karena kami rasa langsung pulang terlalu panas, sementara kami membawa bekal sedikit makanan sehingga tak perlu takut kelaparan.

Sambil menikmati makanan aku pun memulai obrolan.
"Wen, sekarang umurmu berapa?"
"11 tahun, kenapa Mas?" jawabnya balik bertanya.
"Wen kamu pernah onani?"
"Nggak, Mas." katanya sambil beringsut hendak berdiri.
"Mau kemana Wen?" sambil kupegang celananya, tapi.. "Ssrett.." celananya malah merosot hingga terlihat kelaminnya, kulihat merah padam wajahnya. Sambil membetulkan celananya.
"Mas, Fik.." pekiknya.
"Maaf, aku nggak sengaja," kataku, "Ah gitu saja malu, kita kan cuma berdua, sama-sama laki-laki lagi, aku saja nggak malu kalau kamu mau lihat anuku," sambungku menggoda.
"Tapi Mas."
"Ah kamu, nih aku tunjukin punyaku." sambil kubuka reitsleting celanaku dan kukeluarkan penisku. Wen pun duduk kembali di sampingku.

"Kamu nggak malu Mas?"
Aku pun hanya menggeleng.
"Kamu tahu kagak onani?"
"Nggak, onani apaan Mas."
"Onani itu mengeluarkan sperma dari penis ini, rasanya enak banget."
"Apa iya Mas, bukankah dari penis yang keluar air kencing?"
"Bukan itu saja, ada air kental putih yang bisa keluar dari sini, itu namanya sperma." jelasku.
"Oo air mani, aku pernah dengar dari guru ngajiku."
"Begini nih caranya," jawabku sembari mengocok penisku pelan-pelan, lama-kelamaan semakin cepat hingga penisku yang tadi sebesar jempol kaki sekarang sudah menegang bertambah besar dan menegang agak kemerahan. Wen pun hanya menelan ludah melihatku, sementara kulirik celananya, ada benjolan di selakangannya, rupanya dia pun terangsang melihat permainanku. Aku pun terus melakukan kocokan pada penisku hingga kurasakan spermaku mau keluar, sebentar kemudian kuhentikan dan kupegang tangan Wen dan mendekatkannya ke penisku.

"Wen, coba kamu yang mengocok."
"Nggak mau Mas"
"Ah kamu.. begini lho." sambil kusentuhkan pada penisku dan sesaat kemudian dia berubah pikiran dan segera memegang batang kelaminku, begitu kuatnya sehingga terasa sekali jepitannya dan dikocoknya pelan-pelan, kemudian dia percepat setelah kusuruh mempercepatnya hingga aku tidak tahan lagi, mengeluarkan spermaku.

"Ah, Wen.." aku mengerang sambil memiringkan tubuhku ke arah Wen dan, "Crott.. crott.. crott.." cairan putih kental menyembur dari ujung penisku, berceceran diantara tempat duduk kami.
"Ah, enak sekali kocokanmu, enak banget."
"Apa iya Mas."
Aku pun mengangguk pelan.
"Gimana kamu mau coba?" seraya tanganku meraih selakangannya yang dari tadi menonjol.
"Jangan, Mas"
"Ah nggak pa-pa kok, rasanya enak banget, kamu harus coba, nggak usah malu kita hanya berdua kok," kataku meyakinkan.
Kali ini dia tidak menghindar lagi ketika tanganku meraih selakangannya. Segara kukeluarkan penisnya dari celananya.
"Penismu besar juga, Wen" pujiku.
Untuk anak seumur dia penisnya cukup besar dan panjang apalagi dalam keadaan menegang. Langsung kubelai-belai batang kelaminnya kemudian kugenggam dan kukocok pelan.

"Wen, sekarang rasakan nikmatnya, ya."
"Ah.. Mas," dia hanya mendesah menikmati kocokanku. Sementara kocokanku makin lama makin kencang kemudian pelan lagi membuat dia hanya bisa menggeliat tidak karuan sambil mendongakkan kepalanya menatap langit. Aku pun kemudian menghentikan kocokanku, terlihat wajah Wen yang kaget, kocokannya kuhentikan.
"Kenapa, Mas?"
"Begini Wen, ada satu cara lagi menikmatinya, lebih enak dari yang ini namanya oral seks, yaitu dengan mulut dicoba, ya." jelasku.
Dia pun hanya mengangguk, karena sudah merasakan bagaimana nikmatnya permainan ini. Segera kupegang batang kelaminnya dan kumasukkan ke dalam mulutku dan langsung aku menghisapnya, terlihat Wen lebih menikmatinya, terdengar berulang kali desahan nafasnya dan erangannya sambil menggelinjang.

"Ah.. Mas, enak sekali.. hisap lagi Mas." aku pun menghisap kembali penisnya dan beberapa saat kemudian tubuhnya terasa mengejang, nafasnya pun tak karuan.
"Mas, aku mau kencing.."
"Tahan dulu Wen, sebentar lagi," sambil kuteruskan mengulum batang kemaluannya dan sesekali aku menghisapnya. Wen semakin mengejang dan..
"Aku tak tahan lagi Mas," sambil memiringkan tubuhnya ke arahku, aku pun segera melepaskan penisnya dari mulutku dan kupegang erat penisnya dan mengocoknya agak cepat, hingga erangan panjang dari Wen seiring sperma pertamanya muncrat dari lubang penisnya.
"Crott.. croott.. crott.." banyak sekali sperma yang keluar dari kelaminnya.
"Kamu bener Mas, enak sekali," katanya sambil terengah-engah menahan nafasnya.
"Kubilang juga apa, emangnya aku pembohong." jawabku.
"Wen, sebenarnya ada satu lagi cara seks yang belum kamu ketahui, cara-cara ini dilakukan jika kita nggak punya teman wanita yaitu onani seperti tadi, oral yang baru kulakukan terhadapmu dan satu lagi namanya anal seks apabila kita melakukannya dengan laki-laki juga." jelasku.
"Apa lagi Mas" tanya Wen setengah tak percaya.
"Yaitu menggunakan anus."
"Hii.." dia agak kaget.
"Tak apa-apa, rasanya seperti tadi bahkan keduanya bisa merasakan kenikmatan yang sama," jelasku lagi.
"Mau mencoba?"
Ternyata diluar dugaanku, dia mengangguk tanda setuju.

"Tapi kamu harus membuat terangsang lagi, kamu kan belum ngemut anuku," sambil mendekatkan penisku yang menegang kembali ke wajahnya. Tanpa berkata lagi dia pun langsung memegangnya dan mengulum penisku sambil sesekali dihisapnya, membuat penisku cepat menegang kembali. Tak berapa lama kurasakan penisku sudah cukup tegang dan menyuruhnya menghentikan kulumannya.

"Sekarang waktunya anal seks, kamu yang menggunakan anus ya."
Dia pun mengangguk pelan.
"Kamu menungging membelakangiku, Wen."
Dia pun menurut saja dan menyodorkan pantatnya ke arahku, segera kupegang anusnya dan kumasukkan penisku pelan-pelan ke anusnya. "Bleess.." tiba-tiba ia berteriak kesakitan,"Aduh, sakit Mas!"
"Sebentar lagi juga tidak." sambl meneruskan menggerakkan penisku maju mundur di anusnya.
Dia pun terus mengerang menahan sakit, tapi itu tak berlangsung lama karena kemudian yang terdengar adalah desahan pertanda dia sudah bisa menikmatinya. Aku pun tak hanya mengocokkan penisku di anusnya, aku pun menggerayangi tubuhnya, kuremas-remas lagi penisnya yang juga mulai menegang dan mengocoknya sambil terus kumaju-mundurkan penisku di lobang pantatnya, hingga aku pun semakin mendekati keluarnya spermaku. Dia pun ternyata juga semakin menikmati karena penisnya pun menegang keras sekali, dan aku pun terus mengocoknya hingga tubuh kami merasakan bergetar dan mengejang satu sama lain. Segera kucabut batang penisku dari anusnya, "Plubb.." Wen mengerang, "Aahh.. Nikmat sekali."

"Wen, sekarang kita kocok penis kita bersama-sama yuk."
"Yuk.." sambil mendesah.
Kami pun kemudian duduk berhadapan dan merapatkan penis kami berdua dan mulai mengocoknya bersama-sama, pegangannya masih begitu kencang hingga beberapa saat kemudian kami pun tak kuat lagi menahan sperma yang mau keluar dan, "Croott.. crott.. croott.." banyak sekali sperma yang keluar dari kedua penis kami seiring erangan panjang kami berdua. Kami pun kemudian merebahkan tubuh telanjang kami di dangau sambil tetap memainkan kelamin kami masing-masing. Beberapa saat kemudian kami tertidur di situ karena kelelahan. Hingga kemudian sinar matahari yang sudah condong ke barat menerpa tubuh kami dan kami pun bergegas pulang. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kami bercerita tentang enaknya permainan kami tadi.

Sabtu, 03 Juli 2010

teman baruku


Hari minggu siang itu, aku tidak mempunyai kegiatan sedikitpun, mau keluar malas karena begitu panasnya kota Surabaya yang membuatku enggan untuk berjemur dibawah teriknya matahari. Maka aku iseng-iseng aku telepon temanku Ras yang sudah menjadi teman akrabku dan diantara kami sudah tidak ada rahasia lagi yang perlu disembunyikan karena kita masing-masing sudah mengetahui siapakah diri kami masing-masing, walaupun begitu terus terang aja kami tidak pernah berbuat yang melebihi selain hanya ngobrol bersama yang nggak ada juntrungnya dari ngalor sampai ngidul dan balik lagi, karena kami sudah terlalu akrab dan kita bisa saling merasakan curhat kami satu diantara lainnya.

"Hallo Ras, gimana kabarmu? Terus terang aja saya hari ini lagi males keluar, jadi kita ngobrolnya lewat telepon aja yaa"
"Ok," terus sambungnya lagi, "Oh yaa kemarin aku kenalan sama anak yang rumahnya hanya beberapa blok aja dari rumahku, dan dia rupanya orang baru, karena masih belum banyak temannya"
"Boleh nggak aku tahu namanya dan nomor teleponnya"

Akhirnya Ras menyebutkan sebuah nama dan nama itu adalah Johny beserta dengan nomor teleponnya sekalian.

"Coba kamu hubungi dia siapa tahu dia welcome ama kamu"
"Ok, trims deh," lalu akhiri pembicaraanku siang hari itu dengan Ras.

Dengan rasa ragu-ragu akan menghubungi Johny atau nggak, same kurang lebih sepuluh menit aku menimbang-nimbang, akhirnya kuberanikan diriku memencet nomor yang baru diberikan oleh Ras tadi.

"Hallo, dari siapa ini?"

Kudengar suara yang cukup ramah dan tidak ada kesan sombong sama sekali, yang makin membuat memberanikan diri bicara berlama-lama dengannya. Sampai akhirnya pembibaraanku mulai menjurus ke arah yang berbau sek, dan ternyata diapun juga menanggapinya walaupun tidak seberani aku. Sampai pada akhirnya keluarlah ucapanku.

"Boleh nggak aku kerumah kamu?"
"Kapan?" jawabnya
"Sekarang yaa"
"Jangan sekarang, aku masih belum siap untuk menerima kedatanganmu," tolaknya secara halus.
"Terus kapan lagi," timpalku.
"Yah kapan-kapan aja, khan masih banyak waktu"

Akhirnya kuakhiri pembicaraan kami dengan janji suatu saat aku akn menghubunginya kembali.

*****

Setelah lewat waktu dua minggu, aku akhirnya ingat untuk menghubunginya kembali.

"Hallo, sapa nih?" jawabnya.
"Aku.." jawabku sekenanya.
"Oh kamu toh," lanjutnya.
"Masih inget apa nggak?"tanyaku.
"Ya terang dong masih inget"

Dan akhirnya pembicaraan kami mulai menghangat lagi sampai kurang lebih hampir setengah jam lamanya, sampai telingaku terasa panas kena handset telepon. Namun begitu obrolan yang kian menghangat masih kuteruskan.

"John, punyaku sudah berdiri nih dengar ceritamu"
"Ah masak gitu aja buat kamu berdiri," tanyanya.
"Iya nih," lanjutku, "Bolehkan aku kerumahmu yaa, sekarang ini"
"Ok, tapi dengan syarat kita hanya ngobrol-ngobrol aja lho," kemudian lanjutnya, "Aku nggak mau kalau kita main, aku belum siap"
"Ok, deh," jawabku, "Tapi nggak tahu lho kalau keterusan yaa," godanya.

Setelah telepon kututup, akupun segera mengambil motorku yang segera kupacu ke arah rumahnya yang tidak seberapa jauh dari rumahku yang mungkin kurang lebih sekitar 5 km, yang kutempuh tidak terlalu lama.

Setelah dekat dengan alamat yang diberikan, hatiku jadi deg-degan karena selama ini walaupun sering kontak lewat telepon tapi kami belum pernah bertemu muka. Ketika kuketuk pintunya, ternyata yang muncul adalah seorang pemuda yang berbadan cukup jangkung karena memang badannya tidak berlalu besar, yang tersenyum dengan ramahnya.

"Ayo, masuk"
"Thanks," kataku

Setelah mengambil tempat duduk diruang tamunya yang hanya digelari sebuah karpet sehingga kami berdua duduk secara lesehan aja, dan itu justru membuatku santai tanpa harus bersikap formil terhadapnya.

Kami mengobrol sini sana dan saling mengajukan pertanyaan dari diri kami masing-masing yang memang belum diketahui, sampai akhirnya nggak tahu aku sengaja atau tidak kutepuk bahunya yang kebetulan dia sedang duduk membelakangkiku. Ada rasa terkejut pada dirinya, tapi tidak ada komentar atau nada protes yang keluar dari mulutnya. Padahal sebelumnya aku sudah berjanji untuk tidak melangkah lebih jauh lagi selain hanya mengobrol saja.

Sampai akhirnya kuelus lembut punggungnya dari atas kebawah, dia tetap diam saja. Dan kuulangi lagi, bahkan tanganku lebih nakal lagi yaitu dengan menyusup ke dalam leher kaosnya ke arah tenguknya. Dia kelihatan menggelinjang dan bahkan mulai menikmati setiap rabaanku didaerah cuping telinganya. Dan kudengan suara desisan keluar dari mulutnya dan akhir..

"Aduh, Mas.. Aku nggak tahan nih!"
"Ayo kekamarku aja"

Sambil dia mulai bangkit berdiri dari tempat duduknya menuju ke arah kamarnya yang kuikuti dari belakangnya. Dan tanpa komando dia langsung menggeletak ditempat tidurnya sambil telentang dengan mata yang terpejam dan mulut menggangga menantikan seranganku.

Akhirnya kusergap dia yang sedang telentang dan kuciumi mulai dari cuping telinganya bagian belakang, leher bagian belakangnya ke arah hidungnya dan sejenak beradu hidung dengan hidung dan terus turun ke arah bibirnya, kuteruskan kebawah lagi ke arah dagunya yang bekas dicukur sehingga kurasakan kasar-kasar enak yang menambah gairahku untuk mecumbunya lebih lagi. Kemudian aku turun lagi kelehernya sambil dia terus mendesis-desis seperti ular.

"Sss.. oohh, aduh Mas"
"Ahh.. Ooohh, sstt"

Sambil kujulurkan lidahku merayapi dadanya, tanganku mulai membuka satu demi satu kancing kaos yang dikenakannya dan sekalian kuangkat kaos itu melalui lehernya sambil terus kudengar erangannya yang tidak jelas itu. Terus dan terus kebawah menuju puting susunya kiri dan kanan dan kedada bagian tengah terus merosot sampai kepusarnya, dan kupermainkan sejenak lubang pusarnya dengan lidahku yang tidak henti-hentinya mejilat kekanan dan kekiri.

Setelah puas bermain dipusarnya maka tanganku meraba selakangannya yang aku rasakan sudah mengeras sejak tadi yang begitu terasa menonjol didadaku tadi akan tetapi aku berusaha untuk mengabaikannya karena aku ingin memberikan cumbuan yang maksimal kepadanya dan tidak ingin buru-buru untuk langsung kontak seksual.

Kuremas perlahan-lahan tonjolan itu dengan tangan kiriku dan tanganku juga berusaha untuk membuka kancing celana jeans warna birunya yang dikenakan siang hari itu, setelah berhasil membebaskan kancingnya makan tangan kananku mulai menarik ritsleting celananya kebawah sampai kulihat nyata tonjolan daging sebesar pisang ambon itu dan terus kulorot celananya sampai terlepas, tinggal celdalnya saja yang berwarna putih yang masih tertinggal. Walaupun begitu aku tidak ingin cepat-cepat untuk segera menikmati pisang ambon itu.

Kutelusuri pahanya dengan jilatan lidahku dari paha kanan dan paha kiri yang akhirnya jilatanku berlabuh dilipatan pahanya yang segaris dengan lipatan celdalnya, kujilati lipatan kiri dan kanan bergantian, sampai kurasakan tangannya menjambak rambutku dengan perasaan mesra dan membimbing kepalaku untuk segera berlabuh ditonjolannya itu.

Akhirnya kubuka juga celdal warna putih itu dan kulihat sebatang penis dengan warna kepalanya yang merah kecoklatan seperti jamur merang yang mengembang sedang berdenyut-denyut. Dan tanpa membuang-buang waktu segera lidahku menuju perbatasan antara kepala dan batangya yang aku rasa paling sensitif. Kurasakan dia menggelinjang, dan jilatan makin turun kebawah ke arah kantung buah pelirnya yang dua biji itu dan terus turun kebawah lagi ke arah perbatasan dengan lubangnya. Dan

"Aaauuhh.., enak Mas, ayo terus Mas"
"Aaahh.. Ssstt"
"Ayo Mas, aku nggak tahan, cepat masukan punyamu ke lubangku"

Lalu kuambil ludahku untuk membasahi punyaku yang memang sudah sedari tadi berdiri tegang dan kulihat diujung penisku sudah ada cairan bening. Lalu pelan-pelan kumasukan batangku ke dalam lubangnya dan kudengar nafas tertahan untuk sejenak dan kuhentikan untuk sementara waktu agar dia bisa merasakan sakitnya menghilang.

Kemudian kupacu masuk keluar dan maju mundur sambil tangannya mengocok penisnya sendiri.

"Aaahh.. Aduh Mas, aku mau keluar nih"
"Sorry yaa, aku keluar duluan," katanya.
"Enggak pa-pa, aku juga mau sampai nih," kataku.
"Aaahh," crut crut crut air maninya tumpah diatas perutnya dan tak berapa lama lagi.
"Ohhaahh"

Kutarik cepat penisku dan aku telungkup memeluknya sambil kupancarkan air kenikmatanku diatas perutnya juga sehingga air maninya dan air maniku bercampur menjadi satu sambil kugesek-gesekan dan masih kurasakan sisa-sisa kenikmatan itu yang baru kita peroleh hampir bersamaan.

Setelah selesai dan saling mengelus dada masing-masing, aku akhirnya lari kekamar mandi untuk membersihkan badan dari keringat yang terasa lengket dan setelah selesai diapun juga kekamar mandi yang sama juga untuk membersihkan badannya yang berlepotan dengan pejuh kami itu.

Setelah dia berpakaian kembali kami akhirnya duduk diruang tamunya sambil diselingi obrolan ringan, rupanya setelah dia mandi tidak memakai celana jeansnya lagi melainkan ganti dengan celana pendek warna putih yang dari sela-sela selakangannya terlihat celana dalam warna putihnya tadi. Rupanya tanganku yang nakal tidak bisa tinggal diam melihat pemandangan seperti, lalu mulai kuelus-elus pahanya yang ditumbuhi rambut yang tidak seberapa lebat dan terus ke atas lagi menuju daerah lipatan pahanya dan kudengara desisnya kembali.

"Aaahh, oohh"

Dan kuraba selakangannya, ternyata penisnya sudah menggeliat bangun lagi dan kurasakan makin lama makin kaku saja. Seolah-olah makim membuatku bersemangat untuk terus mencumbunya lagi dan aku menemukan banyak sekali titik-titik sensitif ditubuhnya yang membuatnya makin terangsang. Sambil sekali-sekali dia tersenyum keenakan dengan mata yang terpejam.

Akhirnya kubuka lagi celana pendeknya dan kulihat batang penisnya yang begitu ngaceng mengeras melengkung mendekati pusarnya. Kugapai dan kumasukan dalam mulutku yang memang sedari tadi nggak pernah mau diem itu. Kumasukan kepalanya yang mekar dan kukulum, kukenyot benjolan kepalanya dan akhirnya kumasuk keluarkan dengan irama yang pasti.

"Aaaoohh, aauuhh"
"Opo iki yoo sing diarani surgo donyo yaa"

Aku diam saja, sambil terus melanjutkan aktivitasku yang masih belum selesai hingga akhirnya.

"OOhh Mas, aku mau keluar nih"

Makin semangat aku mengulumnya sampai kurasakan denyut-denyutan dari penis yang kuhisap dan ada rasa hangat, asin, manis, amis tapi semuanya itu kusukai dan kutelan habis semuanya. Ketika kudongakkan kepalaku untuk melihat reaksinya, hanya kulihat sebuah senyum dengan rasa puas dan dia membisikkan kata,

"Dari mana kamu belajar semuanya ini"
"Kamu koq pinter membuatku puas, padahal selama ini kalau aku bermain dengan pasanganku aku nggak seterangsang kali ini, sebab biasanya aku selalu aktif mencumbui pasanganku dan kadang aku merasa bosan dan aku juga pengin dicumbui kayak kamu tadi dan pengin dimasuki juga"
"Trims yaa, kamu sudah membuatku mendapatkan apa yang kuangan-angankan selama ini"
"Hmm," hanya gumanku saja yang menjawab segala komentarnya.
"John, kamu nggak menyesal yaa, karena aku telah mengingkari janjiku untuk tidak bermain sex denganmu pada awal pertemuan kita"

Kulihat hanya senyumnya saja yang membalas pertanyaanku, dan aku sudah bisa menebaknya bahwa dia sangat enjoy dengan permainan yang barusan kita lakukan. Berapa saat kemudian aku pamit sama dia.

"Ok John, aku pulang dulu yaa!" kataku
"Boleh nggak aku mengulanginya lagi," lanjutku.
"Yah gampanglah kalau aku lagi pengin dengan gaya permainanmu, aku akan menghubungi kamu lagi," dengan senyumnya yang khas.

Dalam perjalananku pulang aku masih terbayang pamainanku dengan Johny tadi dan kataku dalam hati.

"Suatu saat nanti aku akan memberikan surprise buat kamu dengan permainanku yang lebih seru lagi"

Walaupun dalam hati aku tidak ingin memiliki Johny sebagai pasanganku karena aku tahu dia sudah mempunyai pasangan tetap yang begitu setia dan juga pencemburu. Hanya sebagai selingan didalam mengisi hari-hari yang menjemukan dan terasa begitu panjang untuk dilalui seorang diri.

Tapi kalau namanya Backstreet pasti enak dan berkesan, tull apa nggak?

Apakah aku ini termasuk tipe penggoda atau apa yaa?

Minggu, 20 Juni 2010

Pertemuan pertama

Sebenarnya pertemuan kami tidak disengaja. Saya diundang oleh bekas teman kuliah saya untuk bersantai semalam di sebuah pulau pribadi keluarganya di wilayah Kepulauan Seribu.

Kami berdelapan (dengan empat wanita) dan seekor anjing Papillon kecil yang cerewet bernama Tania, kemudian berjanji untuk bertemu di galangan Marina Ancol pada hari Sabtu pagi itu.

Teman saya Elena, kemudian datang bersama pembantu setianya (yang hendak kami uji kehandalan memasaknya) beserta satu orang supercute yang sebelumnya ternyata sempat "mengacak" jambulnya seperti Delon dalam Indonesian Idol.

Pria itu berwajah oriental dan berdandan necis seperti layaknya warga New York City yang hendak berlibur dan bersantai di daerah ekslusif the Hamptons atau Long Island.

"Joko, ini kenalin adek kelas gue waktu masih SMA.."
"Halo, Kristo.." ujarnya singkat sembari memperkenalkan namanya.
"Hi, Joko.. Teman kuliah Elena dulu di DC" saya menjawab

Gayanya fresh sekali Kristo ini. Wajah putih bersih dengan senyum yang menawan.

"Joko, karena kamu yang paling sabar.. Aku minta kamu nanti banyak nemenin si Kristo ini ya.. Maklum sudah sepuluh tahun di London dan baru saja kembali ke tanah air, jadi bahasa Indonesianya harus dilatih kembali ya.." ujar Elena kecentilan dengan gaya socialite muda Jakarta layaknya.

Entah mengapa saya tidak berkeberatan mendapat tugas mulia itu.

Separuh tamu yang diundang itu belum saya kenal. Dan seperti biasa yang saya duga, teman-teman Elena ini tentu saja berasal dari keluarga-keluarga yang berpengaruh di bilantika Ibukota ini (oke, mungkin termasuk saya sendiri juga sih).

Perjalanan ke pulau yang memakan waktu sekitar empat jam ini kami isi dengan canda tawa dan catching up bersama teman-teman yang kebetulan sudah lama tidak berjumpa. Kristo nampaknya agak bingung mengikuti pembicaraan awal kami karena keterbatasan bahasa-nya, keningnya mengerut setiap kali ia menemukan kalimat yang tidak begitu ia pahami. Selanjutnya kami memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan dalam bahasa campur-campur (alias mix Indo-English) agar pembicaraan tetap renyah tetapi tetap dapat diikuti oleh Kristo.

Setengah perjalanan berlalu Kristo kemudian bangkit dan beranjak ke buritan yacht kecil itu. Dengan gugup ia menggenggam pagar pelindung sembari nampak kesulitan bernafas.

"You okay Kris?" saya memutuskan untuk menemaninya setelah beberapa saat memperhatikannya dari area duduk.
"Um, not really, I got sea sick so easily.. Apa itu istilahnya.. Mabuk laut?"
"Oh saya kira kamu ngga bisa berenang sehingga tampangmu pucat ketakutan begitu.."

Ia berusaha tersenyum kecut menahan rasa mualnya.

"Sebentar saya ambilkan obat ya.."
"Okay.."

Kemudian saya menyerahkan obat dan jemari kami bersentuhan sejenak ketika gelas air dingin itu berpindah tangan. Ia tersenyum kecil yang membuat saya blingsatan dengan aura yang ia pancarkan. Damn, apa maksudnya itu?

Untunglah ia tidak sempat muntah karena mabuk laut ketika kami merapat di pulau yang hanya diisi satu bungalow itu. Wajahnya segera berseri karena penderitaannya sudah usai.

Makan siang ayam bakar kecap begitu nikmat sekali disajikan oleh Mbak Yusi diselingi buaian ombak dan musik lounge yang menghiasi ruang santai bungalow itu. Kami memutuskan untuk berleyeh-leyehan selama dua jam dengan bermain kartu sebelum memutuskan untuk berenang di air bening yang berwarna biru cerah itu. Suasana sangat tenang tanpa terganggu suara motorboat dari manapun juga.

Tiba-tiba pandangan saya terpatri pada Kristo yang menghampiri saya dengan hanya mengenakan sebuah celana basket tipis berwarna putih (seperti celana renang remaja Amerika). Aduh, ngaco sudah pikiran saya. Mengapa terlihat sexy sekali dia? Tubuhnya putih bersih dengan keringat yang membuat perutnya yang six-pack itu berkilauan cahaya mentari.

Dan ketika ia melambaikan tangannya ke arah ujung dok dimana saya sedang memancing itu, rokok yang menggantung di ujung bibir saya hampir saja terjatuh. Bebuluan hitam kelam yang lebat terlihat sangat kontras pada tubuhnya yang sangat putih itu. Ah, putingnya yang berwarna merah muda itu seakan siap saya santap sebagai hidangan penutup. (Ya ampun, berilah aku kekuatan untuk bertahan)

Tiba-tiba wajahnya berubah nakal, saya tahu maksud seringai serigalanya itu. Baru saja ketika saya siap untuk berdiri, ia kemudian berlari menghantam punggung saya, mengalungkan kedua lenggannya dari punggung saya dan dengan beban tubuhnya mengayun kami berdua terjun bebas dari dok kayu tersebut.

"Sialan Kristoo!!" aku berteriak terkejut.

Untung saja dompet dan HP-ku sudah aku tinggal di bungalow tadi. Para tamu lainnya ikut berlari ke arah tempat saya memancing tadi dan mereka kini terpingkal-pingkal menyaksikan adegan tadi yang membuat saya kini sudah berada di laut yang tenang itu bersama si imut (tetapi sialan) Kristo.

Tidak berapa lama kemudian saya merasakan seseorang memeluk pinggang saya dan berusaha menenggelamkan saya. Oh, belum selesai rupanya kejutan Kristo tadi? Mau main fisik, oke lah saya balas sekarang.

Beberapa menit berlalu dengan suara kecipak air yang ramai karena kami berusaha saling menenggelamkan satu sama lainnya sampai kami sendiri kehabisan nafas. Tamu-tamu lainnya sudah mulai mengolesi sun-screen pada tubuh "dewa-dewi" mereka sebagai asuransi dari sengatan mentari yang dapat merusak "kecantikan" mereka.

"Look at them.." saya mengarahkan pandangan Kristo
"Katanya mau ke Pulau tapi ga ada yang mau basah, gimana sih?" lanjutku.

Kristo kemudian menghampiriku dan (sekali lagi) memelukku sambil berbisik di telingaku, "Oke bagaimana kalau kita ambush saja mereka dan kita lempar mereka ke air?"

Wajahnya hampir menempel pada wajahku. Hembusan nafasnya yang masih terengah-engah menyeka kulit pipiku. Aku hanya bisa tersenyum saja memandang wajah manis itu.

"Oke, kita sok santai-santai saja berenang ke tangga dok itu.."
"Naik dan kemudian kita kejutkan mereka?" lanjutnya bertanya.

Ketika saya hendak beranjak berenang ke arah dok, pelukannya belum mau ia lepas dari tubuh basahku ini.

"Tunggu.. Sehabis itu we'll make them.." ia kembali membisiki telingaku.

But wait a minute. Apa itu? Saya merasakan batang zakarnya mulai mengeras pada permukaan paha kiri saya. Apalagi dengan terombang-ambingnya kami pada permukaan air yang menyebabkan tubuh kami harus saling menggesek.

"Oke-oke, buruan dong, sekarang?" saya mulai risih pada kedekatan tubuh kami yang entah mengapa sepertinya sangat menggoda birahiku.
"Oke go!" ia mendorong saya.

Sialan (sekali lagi). Tangan kanannya ternyata sempat menggenggam celana renang saya dari belakang sehingga ketika saya bertolak menjauh. Lepas sudah celana renang Speedo ala cowo-cowo Japonaise yang memang hanya selebar daun kelor itu.

Sumpah, antara malu dan ingin cuek. Saya sekarang tidak mengenakan sehelai benangpun di perairan yang jernih itu!

Kristo segera berenang menjauh sembari melambai-lambaikan Speedo saya sebagai tanda kemenangannya. Hal ini tentu saja dinikmati dengan seksama terutama oleh wanita-wanita sok jaim tersebut. Mereka mulai berdiri di pinggir dok mengamati apa yang akan saya ataupun Kristo lakukan selanjutnya.

"Ok, kalau ini yang ia inginkan. Let it be dah!" Ujar saya dalam hati.

Dengan santai saya meneruskan perjalanan saya hingga ke dok kayu itu. Saya rasakan seluruh tatapan mata menelanjangi tubuh saya (yang memang sudah telanjang itu) yang kini berusaha menaiki tangga tersebut.

Mungkin tubuh saya yang kecoklatan dan boleh dibilang kekar ini terlihat seperti jelmaan putra dewa laut sehingga mata-mata itu terbelalak dan tidak beranjak dari tubuhku.

Dengan santai aku berjalan ke arah mereka. Aku rasakan kepala zakarku yang sebesar buah tomat itu (walaupun masih "tertidur") mengayun seiring langkahku ke arah mereka. Dan ketika aku sampai pada area mereka berjemur itu, (seperti yang aku harapkan), seluruh pandangan terpusat pada wilayah kelelakian saya.

"Oke, puas?" Tanya saya pada mereka sembari melebarkan kedua lengan seperti si Jack dalam film Titanic.
"Wow, Joko, umm, I didn't know yours are soo.. Ehm, big" balas Wanda, si empunya Tania yang juga ikut menatap tubuh telanjang saya.
"Aduh, jeng, elo emang ketinggalan zaman. Masak ga pernah denger sih tentang
"Legenda Joko" yang santer seantero Jakarta itu?" timpal Ana, kawan saya yang lain.
"Lho emang kamu udah pernah tidur dengan Joko?" tanya Wanda
"Aduh dasar kuper, Joko ini playboy kelas wahid yang hobinya gonta-ganti pacar model atau pramugari Jeng.."
"Shh.. STOP.. STOP..! Orangnya masih di sini udah digosipin. Dasar ibu-ibu arisan!" teriak saya.

Mereka semua tergelak dengan riuh rendahnya. Perlahan-lahan pandangan para tamu pria mulai beranjak dari tubuh saya dan mereka mulai melanjutkan pembicaraannya masing-masing. Mungkin ada yang menjadi minder setelah menikmati pemandangan indah "size does matter" tadi.

"Dasar sombong kamu Ko.. Nih, pake.. Biar ga masuk angin.." seru Elena sembari melempar selembar sarung ke arah saya.

Tiba-tiba Kristo sudah berdiri dibelakang mereka dan seketika memberi kode kepada saya untuk mulai mendorong tamu-tamu malas itu ke arah air.

"Waa" dok itu menjadi ramai sekali sampai habis mereka kami dorong semua ke laut.
"Sukurin loe pada!!" teriak saya.
"Sorry guys, ini ide dia!" lanjut Kristo berteriak sembari menunjuk ke arahku.
"Enak aja loe!!" saya mencoba mendorong Kristo masuk ke laut lagi.
Anto yang sudah berhasil naik ke dok kemudian berlari ke arah kami mencoba menceburkan kami kembali. Kami sejenak bertatapan dan seringai jahanam Kristo muncul kembali. Kami berdua kini melangsungkan counter-attack dengan berlari ke arah Anto yang sekarang malah terkejut dan berlari berbalik arah.

"Byur!!" Anto berhasil kami "eliminasi".
"Hahaa.."

Mungkin tidak ada yang tahu pada saat itu bahwa saya membalas tatapan hangat Kristo yang bertahan hingga hampir dua detik. Saya langsung mengagumi tubuh indahnya yang putih bersih yang hanya ditutupi sehelai celana putih basah.

Sangking tipisnya celana itu, bebuluan hitam yang menjadi sarang burungnya nampak jelas dibawah garis penisnya yang tidak kalah menarik dari hasil cetakan basahnya celana tadi.

Saya kemudian membalikan badan karena merasa rish sendiri dan segera mengenakan sarung pemberian Elena takut nanti dikira yang bukan-bukan oleh para tamu lainnya.

Eh, tidak disangka, Kristo kini sudah berada disampingku, merangkulkan tangan kanannya pada pundakku. Berdua kami menatap manusia-manusia yang sok jaim tadi yang ternyata kini heboh sendiri dengan asyiknya laut yang hangat dan jernih itu.

"Bro, sorry yang yang tadi, gue gak kira celana renang lu bakal bener-bener lepas gitu.. Nih.." Tanpa risih ia mengambil celana renang mini-cooper ku itu dari lantai dok dan memberikannya padaku.
"Well, isn't that what you wanted anyway?" jawabku tersenyum ke arahnya. Mukanya kemudian memerah dan ia bergegas terjun ke air lagi.

Setelah ke-jaim-an masing-masing hilang, malam itu kami isi dengan karaoke (walaupun suara kami pas-pasan, kecuali suara Kristo yang empuk didengar), dilanjutkan main kartu dengan hukuman minum bagi yang kalah.

Karena Kristo belum familiar dengan aturan permainan kartu "lokal", sering sekali kami sengaja membuat peraturan-peraturan baru sehingga ia harus kalah. Dua jam kemudian terlihat bahwa ia mulai berbicara dan tertawa sekenanya, paling parah dari antara kami semua.

Permainan "truth or dare" kemudian digelar. Pertanyaan itu akhirnya jatuh kepada Kristo.

"Truth or dare. Kamu ga berani bilang perasaan kamu yang sejujurnya pada orang yang sedang kamu taksir!" ancam Roy.
"Dare!" Jawab Kristo.
"Oke coba! Siapa dan rencana kamu apa?" Tanya Jessica.

Kristo dengan sempoyongan berdiri. Kembali bergaya minimalis, alias hanya mengenakan celana Capri saja, tubuhnya yang kenyal dan berkeringat itu bergelimangan cahaya obor yang kami nyalakan.

Tawa mereka menggelegar kembali ketika menyaksikan Kristo yang sudah hampir mabuk itu mencoba berdiri dan merapihkan kemejanya (yang sebenarnya tidak ia kenakan).

"Oke listen to this, saya orangnya.. Engg.. Engga suka berbel.. It-belit, langsung aja ya: Joko! (jeda sejenak) Sejak pertama saya liat kamu di Jakarta tadi, saya sudah mulai naksir sama kamu!!" kemudian ia terkekeh-kekeh mengaharapkan sambutan yang meriah dari para tamu.

Tetapi apa dinyana? Ruangan berubah menjadi sunyi senyap. Bagaikan guntur yang menghabisi satu kampung, yang terdengar hanyalah suara jangkrik.

Maklumlah pemirsa, di zaman keterbukaan seperti sekarang ini, tetap saja hal-hal seperti ini mungkin masih dianggap tabu. Bahkan juga dianggap demikian oleh kaum elite berpendidikan luar negeri seperti teman-teman Elena ini.

"Eh, kamu mabok Kristo?" tarik Elena hingga Kristo hampir terjatuh pada lantai kayu itu.
"Gila kamu ya? Joko itu totally straight! Bulan lalu ia baru saja putus dari pacarnya. Saya mengajaknya ke sini agar ia dapat sedikit rileks dan melepaskan beban pikirannya. Sekarang apa-apaan kamu ini mempermalukan diri kamu, dan juga mempermalukan diri saya di depan teman-teman yang lain?"

Semuanya diam terpaku.

"Dan sejak kapan kamu berubah menjadi gay begini? Apa gara-gara kuliah di London?"
"Bukan Elena, saya memang dari dulu sudah begini, kamu aja yang gak notice! I'm your best shopping buddy remember? I understand your style, I know your colors. Mana ada cowo-cowo lain yang niat nemenin kamu belanja sampai berjam-jam keluar masuk butik?"
"But still gue ga rela.. Gue gak rela kamu jadi begini Kristo.. I thought you are one of my best friends.."
"I am still.." jawab Kristo lemah

Waduh, saya jadi merasa ngga enak dengan kejadian ini dan yang utama, saya merasa kasihan dengan Kristo yang pasti merasa terhakimi pada titik ini.

"Guys.. Guys.. Please let the poor guy calm himself first lah.." potong saya.
"Gini, saya yang menjadi "korban" di sini masak ngga ditanyai pendapatnya?".

Mereka mulai tersenyum kecil, dengan pengecualian Elena dan Kristo.

"Oke, pertama, jujur aja saya merasa sedikit geer dengan sambutan Kristo tadi. Begini, kalau cowo aja sampe merasa tertarik dengan saya, kan tidak menutup kemungkinan kalau para wanita juga mungkin merasa demikian juga."
"Oh shut up, dasar playboy kelas kakap!" balas Ana sembari membantu mencairkan suasana.
"Lho.. Lho bukan begitu Ana.. Gini deh, makasih atas kejujuran Kristo. Lagian kan tadi kita main truth or dare. Maybe that's the truth yang selama ini sesak menghantui Kristo, kan kita ngga tau. Atau mungkin alcohol sudah menguasai kesadarannya? Tapi sedikit tip buat Kristo aja nih, lain kali, sebelum "nembak" adain back-ground check dulu k'nape?"
"Hahaha.." Mereka kembali pada posisi santai.
"Ya udah.. Kita udah capek, udah malem eh udah pagi ini, mungkin sekarang kita istirahat dulu kali ya?"
"Sekarang gue mau ngomong mano-a-mano dengan Kristo yang kayaknya masih shock gitu. Wanda lu tolong tenangin Elena dulu ya. Oke yang lain boleh bubar. Kristo lu ikut gue sekarang.."

Ketika bisik-bisik mulai terdengar.

"Eh, jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu! Gue janji Kristo ga akan gue gebukin kok.. Dan yang pasti ga akan gue perkosa!"

Mereka kembali tertawa dan sebuah bantal melayang pada muka saya.

Kami berjalan menyusuri pantai. Kristo yang kini terlihat sama sekali tidak mabuk berjalan pelan di sebelah saya.

"I know that you weren't drunk dude.." saya memulai.
"How do you know?" Ia bertanya balik
"Saya sempat bekerja voluntir pada yayasan yang mengurusi alkoholisme pada remaja. I know the signs and the symptoms. Dan yang pasti saya tau kapasitas minum kamu pasti jauh lebih banyak daripada yang kamu tenggak tadi, benar kan?"
"Iya sih."
"Terus kenapa kamu pura-pura mabok? Agar mereka mau mengampuni kamu besok pagi?"
"Well, yea.. That's part of the plan.."
"Okay, I got three words for you"
"Well done buddy!"
"Lho?"
"Rencana yang hebat. Besok pagi kamu minta maaf kepada mereka dan juga kepada saya di depan mereka karena kamu mabuk dan tidak bisa mengontrol mulut kamu sendiri"
"Tapi.. That was the truth!"
"I know! Have you mistaken me for a fool?"
"Jadi?"
"Ga ada yang perlu tau kondisi kamu yang sebenarnya. At least tidak ada di antara kami ini yang perlu tau."
"Lalu kamu sendiri?"
"Maksudnya?" Tanya saya
"Ya gimana respons kamu terhadap pernyataan saya tadi?"
"Oh itu.. Sorry nih man, but I'm not gay."

Ia kemudian menghentikan langkahnya. Hanya suara deburan ombak yang terdengar. Sinar rembulan menerangi lembut butiran pasir yang terasa halus di kaki kami.

"Lho kenapa? What do you expect?" tanyaku.
"No, it's your right, I made a mistake I guess" timpalnya lemah.

Kemudian aku membalikkan badan menghadapinya. Tanganku menyeka rambut yang menutupi keningnya. Ia terbelalak melihat perlakuanku itu. Kemudian aku mengalunginya dengan lenganku.

"Dude, I don't know what I felt today. Sebenarnya saya juga tertarik sama kamu walaupun saya belum pernah merasakan hal ini sebelumnya terhadap sesama pria. Mungkin Tuhan telah memberikan kamu untuk menghibur saya yang baru saja ditinggal diam-diam menikah oleh wanita brengsek itu"
"Oh. Shit. Sorry, I didn't know that"
"Of course, there are a lot of things you didn't know about me. Terus kenapa kamu bisa naksir saya?"
"Kayaknya kamu orangnya baik, bijaksana dan tongkronganmu itu, gimana ya.., kayak yuppies abis. Kayaknya sukses dalam usahamu. Well, yang pasti sih ehm, gaya kamu itu gimana ya, macho abis, kayak pria Indonesia yang tulen dan gahar yang bisa bikin hamil cewe-cewe satu kampung!"
"Gelo sial Emang kamu mau jadi salah satunya?"
"Mm.." Ia tersenyum kecil.
"And your dick man, it was like soo huge man!"
"Ssh, nanti kedengeran sama yang lain gila!"

Waktu berlalu beberapa saat ketika kami terdiam.

"Dan.. Ehm, kamu sendiri juga imut banget kok.. Very nice ass. Hehe..".

Ctar!! Tepukan keras pada bokongnya terdengar membelah kesunyian malam. Kemudian kecupan yang hangat dan penuh cinta kububuhkan pada bibirnya yang tipis dan sexy itu.

Keesokan paginya benar saja, ia meminta maaf atas "kekacauan" yang ia perbuat di malam sebelumnya. Dan sesuai dengan permintaanku ia menyangkal semua perkataannya sendiri dan memutuskan bahwa untuk sementara tidak perlu ada yang tahu keadaan sebenarnya. Tetapi kebalikannya, ia sebenarnya tidak tahu bahwa ia sedang didekati seorang serigala berbulu domba (that would be ME).

Karena ukuran dan napsu maniak seks-ku yang besar, hanya beberapa wanita yang dapat benar-benar menikmati permainan handalku. Mungkin dari itu aku belakangan berpikiran untuk mencari seseorang yang benar-benar dapat menghargaiku apa adanya dan yang pasti ia harus dapat membalas keperkasaanku. Mungkinkah orang itu Kristo?

Dari situlah persahabatan kami berdua di mulai.
 

Sample text

Sample Text


ShoutMix chat widget

Sample Text