Social Icons

Sabtu, 23 Juli 2011

O


judul yang sangat unik nan sederhana, ’0′. Itulah bentuk anusku setelah disodok kontol oleh seorang pekerja toko bangunan. Ceritanya begini: Tepat di sebelah rumahku terdapat sebuah toko bangunan yang selalu men-supply debu ke rumahku. Bayangkan saja, setiap hari pasti akan ada kiriman debu. Tak heran sebab toko itu menjual pasir, batu bata, dan semua bahan bangunan yang kotor.
Satu-satunya hal yang baik adalah banyaknya para kekerja toko bangunan yang sering duduk di depan rumah ortu-ku. Seringkali saya berpura-pura berdiri di depan pintu hanya untuk melihat tubuh telanjang mereka yang berkilauan saat mereka sibuk menaikkan atau menurunkan barang-barang bangunan ke truk. Kontolku sering ngaceng berat! Dari antara semua pekerja hanya ada satu yang menarik perhatianku.
Tampangnya agak lebih tua dari yang lain. Tua di sini bukan berarti tua renta dan keriputan, melainkan dewasa. Mungkin umurnya sekitar tigapuluhan, terlihat macho sekali meskipun tubuhnya tidak kekar berotot. Yang paling kusuka darinya adalah tatapan tajamnya dan juga brewok tipis berumur 1 atau 2hari. Ah, seksi sekali!! Sungguh mengobarkan nafsu birahiku! Biasanya dia memakai kemeja usangnya dan topi (model topi sekolah) Di sekeliling topinya sering diselipkan saputangan, agak seperti topi tentara Jepang. Abang itulah sasaran utamaku! ;)
Pernah beberapa kali saya berpapasan dengannya saat hendak membeli sesuatu di warung. Dia sering kali menatapku tajam-tajam, seakan-akan ingin berkata, ‘Awas loe. N’tar gue ngentotin pantat loe!’ Tapi kami tak pernah saling bertukar sapa karena kami tak saling mengenal. Saya terus berusaha mencari kesempatan untuk mendekatinya. Akhirnya kesempatan itu pun datang!
Ortu-ku sedang pergi, hanya ada saya saja di rumah. Kesempatan emas untuk ‘menembak’ abang pekerja favoritku. Kebetulan dia juga sedang sendirian, duduk tepat di depan rumahku. Benar-benar kesempatan. Saya pun membuka pintu depan dan berpura-pura terkejut melihatnya. Untuk pertama kalinya, saya menyapanya.
“Wah, sedang istirahat, yah?”
Abang itu tidak berkata apa-apa, sepertinya malah agak terganggu karena baru saja kusapa. Tapi saya bersabar dan mencoba lagi.
“Abang pasti haus. Mau minum gak? Kebetulan di dalam ada air dingin. Kalau Abang mau, Abang boleh masuk kok. Kebetulan saya sedang sendirian dan butuh teman bicara.”
Mendengar bahwa saya sedang sendirian, matanya berbinar-binar. Namun rupanya dia memang tak suka berbicara sebab dia hanya mengeluarkan dehaman pendek yang berarti ‘ya’. Saya senang sekali sampai ingin melompat. Kupersilahkan abang ganteng itu untuk masuk.
“Sebaiknya kita ke kamarku saja. Lebih terasa enak daripada di ruang tamu,” alasanku. Abang itu menurut saja, matanya menatap ke setiap sudut rumahku. Sesampainya di dalam kamarku, matanya langsung tertuju pada layar komputerku yang masih menyala.
Memang sengaja kutinggalkan menyala agar dia bisa melihat koleksi foto-foto pria telanjangku. Saya berpura-pura kaget dan salah tingkah, agar dia tak curiga.
“Aduh, maafkan saya. Saya cuma iseng kok melihat gambar gituan. Biasa, penasaran.”
Tapi tiba-tiba Abang itu menutup pintu dan menguncinya. Tentu saja saya keheranan. Belum sempat saya bertanya, abang itu membalikkan tubuhnya dan langsung merobek kemejanya sendiri. Kancing-kancing kemejanya pun putus dan jatuh berserakan di lantai. Dadanya yang agak bidang terekspos, untuk kepuasan mata homoseksualku. Selanjutnya kemeja itu dia lepas dan banting ke lantai.
Saya kesulitan menelan air liurku, terangsang melihat tubuhnya yang indah. Memang dia tidak sekekar atlit, namun masih punya otot. Yang paling kugilai dari tubuhnya adalah sepasang putingnya yang keras dan berwarna coklat. Dan lagipula, dada bidangnya itu agak ditumbuhi bulu-bulu halus! Saya paling suka pria berdada berbulu. Aahh.. Jantan sekali. Sangat macho dan maskulin! Tak puas hanya dengan melepas kemejanya dan mempertontonkan dadanya, abang itu meraih celana panjangnya yang berdebu dan mulai melepasnya.
SROT! Celana itu terjatuh ke lantai. Dengan sensual, abang itu menarik-narik karet celana dalamnya. Beberapa detik kemudian, celana dalam itu juga dilepaskannya. Mataku terpaku pada kontolnya yang mulai hidup. Kontol bersunat itu mulai bangun dan menatapku balik. Lubang kontolnya serasa menantangku. Kini, berdiri bertelanjang bulat, abang itu mengelus-ngelus dadanya sendiri.
Bagai tersihir, saya pun segera melepaskan pakaianku. Mudah bagiku untuk melakukannya sebab saya hanya memakai kaus dan celana pendek saja (tanpa celana dalam). Kontolku yang dari tadi ngaceng melompat keluar dan memperkenalkan dirinya. Abang itu nampaknya puas melihat tubuh telanjangku. Tanpa bicara, dia langsung memelukku dan mulai menciumiku. Tingkah lakunya agak kasar dan sama sekali tidak romantis, tapi saya suka. Saya suka menyerahkan diriku padanya. Memang saya sudah bukan perjaka lagi; saya pernah dingentot cowok lain. Namun, pantatku masih perjaka dari kontolnya ;.
“HHOOH.. AAHH.. HHOHH..” Kudengar napasnya menderu-deru di telingaku ketika dia sibuk menciumi dan menjilati mukaku. Kontolnya mulai melelehkan precum dan mengenai tubuh bagian bawahku. Kontol kami saling beradu saat kami saling mencium dengan liar. AAahah.. Belum pernah saya bertemu dengan pria yang bernafsu sekali seperti abang itu.
SLURP! SLURP! Bunyi suara mulutnya saat dia menyedot-nyedot lidahku. Kemudian, di antara deru napasnya, dia pun berbicara.
“OOHH.. Gue doyan cowok Cina.. HHOOHH.. Putih, halus, mulus.. HHOOSSHH.. Kayak loe.. AAHH.. Gue ngaceng berat nih.. AAHH.. Mau ngentotin loe.. HHOOHH..”
Tangannya yang kuat meremas-remas dada, perut, dan putingku. Dia benar-benar sangat menikmati tubuhku, dan saya pun lega dia suka. Tak lupa kuremas balik dadanya seraya memegang-megang putingnya. Aahh.. Keras sekali. Ingin rasanya kujilati puting itu.
“AAHH.. OOHH.. UUHH..” erangnya.
“Hhohh.. Aahh..” desahku saat kubiarkan dia memelukku lagi. Lalu kini gantian saya yang berbicara.
“Oohh.. Yaa.. Gue pengen dingentot.. Aahh.. Gue pengen berhomoseks ama abang.. Oohh.. Tolong ngentotin gue, Bang.. Hhoosshh.. Kontol abang.. Aahh.. Gede sekali.. Gue suka kontol.. Aahh..”
Sengaja kujilati leher dan telinganya. Reaksinya, sekujur tubuhnya seakan-akan tersengat listrik.
“Oohh.. Gue suka badan abang.. Oohh.. Gue mau menyepong kontol abang.. Aahh.. Boleh kan?”
Tanpa bicara, abang itu mendorong tubuhku turun. Dengan senang hati, saya berlutut dan menyembah kontolnya. Bagiku kontolnya sangat indah sekali. Kepalanya besar dan mengkilat bagaikan buah ceri. Batangnya yang panjang nampak kokoh, menyatu dengan tubuhnya. Sedangkan kedua bola pelernya menggantung-gantung dengan sensual. Ah, saya tidak tahan lagi. Saya harus mencicipi kontolnya! Tanpa takut ataupun ragu, kupegangi bola pelernya dan mulai kuperas-peras seraya kutarik-tarik. Saya bayangkan bahwa bola pelernya seperti pegangan pompa air. Jika saya menarik bolanya, maka kontolnya akan menyemburkan pejuh segar untukku.
Abang itu mendesah-desah keenakkan saat kuremas-remas bola pelernya. Kepalanya ditengadahkan dan matanya terpejam rapat-rapat, menikmati sentuhan tanganku yang hangat. Berhubung kepala kontolnya nampak sangat menggoda dan indah, sebelum kusedot, saya mencium-cium kepala kontol itu terlebih dahulu. Baru kemudian, kutelan kontolnya, seluruhnya.
“AAMM..”
SLURP! SLURP! Rasa precumnya langsung menyerang lidahku, asin-asin nikmat. Saya berusaha menjilat-jilati bagian bawah kepala kontolnya dan memastikan bahwa dia mengerang lagi. Kemudian, kumain-mainkan lubang kontolnya. Kontolnya terangsang dan lebih banyak precum dikeluarkan.
“Aahh.. Oohh.. Yyeess.. Sedot terus.. Aahh.. Sedot kontol gue.. Aahh.,.. Hhoosshh.. Sedot terus.. Aahh.. Jangan stop.. Aahh.. Loe hebat banget.. Aahh..”
Menyedot kontol memang bukan masalah sebab saya sudah sering menyedot kontol cowok. Saya memang sangat memuja kontol. Bahkan di laciku ada sebuah dildo (kontol palsu) yang sering kucium sebelum saya tidur. Dari semua kontol yang pernah kusedot, kontol abang itulah yang paling enak! Kepalanya pun terasa licin dan enak di lidah. Apalagi dia baik sekali, menghadiahkanku precum banyak sekali. Saya sampai kewalahan menyedot precumnya. Enak banget.
“MMPPHH.. MMPPHH.. MM..” Saya hanya mampu bersuara seperti itu, dengan kontol abang itu menyumbat mulutku. SLURP! SLURP!
Abang itu mengerang semakin keras dan dia mulai ingin mengendalikan permainan. Kini dialah yang pro-aktif. Kontolnya disodok-sodokkan ke dalam mulutku seperti gerakan orang ngentot. Namun saya bersikeras untuk menyedotnya, maka pertarungan pun terjadi. Mulutku sering kali bertabrakkan dengan kontolnya. Dia ingin mengentot mulutku dan saya ingin menyedot kontolnya. Sampai akhirnya dia pun tiba pada puncak kenikmatannya.
Dengan melenguh panjang bak kerbau, kontol abang itu mengembang dan mulai menembak-nembakkan pejuh ke dalam mulutku. CCRROOTT!! CCRROOTT!! CCRROOTT!! CCRROOTT!! Langsung saja kusedot dan kutelan semua pejuhnya itu. Mm.. Sungguh nikmat! Pejuh terlezat yang pernah kutelan. Rasa asin, pahit, dan manisnya bercampur dan terasa pas di lidah. CCRROTT!! CCROOTT!! Sementara itu, abang itu terus saja mengerang-ngerang sampai pejuhnya habis terkuras di dalam mulutku.
“AARRGGHH!! UUGGHH!! ARRGGHH!! OOHH!! AARRGGHH!!” Tubuhnya terkulai lemas, namun masih sanggup berdiri. Setelah kontolnya bersih kujilati, baru kulepaskan kontolnya dari mulutku. Setetes pejuhnya menempel di bibirku namun langsung kujilat habis. SLURP!
“Abang masih kuat? Sebab gue masih belum dientot dan gue kepengen banget dientot. Ayolah, Bang. Ngentot yach?” mohonku sambil menunggingkan pantatku dan memain-mainkan lubang anusku dengan jariku.
Saya merasa sangat rendah seperti pelacur, namun saya tak dapat menyangkal hasrat birahi homoseksualku untuk abang itu. Pokoknya abang itu harus menancapkan kontolnya di anusku! Abang itu hanya tersenyum mesum melihat kelakuanku. Lalu tanpa bicara, dia langsung menarik tubuhku.
Sebelumnya saya sedang menungging dengan pantatku menghadap wajahnya. Abang itu menarikku ke arahnya, tepat ke kontolnya! Kontol abang itu besar sekali, tapi saya tidak takut. Malah saya mengharapkan kontol itu untuk merusak anusku. Saya ingin disodomi! Saya ingin dingentot! Saya ingin berhomoseks! Ngentotin saya! Dan abang itu pun mengentotin pantatku.
Sambil memelukku dari belakang, abang itu menusuk-nusuk lubang anusku dengan kontolnya. Butuh beberapa saat sampai kontolnya akhirnya berhasil masuk dan membenamkan dirinya. PLOP! Aahh.. Hangat sekali kontolnya. Abang itu meraba-raba tubuh bagian depanku, terutama dada dan putingku. Tak lupa juga dia mengerjain kontolku yang sudah belepotan precum. Kami terbakar nafsu dan kami akan segera terbakar hangus.
“AARRGGHH!!” erangku saat dia mulai menggenjot pantatnya.
“AARRGGHH!! AAHH!! sakit sekali, Bang! AARRGGHH..!! Ayo, terus! AARRGGHH!! ngentot yang keras.. AAHH.. OOHH!!” Meskipun sakit, kupaksakan diriku karena saya memang butuh kontol.
“AARRGGHH!! UUGGHH!! OOHH!!”
Eranganku semakin menjadi-jadi saat abang itu semakin membabi-buta dengan ngentotnya. Lubang anusku dipaksa untuk mengakomodasi kontolnya yang gemuk. Belum pernah ada kontol sebesar itu masuk menginvasi anusku.
“AARRGGHH!!” erangku lagi.
“Oohh.. Aahh.. Hhoohh.. Oohh.. Hhoosshh..” napas abang itu menderu-deru seperti banteng ngamuk.
Matanya tertuju pada punggungku, serius sekali. Wajahnya sedikit meringis menahan rasa sakit akibat kontolnya harus dipaksakan masuk ke lubang sesempit anusku. Namun dia juga puas dan memaksakan dirinya. Kontolnya terus menerus memompa lubangku bagaikan kerja mesin yang tiada henti. Seiring dengan sodokannya dia selalu menyuarakan erangannya.
“AARGGH!! AARRGGHH!! AARGHH!! AARRGGHH!!” Cairan precum semakin banyak dikeluarkan kontolnya, melumasi jalan masuk ke anusku. Kontolnya kurasakan berkedut-kedut dengan gairah.
“Aahh.. Oohh.. BANGSAT! aahh.. Ketat banget pantat loe.. Aahh..”
Dengan memegangi pundakku, abang itu menyodomiku makin keras. Semakin lama, tubuh kami saling terguncang akibat sodokan kontolnya yang maha dahsyat.
“AAHH..”
Syaa terpaksa harus mengocok kontolku sendiri karena abang itu telah berhenti mengerjai kontolku. Tanpa ampun, saya remas dan saya kocok kontolku, memaksaku untuk ngecret secepat mungkin. Nafsu birahiku semakin tinggi dan terlihat apd akontolku yang semakin ngaceng. Rasanya nyaris sakit, sebab kontolku butuh pelepasan dengan ngecret.
“AARRGGHH!!” erangku.
“Ngentot terus.. AAHH.. OOHH.. Ngentot! aahh.. Negntot terus! oohh..!!”
Kontolku mulai berkedut-kedut, pertanda orgasmeku mendekat. Demikian pula dengan kontol abang itu, juga mulai berkedut-kedut. Kami akan ngecret!
“AARRGGHH!! BANGSAT! Gue bakal ngecret! AARRGGHH!! Terima pejuh gue!! AARRGGHH!!” Dengan itu, abang itu pun mendorong kontolnya sedalam mungkin dan terjepit di dalam tubuhku.
“AARRGGHH!!” Kontolnya akhirnya meledak, memuncratkan pejuh berliter-liter.
CCRROOTT!! CCRROOTT!! CCRROOTT!! Sementara itu, dia terus-menerus mengerang-ngerang dan menggeliat-geliat, mirip orang kesakitan.
“AARRGGH!! UUGGHH!! OOHH!! AARRGGHH!! UUGGHH!!”
Sungguh pria yang sangat jantan, pejuhnya terasa sangat penuh sampai-sampai saya merasa seakan-akan pejuhnya akan keluar lewat hidungku. Rasanya pun hangat; sekujur tubuhku menghangat dan rasanya sungguh nyaman.
Lalu tibalah giliranku..
“AARGGHH!!” Tubuhku mengejang-ngejang seperti kuda liar lalu kontolku memuntahkan isinya. CCRROOTT!! CCRROOTT!! CCRROOTT!! Pejuhku muncrat banyak sekali, membasahi tubuhku dan juga lantai.
“AARRGGHH!! UUGGHH!! OOHH!! AARRGGHH!!” Orgasme menyiksa tubuhku dan saya harus menggeliat-geliat, menahan kenikmatan.
Abang itu lengah dan kontolnya pun terlepas. PLOP! Seiring dengan itu, banjir pejuh langsung mengalir dari luabng anusku yang menganga. Bayangkan saja tampangku pada saat itu. Pejuh keluar dari kontolku dan lubang pantatku. Lantai kamarku kotor sekali. Saya lalu terjatuh ke lantai, lemas sekali. Tubuhku bermandikan keringat dan pejuh. Sementara itu abang ganteng itu menundukkan badannya dan menciumiku. Tangannya menepuk pantatku. Kudengar dia bersiul.
“Wah, lobang pantat loe menganga terbuka, kayak angka nol.” Dia pun tertawa dengan leluconnya sendiri.
“Abang suka ama lobang pantat gue?” tanyaku, membalikkan tubuhku dan memandangnya.
Astaga, saya berharap saya dapat menjadi kekasihnya. Tubuhnya, wajahnya, suaranya, dan kontolnya, semuanya saya suka. Namun apakah dia akan mencintai seorang cowok Cina seperti diriku? Kontolku kembali berdiri dan berkedut-kedut saat pikiranku melayang membayangkan abang itu dan saya naik ke atas ranjang pelaminan sebagai sepasang pengantin homo.
“Ya, Abang suka banget ama loe. Dan kalo boleh, Abang pengen ngentotin loe lagi,” katanya, menciumi leherku dengan bernafsu.
“Astaga? Lagi?”, pikirku. Namun saya senang, akhirnya saya menemukan pria yang bisa mengimbangi nafsu seks-ku. Kami berdua sama-sama suka berhomoseks. Dan kami pun kembali ngentot. AARRGGHH!! Kurasakan lubang pantaku semakin besar, di-bor oleh kontolnya. Kuharap anusku bisa sembuh dan tidak menganga seperti angka 0 untuk selamanya :)

Rabu, 20 Juli 2011

Love is Life

Namaku Ananda Syahriar Prasetya, umurku sekarang 16 tahun. Aku terlahir dalam keluarga yang sederhana tetapi berkecukupan. Ayahku bekerja sebagai karyawan swasta di salah satu perusahaan di luar kota, dia pulang setiap 3 minggu, dan tinggal dirumah selama 1 minggu. Sedangkan ibuku bekerja sebagai ibu rumah tangga, mengurus segala keperluan rumah.
Aku memiliki tubuh yang lumayan tinggi yaitu 168 cm, tapi aku memiliki kulit putih dan kata orang wajahku cakep juga loh (:ngakak). Aku juga memiliki 2 orang sahabat, perempuan dan laki-laki, bernama Mayang Asyifa Nurdila dan Rivan Rishandi Akbar. Mayang memiliki tubuh yang ideal, tingginya sekitar 167 cm, berwajah cantik, berambut panjang, berkulit putih dan bertubuh langsing, tak heran banyak cowok yang tergila-gila padanya. Sedangkan Rivan, dia memiliki tinggi 172 cm, bertubuh agak kurus, berkacamata, dan memiliki wajah yang lumayan cakep dan berkulit sawo matang. Kami bertiga sudah berteman sejak kami masih TK, dan rumah kamipun berjejer. Sehingga hampir setiap hari kami bermain bersama. Kamipun sekolah di SMA yang sama. Sekarang kami sudah akan menginjak ke kelas XII. Aku dan Mayang berada di kelas yang sama yaitu XII IPA 1, sedangkan Rivan berada di kelas XII IPA 3. Jarak kelas aku dan Rivan berdekatan.
Langsung mulai aja ceritanya. Check this out!
Pagi itu suara ayam berkokok, membangunkanku dari tidurku yang lelap. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 05.00 WIB. Aku beranjak dari kasurku dan kuraih gagang pintu kamarku, ketika pintu berhasil dibuka, tercium aroma yang sungguh menggugah selera. “Hmm…bau apa ini, enak sekali,” kataku dalam hati. Aku menghampiri sumber bau tersebut, ternyata dugaanku benar, itu adalah aroma dari masakan ibuku. Ibuku memang pandai memasak. Kulihat masakan ibuku di atas meja makan. Ternyata ibu memasak nasi goreng keju. “Kamu sudah bangun nak?“ suara ibuku membuyarkan lamunanku yang datang tiba-tiba dari dapur. “Ya, ma,” jawabku. “Ya udah, sholat dulu sana, terus mandi dan ganti baju. Ibu masak special nih pagi ini,” ibuku sambil tersenyum manis. “Tumben mah masak nasi goreng keju?” tanyaku heran. “Ya, sekali-kali kan ga apa-apa,”. “Makasih ya mah,”. “Iya iya, udah buruan mandi sana”.
Seusai mandi, sholat, ganti baju dan sarapan, aku berpamitan kepada ibuku. “Mah, Nanda berangkat dulu ya!” sahutku. “Hati-hati ya nak,” nasihat ibu. Kulihat ada 2 orang yang berdiri di depan pintu gerbang rumahku, memanggil-manggil namaku. Mayang dan Rivan. Kami bertiga menunggu angkutan umum di pinggir jalan karena rumah kami berada di pinggir jalan, dan kami juga lebih suka naik angkutan umum daripada kendaraan sendiri, entah kenapa kami bertiga selalu kompak. Yah, walaupun terkadang sering berantem juga gara-gara masalah kecil. “Nan, kamu udah ngerjain tugas kimia belum?” tanya Mayang tiba-tiba. “Udah dong, emang kamu belum ngerjain apa?” jawabku dan kembali tanya. “Belum nih, soalnya tadi malem aku tidur awal dan lupa kalo ada tugas kimia. Pagi-paginya baru inget,” kata Mayang. “Udah tenang aja, kamu liat punyaku aja, lagian kimia kan pelajaran terakhir, jadi masih banyak waktu buat ngerjain,” kataku menenangkan Mayang. Sesaat setelah aku berbicara dengan Mayang, sebuah bis datang. Dengan melambai-lambaikan tangan, kami bertiga menghentikan bis tersebut. Jarak rumah kami ke sekolah sekitar 20 menit perjalanan dengan angkutan umum.
Sesampainya di sekolah, kami bertiga segera berjalan menuju kelas masing-masing. Kami sampai di sekolah pukul 06.45 WIB, 15 menit sebelum bel masuk. Ketika aku dan Mayang hendak masuk kelas, aku dikagetkan dengan suara laki-laki yang memanggilku. “Nandaaa….” teriak Andi. Sedikit tentang Andi, nama lengkapnya Andi Prabowo, dia sekelas denganku, tingginya 168 cm, berkulit kuning langsat, mempunyai lesung pipit, wajahnya biasa, tapi berkharisma. “Ada apa, Ndi?” tanyaku sembari Andi berlari menghampiri aku. “Kamu duduk sama aku ya. Please..” Andi memohon. “Hmmm, gimana ya?” kataku membuat penasaran. “Ya udah deh, aku duduk sama kamu,” lanjutku. “Makasih ya, Nan,”. Karena ini hari pertama sekolah dan hari pertama aku sebagai kelas XII, biasanya para siswa di kelasku mengganti tempat duduk tiap tahun ajaran baru. Dan kebetulan aku sudah memiliki teman sebangku. Aku segera duduk di bangku nomor 2 dari depan di samping pintu, kemudian disusul Andi yang duduk di sebelahku. Kami berdua tidak mengucapkan sepatah katapun sampai bel masuk berbunyi.
Pelajaran pertama yaitu Fisika, salah satu pelajaran favoritku. Disamping pelajaran favoritku, guru yang mengajarkan juga enak, cara berbicaranya, cara mengajarnya, semuanya pas dan mudah dimengerti. Siswa-siswa yang lain juga merasakan hal yang sama denganku.
Seusai pelajaran pertama selesai, tiba-tiba anak sekelas dikejutkan dengan sosok seorang guru, yang aku tau itu guru olahragaku. Dia masuk dan memberi pengumuman kepada kami. Alangkah bahagianya anak sekelas, ternyata pengumuman yang diberikan adalah pengumuman bahwa pelajaran berikutnya kosong, karena guru yang mengajar sedang ada keperluan di luar kota. Semua anak di kelasku menyambut dengan gembira sekali, termasuk aku. Ada yang bermain laptop, bermain kartu, ngobrol dengan temannya, dll. Tapi aku masih duduk diam di disamping Andi. Sampai tiba-tiba. “Eh, Nan. Ke kantin yuk!” ajak Andi. “Ngapain?” tanyaku. “Ya makanlah, emang mau nyanyi di kantin,” ujar Andi sambil tertawa kecil. “Oh, hehehe..ayo,” aku menyetujuinya. “Eh, aku ajak Mayang dulu ya,” pintaku. “Oke,” jawab Andi. Aku menghampiri Mayang yang sedang sibuk menulis sesuatu. “May, ke kantin yuk,” ajakku. “Enggak ah, aku lagi sibuk nih, “ Mayang menolak sambil tetap menulis. “Tumben. Biasanya juga kamu yang ngajakin aku ke kantin,” ujarku. “Tapi kali ini aku bener-bener lagi sibuk banget,” kali ini Mayang menoleh ke aku. “Emang sibuk ngapain aja, kok sampe kayak gitu banget?” tanyaku penasaran. “Ada deh, mau tau aja kamu,” Mayang meledekku. “Huuh, kok gitu,” akupun agak kecewa dengan sikap Mayang. Tapi Mayang tidak menggubris perkataanku. Kutinggalkan saja dia dan menghampiri Andi. “Loh, Mayang ga ikut?” tanya Andi. “Ga, ga tau juga kenapa. Sikapnya kali ini aneh banget,” jawabku yang masih kesal dengan Mayang. “Ya udah deh, ga usah cemberut gitu. Ntar juga balikan lagi kok,”. “Iya siih. Ya udah yuk, ke kantin,”.
Sesampainya di kantin, aku memesan 2 porsi mie ayam dan 2 es teh. Kemudian duduk berhadapan dengan Andi. “Eh, Nan. Ntar kalo udah lulus, kamu mau nerusin dimana?” tanya Andi. “Ga tau nih, belum ada planning. Penginnya sih di luar negeri, tapi kayaknya ga mungkin deh. Otakku kan pas-pasan,” jawabku. “Kalo ada kemauan pasti ada jalan kok. Otak pas-pasan kok selalu ranking satu sih. Kamu ini ada-ada aja,” ujar Andi. “Yah, itu mungkin suatu keberuntungan,” kataku asal. “Kamu ini sukanya gitu ya. Selalu rendah hati, tapi aku suka,”. “Ah, ga juga kok,”.
Seusai makan, kamipun cuma duduk-duduk di kantin sampai bel istirahat berbunyi. Kulihat semua anak berkeliaran keluar kelas. Saat kulihat semua anak sibuk berkeliaran, tiba-tiba aku melihat Rivan. Akupun memanggilnya. “Rivaaaan,” panggilku kepadanya. Rivanpun menoleh ke arahku dan menghampiri kami berdua. “Eh, kalian berdua cepet banget kesini. Biasanya juga nyamperin aku dulu,” ujar Rivan. “Soalnya tadi pelajaran kedua kosong, jadi kita ke kantin deh,” kataku meresponnya. Oh iya, Andi dan Rivan sudah saling kenal karena mereka mengikuti organisasi yang sama di sekolah. “Eh, kalian mau makan apa?” tanya Rivan. “Kami udah makan barusan, kamu makan sendiri aja,” Andi menjawab. “Curang, kok ga nungguin aku siih,” ujar Rivan cemberut. “Lama banget mesti nungguin kamu dulu, keburu lumutan deh makanannya kalo nungguin kamu dulu,” jawabku meledek. “Kalo mau makan, tinggal makan aja, ntar kita tungguin kok,” aku melanjutkan. “Ya udah deh, daripada laper gini,” ujar Rivan sambil mengusap perutnya.
Akhirnya bel pulang pun berbunyi. Akupun bersiap untuk pulang. “Nan, pulang bareng yuk,” ajak Andi ketika aku sedang memasukkan buku-bukuku ke dalam tas. “Rumah kita kan berlawanan arah?” tanyaku heran. “Aku anterin kamu maksudnya. Gimana? Mau ya? Please,”. Sebelum aku menjawab tiba-tiba Mayang menghampiriku disusul dengan Rivan yang tiba-tiba masuk ke kelasku. “Ayo pulang,” ajak Mayang. “Eh, kalian bertiga pulang bareng aku yuk. Ntar aku anterin kalian bertiga, kebetulan rumah kalian kan sebelahan. Gimana?” ajak Andi, kali ini dia mengajak kami bertiga. “Beneran nih?” tanya Rivan penasaran. “Ya iyalah, ngapain aku bohong,” jawab Andi. “Gimana, mau ya?” lanjut Andi. “Gimana May, Nan?” tanya Rivan pada aku dan Mayang. “Aku sih, terserah kamu aja Van,” jawabku. “Iya Van, terserah kamu aja,” sambung Mayang. “Ya udah deh, Ndi. Kita mau, tapi sebelumnya kami makasih banget ya, udah mau nganterin kami,” kata Rivan. “Iya, ga masalah,” ujar Andi.
Kami bertiga akhirnya setuju diantar pulang oleh Andi dengan mobilnya.
Selagi diperjalanan, kami berempat diam bagaikan mulut kami dijahit. Selalu diam. Aku duduk di samping Andi yang mengendarai mobilnya, sedangkan Mayang dan Rivan duduk berdua di belakang. Akhirnya kamipun sampai di rumah aku, Rivan dan Mayang. Kami lalu turun dari mobil dan berterima kasih kepada Andi. “Makasih banget ya Ndi, jadi ngrepotin nih,” kataku agak segan. “Iya Ndi, makasih ya,” ujar Mayang dan Rivan kompak. “Iya sama-sama, ah ga ngrepotin kok, justru aku malah seneng bisa nganterin kalian. Ya udah, aku pulang dulu ya,” kata Andi dan berpamitan. “Ga mampir dulu Ndi?” aku menawarkan. “Ga usah, lain kali aja. Pulang dulu ya. Bye!” Andi melambaikan tangannya pada kami bertiga. “Ternyata Andi orangnya baik juga, kirain kalo orang pendiem biasanya cuek dan sombong,” celetuk Mayang. “Setiap orang kan beda-beda May, masa semua orang pendiem mesti cuek dan sombong?” aku menyangkal. “Ya, aku kan bilangnya kalo kebanyakan orang pendiem tuh sombong, bukan menjudge kalo orang pendiem mesti sombong,” Mayang masih kukuh membela diri. “Sudah-sudah, apaan sih kalian kayak anak kecil aja deh,” kata Rivan berusaha meredam emosi. “Eh, ntar malem maen ke rumahku yuk!” ajak Rivan. “Ngapain?” tanya Mayang. “Emang ada apa dirumahmu?” aku pun bertanya. “Yaa, ga ngapa-ngapain siih, cuma pengen ditemenin aja, hehehe…lagian kan aku lagi sendirian di rumah,” jawab Rivan. “Kayaknya aku ga bisa deh Van, soalnya aku mesti ngerjain sesuatu ntar malem, maaf ya,” kata Mayang dan kemudian berlalu meninggalkan aku dan Rivan. “Kalo kamu bisa ga Nan?” tanya Rivan kepadaku. “Bisa sih, tapi ga tau juga kalo tiba-tiba ntar ada urusan mendadak, tapi aku usahain kok,” jawabku. “Ya udah, semoga kamu ga ada urusan ntar malem, jadi bisa nemenin aku ntar malem,” kata Rivan dengan penuh harap. “Ya semoga aja. Ya udah, aku ke rumah dulu ya,” kataku sambil meninggalkan Rivan, dan kulihat Rivan juga segera masuk ke rumahnya.
Malampun tiba. Ponselku berdering, dan itu nada dering untuk SMS. “SMS dari siapa ya?” pikirku. Aku yang sedang baca novel kemudian mengambil dan membuka apa isi SMS tersebut. Ini SMS dari Rivan. “Nan, jadi ga ke rumahku?”. Akupun membalas. ”Iya jadi, 5 menit lagi ya,”. ”Ok,” dia membalas lagi.
5 menit kemudian aku keluar rumah dan berpamitan dengan ibuku kalo aku mau main ke rumah Rivan. Ibukupun mengizinkan. Kulihat dari depan rumah Rivan ternyata Rivan sudah menungguku di terasnya. “Akhirnya datang juga,” Rivan menyambutku dengan senyuman manisnya. “Kenapa kamu? Kok cengengesan gitu?” tanyaku heran dengan sikap Rivan yang tiba-tiba cengar-cengir sendiri. “Ehmm, ga papa kok. Cuma seneng aja kamu akhirnya dateng,” jawab Rivan yang sepertinya mencoba menutupi sesuatu tapi, aku tidak tau apa itu. “Dasar kamu ini,” ketusku. “Sini duduk Nan,” Rivan mempersilahkan aku duduk. Akupun duduk disamping Rivan. Detik demi detik, menit demi menit, kami lewati berdua tanpa ada satu katapun yang keluar dari mulutku dan mulut Rivan. Deg deg deg, kurasakan suara jantungku berdebar kencang. “Ada apa dengan diriku? Kok tiba-tiba deg degan gini?” tanyaku dalam hati. “Nan, bintang-bintangnya bagus ya malam ini?” tanya Rivan yang cukup mengejutkanku. “Oh, i-iya bagus, bagus banget,” aku menjawab dengan sedikit gugup. “Nan, kamu pernah merasa seperti berada dalam kebahagiaan yang teramat sangat indah ga?” tanya Rivan mengejutkanku. Aku bingung dengan kata-kata Rivan. “Perasaan apa itu?” tanyaku penasaran. “Itu adalah sebuah perasaan yang dirasakan ketika seseorang sedang jatuh cinta,” jawab Rivan sambil memejamkan matanya. “Kenapa kamu bisa berkata seperti itu? Emangnya kamu pernah jatuh cinta?” tanyaku sedikit meledek. “Ya, dan itu yang aku rasakan sekarang,” ujar Rivan yang membuatku semakin bingung dengan ucapannya. “Eh, aku buatin minum ya, aku kok lupa sih, heheh..” lanjut Rivan yang tiba-tiba bangkit dari duduknya. “Ga usah Van, aku ga haus kok,” kataku menolak. “Tapi kan kamu tamu, masa ga dikasih minum,” Rivan mengelak kataku. “Kalo aku ga mau minum gimana?” tanyaku menyangkal kembali. “Ya udah deh, itu mau kamu loh ya,” Rivan mengalah. “Iya,”. “Van, aku ngantuk nih, aku pulang dulu ya,” aku minta pulang. “Tunggu dulu, ini kan masih jam 9, masa udah mau pulang, kamu tidur ditempatku aja,” Rivan mencegahku untuk pulang dan menawarkanku tidur di rumahnya. “Tapi ntar ibuku gimana? Masa mau ditinggal sendirian di rumah?” tanyaku. “Ya sekali-kali kan ga papa,” Rivan terus memaksa. “Aku bilang mama dulu ya,” akupun menelpon ibuku. Ternyata ibuku mengizinkan aku menginap di rumah Rivan. “Gimana Nan?” tanya Rivan antusias. “Ya, aku boleh nginep di rumahmu.” jawabku. “Asyiik..” Rivan kelihatan seneng banget. “Ya udah yuk kedalem,” lanjut Rivan sembari menyuruhku masuk ke dalam rumah Rivan. “Van, aku langsung tidur aja ya,” pintaku pada Rivan. “Ga mau nonton TV dulu? Ato main game?” Rivan menawarkan. “Ga lah, aku dah ngantuk berat nih,” akupun saat itu menguap. “Ya udah deh, kita tidur aja,”. “Loh Van, kamu ngapain ikut aku? Ini kan kamar tamu. Kamarmu kan disana,” tanyaku heran sambil menunjuk kearah kamar Rivan. “Aku takut tidur sendiri malem ini. Aku tidur sama kamu ya Nan? Boleh kan?” pinta Rivan sambil memasang muka memelas yang membuatku tak tega melihatnya. “Tumben banget kamu takut tidur sendiri, biasanya juga tidur di toilet ga takut, hahahah…” kataku meledeknya. “Sial kamu, emangnya aku apaan, tidur di toilet?” Rivan langsung cemberut yang membuatnya tambah lucu. “Ngambek nih ye,” aku meledeknya lagi. “Ga kok, cuma lagi pengen aja…” kata Rivan membuatku bertanya. “Pengen apa?” . “Pengen mukul kamu,”. Tiba-tiba sebuah bantal melayang dan mendarat di mukaku. Buuuk.. “Aduuh,” aku mengaduh. “Rasain tuh,” Rivan tersenyum puas. Akupun segera membalasnya dengan memukulkan bantal ke mukanya juga. Buuuk… “Awww, kok ikutan mukul?” Rivan mengaduh. “Kan biar impas, enak aja kamu mukul aku tiba-tiba,” aku membela diri. “Habisnya kamu ngeselin sih, jadi aku pukul,” Rivan tetap tidak terima. “Ya udahlah, tidur. Udah ngantuk banget nih,” aku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencoba tidur karena memang aku sudah ngantuk banget. Ketika aku sedang berusaha tidur, Rivan menggangguku. “Nan, udah tidur?” tanya Rivan. “Udah,” jawabku ketus. “Kok bisa ngomong?” tanya Rivan lagi. “Ih, ni anak cerewet banget ya, aku bekep juga nih,” kataku sedikit kesal. “hehehe…maaf ya. Aku ga bisa tidur nih,” ujar Rivan. “Kenapa?” tanyaku. “Ga tau nih, aku mikirin sesuatu,”. Mendengar kata Rivan tersebut, aku beranjak dari tidurku dan duduk. “Mikirin apa?” tanyaku penasaran. “Aku mikirin kamu Nan,” kata Rivan yang membuatku mengerutkan dahi. “Aku? Ada apa denganku?” tanyaku lagi. Tapi kali ini dia diam, dan tiba-tiba dia menatapku tajam dengan tanpa kacamatanya. Deg deg deg, perasaan itu kembali muncul. “Apa yang terjadi? Kenapa jantungku berdebar kencang lagi?” batinku berbisik. Huahahahhaha….tiba-tiba Rivan tertawa yang membuatku semakin bingung dengan orang ini. “Ternyata mukamu lucu juga ya, kalo lagi serius gitu, hahahah..” ujar Rivan sambil meneruskan tawanya. “Apaan sih? Ga mutu banget deh,” ujarku jutek. Dan aku kembali berusaha tidur, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa tidur, aku masih kepikiran dan masih bingung dengan ucapan Rivan. Tapi aku mencoba melupakan itu, dan mencoba tidur.
Pagi datang. Aku terbangun sekitar pukul 5 pagi. Aku melihat di sampingku masih ada Rivan yang begitu lelapnya masih tertidur. “Van, bangun Van. Udah pagi nih, kita kan mau sekolah,” kataku sambil terus berusaha membangunkan Rivan. “Iya, bentar,” ujar Rivan dengan malasnya. “Van, aku pulang dulu ya, mau mandi sama ganti baju,” aku pamit pulang. “Tunggu,” tiba-tiba Rivan menarik tanganku saat aku beranjak dari kasur. “Ada apa?” tanyaku heran. “Kamu mau kemana?” tanya Rivan. “Aku mau pulang dulu, mandi dan ganti baju,” jawabku. “Aku kayaknya ga bisa masuk sekolah deh Nan,” kata Rivan membuatku sedikit terkejut. “Loh, kenapa? Kamu sakit? Sini aku cek,” kataku sambil memegang jidat Rivan. Ternyata benar, Rivan sakit. Suhu tubuhnya panas sekali. “Kita harus ke dokter nih,” kataku yang agak panik. Dengan sigap aku membawa Rivan ke Klinik terdekat. Ketika aku sedang menggendong Rivan keluar, aku melihat Mayang sudah memakai seragam sekolah. Mayang yang tiba-tiba melihat aku sedang menggendong Rivan, kemudian dia mendekat ke arah kami. “Rivan kenapa, Nan?” tanya Mayang kaget. “Dia sakit May, badannya panas banget,” jawabku. “Ya ampun, kita harus bawa dia ke dokter,” kata Mayang panik. “Van, kunci mobilmu mana?” aku bertanya. “Di atas meja belajarku,” Rivan menjawab lirih. “May, jagain Rivan dulu ya, aku mau ambil kunci mobil,” perintahku pada Mayang. “Iya Nan, cepetan ya Nan,” balas Mayang. Sekitar satu menit kemudian aku kembali dengan membawa kunci mobil. Kemudian aku segera menyalakan mobil. Untung aku bisa mengendarai mobil karena diajari oleh Ayahku. Rivan dan Mayang duduk dikursi belakang. Dan akupun melesat menuju Klinik terdekat.
Sesampainya di Klinik. Rivan segera dibawa ke ruang perawatan. Aku dan Mayang hanya mondar mandir menunggu seseorang keluar dari ruangan tersebut. Suasana di Klinik benar-benar sunyi. Dan tiba-tiba, ponselku berbunyi tanda SMS masuk. Aku segera mengeluarkan ponselku dari dalam saku celana, dan kubuka SMS yang masuk. Ternyata dari Andi. SMSnya berbunyi, “Nan, kok kamu ga berangkat-berangkat?”, akupun membalasnya, “Aku ga bisa berangkat hari ini, Rivan tiba-tiba sakit, dan sekarang dia ada di Klinik, aku harus menjaganya,”. “Sakit apa?”. “Ga tau juga, tapi tadi badannya panas banget,”. “Ntar pulang sekolah aku kesitu ya,”. “Iya,” aku mengakhiri SMS aku dengan Andi. Saat aku mau memasukkan ponselku kembali kesaku, tiba-tiba seseorang dari ruangan Rivan keluar. “Gimana dok keadaan temen saya dok?” Mayang bertanya tiba-tiba. “Temen anda baik-baik saja, dia cuma mengalami demam biasa. Tapi sekarang kondisinya sudah stabil,” kata dokter menjelaskan. “Boleh kami masuk dok?” aku meminta izin pada dokter. “Boleh boleh boleh. Silahkan,” dokter mengizinkan kami berdua masuk untuk melihat kondisi Rivan. Ketika kami masuk kedalam, tiba-tiba Rivan bertanya, “Kalian ga sekolah?”. “Mana bisa kita sekolah kalo temen kita sakit dan ga ada siapa-siapa yang menjaganya,” jawab aku. “Tadi aku udah SMS ke mama kok, kalo aku ga berangkat sekolah dulu, buat njagain kamu,” lanjutku. “Iya Van, kita tuh sayang banget sama kamu,” kata Mayang. “. “Kalian ini, aku juga sayang sama kalian. Sini kalian mendekat,” Rivan menyuruh kami mendekatnya dan kami bertiga berpelukan.
Beberapa jam kemudian. Tok tok tok….suara pintu dari luar kamar Rivan berbunyi. “Siapa ya?” aku bergumam dan segera menghampiri pintu. Ketika aku membuka pintu, kulihat sosok seorang lelaki yang tingginya sama denganku dengan memakai seragam SMA membawa sebuah bungkusan yang aku lihat isinya buah-buahan. Itu adalah Andi. “Andi. Ayo silahkan masuk,” aku mempersilahkan Andi masuk. “Van, kamu sakit apa?” tanya Andi tiba-tiba. “Aku ga apa-apa kok, lagian ini udah mendingan,” jawab Rivan santai. “Nih, aku bawain buah buat kamu,” Andi menaruh buah tersebut diatas meja. “Makasih ya Ndi,” Rivan tersenyum hangat. “Iya sama-sama,” Andi pun membalas senyumnya. “Eh, aku ke toilet dulu ya,” ujar Mayang yang kemudian langsung keluar. “Oh iya Ndi, tadi di sekolah ada tugas ga?” tanyaku pada Andi. “Ga ada. Tadi aja banyak pelajaran yang kosong, soalnya ada rapat guru,” Andi menjelaskan. “Oh, gitu. Syukur deh kalo ga ada tugas,” ujarku. “Eh Van, tadi anak OSIS nyariin kamu tuh, katanya kangen,” ujar Andi. “Oiya? Emang aku ngangenin…hahahaha..” Rivan tertawa lepas. “Dasar. Dari dulu pedenya ga ilang-ilang kamu tuh,” Andi mengejek sambil cengar-cengir. “Biarin,” Rivan menjulurkan lidahnya. Aku terdiam melihat mereka berdua sedang asyik ngobrol. Rasanya hatiku sakit ketika melihat mereka begitu akrabnya. Aku merasa seperti akan kehilangan seseorang. Tapi aku sadar aku tidak boleh seperti ini, perasaan ini tidak boleh ada. Kemudian Mayang kembali datang ke ruangan kami. “Eh guys, aku pamit pulang dulu ya, tadi mamaku telepon. Aku mau pergi ke rumah nenekku,” Mayangpun bersalaman dengan kami bertiga. “Hati-hati ya May,” kata Rivan. “Iya. Maaf ya, aku ga bisa nungguin kamu,” kata Mayang. “Iya ga apa-apa kok, lagian masih ada Nanda sama Andi,” balas Rivan. “Ya udah, aku pergi dulu ya. Bye,” sahut Mayang sembari meninggalkan kami bertiga.
Satu jam kemudian. Ponselku berdering tanda panggilan masuk. Ternyata ibuku yang menelpon. “Halo, assalamu’alaikum, ada apa mah?” tanyaku. “Nak, kamu bisa pulang sekarang ga? Mama mau ke tempat pamanmu. Jadi kamu harus jaga rumah,” Ibuku menjawab. “Iya mah, Nanda segera pulang,” ujarku. “Ok, ya udah ya, assalamu’alaikum,”. “Wa’alaikum salam,” aku mengakhiri obrolanku dengan ibuku. “Van, aku pulang dulu ya. Aku harus jaga rumah, soalnya mamaku mau pergi. Maaf ya Van,” aku pamit kepada Rivan. “Oh gitu, ya udah ga apa-apa,” Rivan menjawab dengan senyum. “Pulang dulu ya,” aku bersalaman dengan Rivan dan Andi. Aku pun segera keluar.
Sementara itu. Andi masih menemani Rivan sampai malam. “Ndi, kamu ga pulang? Ntar keluarga kamu nyariin lagi,” kata Rivan. “Ga, lagian ntar kamu sendirian ga ada yang jaga. Aku tadi udah bilang sama mama kalo aku mau nginep ditempat temen,” Andi membalas. “Tapi aku kan udah ga apa-apa, lagian aku ga enak sama kamu,”. “Udah nyantai aja lagi, aku ikhlas kok,”. “Makasih ya Ndi,”. “Iya, sama-sama,”. “Oh iya Van, ada yang mau aku omongin,” lanjut Andi. “Mau ngomong apa Ndi?” tanya Rivan. “Tapi kamu harus janji dulu,”. “Janji apa?”. “Janji kalo kamu ga bakal ngomongin ini kesiapa-siapa,”. “Emang mau ngomong apa sih? Kok pake janji-janjian dulu?” Rivan pun bangkit dan duduk bersandar di kasur. “Pokoknya kamu harus janji dulu,” Andi memaksa. “Iya janji. Udah, sekarang ayo ngomong,” Rivanpun menurut. “Van, sebenernya aku itu…” Andi menghentikan kata-katanya. “Sebenernya apa Ndi?” tanya Rivan penasaran. “Sebenernya aku itu GAY, Van. Dan aku mencintaimu,” Andi menundukkan kepalanya. “Apa?? Kamu Gay?” Rivanpun terkejut mendengar pengakuan Andi. “Aku udah ga bisa mendem perasaan ini lagi Van, dari dulu aku sudah mencintaimu. Aku tau aku salah, dan kamu boleh merasa jijik atau menjauhiku. Tapi, aku sudah mengatakan yang sebenernya,” ujar Andi dengan air matanya yang hendak keluar. “Ndi, aku ga akan pernah merasa jijik atau pun bakal ngejauhinmu, tapi aku belum bisa menjawab cintamu. Karena saat ini, ada seseorang yang sedang bernaung dihatiku,” Rivan menjelaskan. “Siapa?” tanya Andi. “Dia itu sahabat aku dari kecil,”. “Mayang?”. “Bukan, dia adalah Nanda,”. “Apa?? Jadi…kamu juga Gay?” tanya Andi meyakinkan. “Iya Ndi. Karena yang selalu ada buatku, yang selalu mengisi hari-hariku adalah Nanda. Dan aku minta maaf, aku tidak bisa menerima cintamu Ndi,” jawab Rivan. Suasana seketika hening diruangan tersebut. “Tapi, akankah kamu masih mau berteman denganku Van?” tanya Andi memohon. “Ya tentulah, aku pasti akan selalu jadi temanmu,” Rivan tersenyum manis. “Makasih Van,”. “Iya,”.
Satu jam kemudian. Ponselku berdering tanda panggilan masuk. Ternyata ibuku yang menelpon. “Halo, assalamu’alaikum, ada apa mah?” tanyaku. “Nak, kamu bisa pulang sekarang ga? Mama mau ke tempat pamanmu. Jadi kamu harus jaga rumah,” Ibuku menjawab. “Iya mah, Nanda segera pulang,” ujarku. “Ok, ya udah ya, assalamu’alaikum,”. “Wa’alaikum salam,” aku mengakhiri obrolanku dengan ibuku. “Van, aku pulang dulu ya. Aku harus jaga rumah, soalnya mamaku mau pergi. Maaf ya Van,” aku pamit kepada Rivan. “Oh gitu, ya udah ga apa-apa,” Rivan menjawab dengan senyum. “Pulang dulu ya,” aku bersalaman dengan Rivan dan Andi. Aku pun segera keluar.
Sementara itu. Andi masih menemani Rivan sampai malam. “Ndi, kamu ga pulang? Ntar keluarga kamu nyariin lagi,” kata Rivan. “Ga, lagian ntar kamu sendirian ga ada yang jaga. Aku tadi udah bilang sama mama kalo aku mau nginep ditempat temen,” Andi membalas. “Tapi aku kan udah ga apa-apa, lagian aku ga enak sama kamu,”. “Udah nyantai aja lagi, aku ikhlas kok,”. “Makasih ya Ndi,”. “Iya, sama-sama,”. “Oh iya Van, ada yang mau aku omongin,” lanjut Andi. “Mau ngomong apa Ndi?” tanya Rivan. “Tapi kamu harus janji dulu,”. “Janji apa?”. “Janji kalo kamu ga bakal ngomongin ini kesiapa-siapa,”. “Emang mau ngomong apa sih? Kok pake janji-janjian dulu?” Rivan pun bangkit dan duduk bersandar di kasur. “Pokoknya kamu harus janji dulu,” Andi memaksa. “Iya janji. Udah, sekarang ayo ngomong,” Rivanpun menurut. “Van, sebenernya aku itu…” Andi menghentikan kata-katanya. “Sebenernya apa Ndi?” tanya Rivan penasaran. “Sebenernya aku itu GAY, Van. Dan aku mencintaimu,” Andi menundukkan kepalanya. “Apa?? Kamu Gay?” Rivanpun terkejut mendengar pengakuan Andi. “Aku udah ga bisa mendem perasaan ini lagi Van, dari dulu aku sudah mencintaimu. Aku tau aku salah, dan kamu boleh merasa jijik atau menjauhiku. Tapi, aku sudah mengatakan yang sebenernya,” ujar Andi dengan air matanya yang hendak keluar. “Ndi, aku ga akan pernah merasa jijik atau pun bakal ngejauhinmu, tapi aku belum bisa menjawab cintamu. Karena saat ini, ada seseorang yang sedang bernaung dihatiku,” Rivan menjelaskan. “Siapa?” tanya Andi. “Dia itu sahabat aku dari kecil,”. “Mayang?”. “Bukan, dia adalah Nanda,”. “Apa?? Jadi…kamu juga Gay?” tanya Andi meyakinkan. “Iya Ndi. Karena yang selalu ada buatku, yang selalu mengisi hari-hariku adalah Nanda. Dan aku minta maaf, aku tidak bisa menerima cintamu Ndi,” jawab Rivan. Suasana seketika hening diruangan tersebut. “Tapi, akankah kamu masih mau berteman denganku Van?” tanya Andi memohon. “Ya tentulah, aku pasti akan selalu jadi temanmu,” Rivan tersenyum manis. “Makasih Van,”. “Iya,”.

Selasa, 19 Juli 2011

Boy Love Story


Solok, 19 Desember 2009 Pemuda itu terlihat sangat murung, ia duduk di sana dari pukul 2 siang tadi, dan skarang waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam Dengan rasa ingin tahu dan membantu, ku coba beranikan diri untuk menghampirinya, “Hai” sapaku membuka percakapan. “Ya, ada apa ?” balasnya dengan nada yang sendu.”Namaku Ari, kalau boleh tahu, siapa namamu ?”,”Oh, namaku Fakhrul, ada apa ri ?” tanyanya untuk kedua kali. “Nggak ada apa-apa kok, oh ya, kamu sedang apa disini ? Bukannya kamu sudah dari tadi duduk di tempat ini ?” tanyaku secara beruntun. Namun dia hanya menarik nafas panjang, dan itu buatku semakin bingung dan kehabisan kata-kata. “Sebenarnya aku lagi ada masalah di rumah ri”. Ucapnya memecah kebisuan yang sempat terjadi di antara kami. “Oh,,, kalau kamu gak keberatan, kamu bisa cerita sama aku, tapi kalau kamu keberatan juga gak papa, toh kita juga baru kenal”.”Hhmmmmm,, gak papa kok” dia tersenyum ke arahku, dan saat itu kumerasa ada sesuatu yang berdesir di dadaku. Tapi saat itu ku tak terlalu ambil pusing soal itu.

———– Beberapa Menit Kemudian ———-

“Oh jadi begitu masalahnya, kalau begitu kamu sekarang gak pulang ke rumah ?” tanyaku. “Begitulah ri”,”Kalau gitu kamu nginap di rumah ku aja malam ini” tawarku tanpa maksud apapun selain berbaik hati. “Kamu serius ? Kita kan baru kenal…”,”iya aku serius, yuk kerumah ku” Sambil bercakap-cakap kami masuk rumah dan aku memperkenalkan Fakhrul kepada orang tuaku dan mereka wellcome terhadap Fakhrul, selain tampan,putih dan lumayan tinggi, tutur katanya juga sopan. Dan mungkin itu salah satu sebab orang tuaku wellcome padanya ( satu hal tentang orang tuaku, mereka over-protected terhadapku karena aku anak satu-satunya ).

Setelah berbincang-bincang sama orangtuaku, aku mengajaknya untuk tidur karena jam rumahku sudah berdentang sebanyak sebelas kali, yang berarti skarang sudah pukul 11 malam. Tak banyak yang terjadi malam itu, kami hanya bicara tentang sesuatu yang tak ada ujung pangkalnya, dari sana aku dapati bahwa ternyata Fakhrul satu sekolahan denganku dan juga seumuran denganku, namun ia baru masuk 3 hari yang lalu dan baru masuk sekolah senin depan karena baru pindah ke daerah Solok ini.

Minggu, 20 Desember 2009 Perlahan namun pasti, pagi datang menjelang dan cahaya matahari mulai memasuki jendela kamarku yang tak bertirai. Ada alasan mengapa kau tak memasang tirai di jendela ku, selain kamarku terletak di lantai dua, aku juga agak susah bangun jika suasana masih gelap. ( Back to Story ) Aku mengucek mataku dan melihat jam dinding yang ku gantung di dinding kamarku yang sudah menunjukkan pukul 6:15 pagi. Aku coba untuk bangunkan Fakhrul yang masih tidur di kasur tambahan yang biasa di simpan di bawah tempat tidurku. Karena ini hari minggu, aku mengajaknya untuk jogging, “Rul, jogging yuk, mumpung hari minggu nih…” ajakku. “Mau aja sih ri, tapi aku gak bawa celana training sama sepatu olah raga nih, kan kemaren juga kebetulan ketemu kamu” balasnya. “Tenang aja kalau masalah itu mah, yuk cuci muka sama gosok gigi dulu” Dia pun mengangguk dan mengikutiku ke kamar mandi. Saat menggosok gigi, tak sengaja pandangan kami bertemu, dia tersenyum dengan buih pasta gigi yang kluar di sela sela bibirnya, sontak aku pun tertawa melihatnya seperti itu. Dia pun juga tertawa karena melihatku tertawa. Setelah smua persiapan selesai, kami pun mulai jogging dari rumah ku ke arah GOR yang memang di jadikan pusat kegiatan olah raga di Solok ini. Sepanjang perjalanan ( atau pelarian kali ya ?? ) ke tempat tujuan, kami bercanda ria dan itu membuatku semakin akrab dengannya. Sesampainya di puncak GOR, kami beristirahat di lapangan sambil minum air putih yang sudah ku bawa dari rumah. Fakhrul berencana akan pulang hari ini, dan itu membuatku sedikit lega karena dia mau juga pulang dan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Sekitar jam 8.00, kami memutuskan untuk kembali kerumahku. Setibanya di rumahku, aku mengajaknya untuk mandi karena kami telah berkeringat dan pagi itu juga lebih panas dari biasanya. Kami mandi bersama hanya dengan menggunakan celana dalam saja. Tanpa rasa apapun, aku mandi secara wajar di sebelahnya, dan dia pun sama, tak ada keganjalan dalam sifatnya saat ini. Sehabis mandi, kami berpakaian dan bersiap meluncur ke rumahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Kami berpamitan dan pergi ke rumah Fakhrul dengan vario hitam kesayanganku. Sekitar 5 menit perjalanan dan kami pun sampai di rumah Fakhrul. Rumah yang lumayan besar dengan halaman yang cukup luas dan taman yang indah. Aku pun mengikutinya masuk rumah setelah di persilahkan, aku kaget karena begitu masuk, mamanya memeluknya dengan erat dengan mata yang berkaca-kaca seperti habis menangis. Jelang beberapa saat, Fakhrul memperkenalkan aku kepada ibunya, ada sesuatu yang aneh yang kutangkap dari tatapan mata ibunya. Namun aku segera membuang jauh-jauh pikiran itu. “ri, ikut aku kemarku yuk !” ajaknya yang membuatku sadar dari lamunanku.”hmmm,, yuk” jawabku. Kembali aku ternganga melihat isi kamarnya, Biru mendominasi suasana kamarnya, sebuah spring bed king size dengan aplikasi bed cover lamborghini berwarna kuning dengan latar biru membuatnya semakin terkesan mewah. Poster-poster penyanyi dan beberapa group band ternama menghiasi tembok kamarnya. Di depan tempat tidurnya terdapat sebuah TV LCD berukuran 29” dengan Playstation dan DVD player bersama susunan kaset yang tertata apik. Di sebelahnya terdapat 2 meja yang salah satunya berisi seperangkat komputer dan yang lainnya berisi buku-buku pelajaran. Di sudut ruangan ku dapati sebuah lemari besar yang berisi pakaian-pakainnya. Juga ada sebuah rak sepatu yang penuh akan tumpukan sendal dan sepatu model-model terbaru. Tapi perhatianku tertuju pada sebuah foto yang di dalamnya terdapat 2 orang yang terlihat begitu akrab, salah satunya adalah Fakhrul dan yang satunya lagi seseorang yang terlihat lebih tua 1 atau 2 tahun darinya. “Ri !!!!!!!!!!!” teriaknya dan membuyarkan kekagumanku. Aku kaget dan membalas teriakannya “ APA ? Gak usah teriak kali, aku bukan orang tuli” umelku kesal. “Ya kamu sih, dari tadi di panggil gak nyaut-nyaut, apa namanya coba ?” “Hehehe, sori-sori, eh Rul, ini siapa ? kok aku gak liat dia dari tadi,, kakak kamu ya Rul ?” tanyaku. “Oh itu…..” kata-katanya tertahan dan matanya mulai berkaca-kaca. “Kamu kenapa Rul ?”, “eh, gak papa kok. Itu cuman teman masa kecilku”. “oooo,, tapi kok kamu,,,” ,”ah udahlah, tanya yang lain aja OK ?”. “Ya udah”, tutupku dengan tanda tanya yang semakin bertambah di otakku. 2 jam sudah aku di rumahnya, dan aku pun permisi kepada Fakhrul dan mamanya untuk pamit pulang. Dalam perjalanan pulang, pertanyaan yang tak kudapatkan jawabannya tadi kembali menggema dari salah satu sudut kepalaku. “Kenapa sih mamanya Fakhrul kayak gak suka sama aku ? Terus laki-laki yang berfoto bersama Fakhrul itu siapa ya ?” tanyaku pada diri sendiri.

Sesampainya di rumah, aku beres-beres di kamarku dan tertidur karena capek. Namun itu tak berlangsung cukup lama, karena aku merasa ada yang mengganggu tidurku. Aku bangkit dari tidurku dan merasa agak pusing karena tidurku terganggu. Perlahan tapi pasti aku mulai sadar dan melihat siapa yang telah mengganggu tidurku tadi. Ternyata itu Fakhrul, dia tersenyum tengil ke arahku, aku pun melempari dia dengan bantal yang ada dalam genggamanku. Lemparan ku tepat mengenai mukanya, dan akupun tertawa terbahak-bahak. 5 detik berlalu dan Fakhrul tak kunjung bangkit. Aku jadi cemas dan mulai terpikirkan yang aneh-aneh. “Rul… rul… Fakhrul, kenapa sih ni anak, masa di lempar bantal doang pingsan ?” kucoba liat lebih dekat wajahnya yang memang tampan itu, namun tiba tiba dia bangun dan segera ingin duduk, bibir kami bertemu dan sepertinya waktu terhenti untuk sementara……… Sesegera mungkin aku berdiri dan memalingkan mukaku ke arah lain. Kebingungan dan kebisuan mencuat di antara kami…………… Mungkin karena merasa bersalah,Fakhrul mencoba untuk minta maaf kepadaku “Sori Ri, aku gak bermaksud…..” “gak papa, aku tau kamu gak sengaja” selaku. Sejurus kemudian, aku meninggalkan Fakhrul di dalam kamar menuju kamar mandi. “Apa yang terjadi barusan ?”,“Kenapa aku merasa senang dan bingung dalam waktu yang sama tadi ?”,”Apakah aku menyukai Fakrul?”,”Tapi gak mungkin,kami kan sama-sama lelaki?”, beribu pertanyaan dilontarkan oleh hatiku, dan tak satupun yang bisa kujawab. Kemudian aku putuskan untuk kembali menemuinya di kamar, namun ternyata dia sudah pulang tanpa pamitan kepadaku. Hanya ada sebuah kertas kecil di atas meja belajarku yang berisi : “Ri, maaf ya aku gak pamit sama kamu pulangnya, soal kejadian tadi, aku bener-bener gak sengaja, sueerrr……… dan kuharap kamu gak berpikiran yang aneh-aneh tentangku. Sorry banget ya Ri. Fakhrul Ku mematung membaca tulisan itu. Satu-satunya hal yang aneh saat ini di otakku bukannya dia, namun diriku sendiri. Kenapa bisa aku merasa senang ? apakah aku ???? Akhirnya sore itu aku cuma bisa merenungi dan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di dalam kepalaku sampai malam menjelang dan akupun tertidur dengan berjuta pertanyaan yang masih belum terjawab.

Senin, 21 Desember 2009 Pagi kembali menyapaku dengan siulan burung camar di luar jendela kamarku. Saatnya ku kembali jalani rutinitas seperti biasa, yang sebentar lagi mungkin akan berubah karena kejadian kemaren sore. Namun ku buang jauh-jauh pikiran itu karena ku tak mau terlambat datang ke sekolah gara-gara memikirkan hal yang tak kunjung dapat jawabannya itu. Setelah mandi dan berpakaian, kuraih tasku yang berada di meja belajarku, ku segera berpamitan kepada orang tuaku. Ku hidupkan vario hitam kesayanganku dan mengendarainya dengan kecepatan sedang ke sekolahku.

Pukul 7:15 WIB di lapangan sekolah Seperti biasa di setiap sekolah selalu di adakan upacara bendera pada hari senin. Ku cari-cari sosok Fakhrul yang telah memberikan berjuta pertanyaan di dalam otakku. Namun pencarianku tak membuahkan hasil. Dia tak ada di lapangan ini. Ada sedikit kecewa di hatiku saat ini, tapi biarlah, mungkin saja dia belum datang atau sengaja berada di kantor guru karena dia adalah murid baru. Hmmph who knows ? Jam tanganku menunjukkan pukul 8:05, sekarang aku berada di ruang kelasku yaitu kelas X1 IPA 1. Pagi ini kelasku akan belajar matematika dengan seorang guru yang agak nyeleneh namun mengasikan yang bernama Bapak Yaswanda. Pak Wan masuk bersama wali kelas ku yang bernama Bu Astika, di belakangnya ada seorang pemuda yang aku kenali. Ya…. itu Fakhrul, itu memang Fakhrul. Pandanganku tak lepas darinya, dia menoleh kearahku kemudian melemparkan senyumannya yang 2 hari ini temani hariku. Seketika kelasku yang semula tenang menjadi riuh karena sibuk membicarakan sosok tampan yang berada di depan kelas. Robi yang duduk di depanku menoleh ke arahku dan menegurku, “Sob, lu udah kenal ya ? kok dari tadi liatnya gitu ?” tanyanya mengagetkanku. “Haa ? oh,, iya, 2 hari yang lalu aku ketemu sama dia di deket rumah Kakek Tono, dia kelihatannya lagi sedih, ya ku samperin deh”,”ooooo” balesnya. “Bulet” plesetku. Kami pun tertawa karenanya. Tiba-tiba bu Astika membuka suara dan membuat kami smua diam. “Anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang murid baru, nah tak kenal maka tak sayang bukan ?, silahkan perkenalkan diri ananda” ucapnya ke arah Fakhrul. Fakhrul introducing himself: “Perkenalkan, nama saya Fakhrul Muhammad Muchtar, saya pindahan dari Padang, anak tunggal dari kedua orang tua saya, dan paling hobi belajar matematika”, ucapnya singkat. “Ada yang ingin di tanyakan sama Fakhrul ?” kata bu Asti. “Status skarang gmana ?” teriak sesil yang terkenal centil. “huuuuuuuuuuu” sorak yang lain kearah sesil. “Alhamdulillah anak kandung dan mulai sekarang tercatat sebagai siswa SMA ini” jawabnya sambil senyum dengan sangat manis. Sontak seluruh isi kelas tertawa dengan jawaban yang ia lontarkan. “Sudah-sudah, ayo kita mulai belajar, Fakhrul silahkan duduk di sebelah Ari karena itu satu-satunya bangku kosong di kelas ini”. ucap Bu Asti yang kembali membuat kami diam. Fakhrul melangkah dengan santai ke tempat duduk di sebelahku, setelah menaruh tasnya di meja, dia duduk kemudian menoleh dan kembali tersenyum ke arahku.”Hai Ri, baek kan ?” sapanya. “ya begitulah, kamu juga sehat kan?” balasku berbasa basi. Sebelum Fakhrul sempat membalas ucapanku, Pak Wan telah memulai kalimatnya yang berarti kami harus diam dan memperhatikan beliau menerangkan pelajaran. Tak banyak hal yang terjadi di sekolah hari ini, Fakhrul seakan lupa kejadian kemaren. Atau mungkin dia sengaja tidak menyinggungnya ? Ah sudahlah, biarkanlah perasaan senang kemaren menguap di bawa angin siang ini. Sore ini aku berjanji untuk pergi dengan Fahkrul ke lapangan bola yang ada di dekat rumahku. Jam 5 sore ia sampai dengan Yamaha vixionnya dan segera mengajak ku ke sana. Biasanya lapangan ini ramai karena anak-anak sering bermain bola di lapangan ini, tapi entah kenapa sekarang tidak ada sama sekali yang berada di sini kecuali aku dan Fakhrul. Ada sedikit perasaan senang dalam hatiku karena cuma kami berdua di sini. Aku pun rebahan sambil memandang langit sore yang di hiasi lembayung senja. Hatiku damai dan tentram di saat-saat seperti ini. Fakhrul pun ikutan rebahan di sampingku. “Ri, ada pelangi tuh” ujarnya sambil menunjuk ke arah pelangi tersebut. Ku ikuti arah telunjuknya dan mendapati pelangi tersebut, “Indah” hanya itu kata yang keluar dari mulutku. Fakhrul menoleh ke arahku kemudian tersenyum simpul dan berkata, “memang, Pelangi di ujung senja memang indah, oh ya Ri, mengenai kejadian kemaren…..”.”Ah sudahlah Rul, aku tau kamu gak sengaja”,”Tapi sebenernya aku sengaja Ri” ucapnya lirih. “Ha ? se…se… sengaja gimana ?” tanyaku harap cemas. “ya dari awal kamu nyapa aku malam itu aku ngerasain sesuatu yang lain sama kamu, cara kamu bicara, senyum kamu, kebaikan kamu, dan kurasa ya, aku jatuh cinta sama kamu saat itu” “ CINTA ?” “ya, aku suka sama kamu Ri, aku tau ini aneh dan nggak masuk akal, tapi emang bener, aku suka sama kamu, aku mau kamu jadi pacarku!”. Rasanya bibirku kelu, otakku membeku dan jantungku berhenti berdetak untuk beberapa waktu. “Gimana Ri, kamu mau gak jadi pacarku ?” tanyanya lagi berharap mendapat jawaban dariku. “Nggak taulah Rul, aku masih bingung sama perasaanku sendiri terhadap kamu, berikan aku waktu ya untuk mencari jawabannya ?”, “baiklah, tapi kamu gak bakal ngejauhin aku kan Ri ?” tanyanya sedikit memelas. “gak kok, tenang aja, gimana kalau sekarang kita sahabatan aja ? biarlah waktu yang mengubah perasaanku terhadapmu, ku juga akan berusaha untuk menyukaimu. Tapi aku tak janji ya kalau aku akan bisa menyukaimu?”.”Selama kamu masih bisa temani hariku, aku kan setia menunggu jawabanmu Ri, thanks ya Ri” ucapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Senja mulai beranjak di gantikan malam yang sedari tadi hendak menyelimuti. Kami pun beranjak dari lapangan itu. Tiba-tiba sebuah mobil sedan corolla hitam berhenti di depan kami. Seorang pria yang kira-kira berumur 20-an itu keluar dari mobil dan berjalan ke arah Fakhrul. Sejurus kemudian, dia memeluk Fakhrul dan mengecup keningnya sembari berkata, “Dek jangan tinggalin kakak lagi ya ?”ucapnya lirih .

 

Sample text

Sample Text


ShoutMix chat widget

Sample Text